#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Bertemu tetangga julid
.
Amelia masuk ke kamar mandi yang sangat sederhana. Hanya berupa penampungan air yang terbuat dari batu bata dan semen. Gadis itu benar-benar tidak mengeluh. Walaupun air sumur sangat dingin, dan tidak ada shower air hangat seperti di rumah papanya, dia bertekad untuk membiasakan diri.
Amelia bahkan menolak ketika Bu Sukma mengatakan akan menyiapkan air hangat untuknya. Ia sudah hidup menumpang, jadi harus tahu diri. Tidak boleh merepotkan dan tidak boleh menjadi beban.
Setelah selesai membersihkan diri di kamar mandi sederhana, Amel kembali ke dapur dan membantu Bu Sukma menyiapkan sarapan.
Mereka berdua menyiapkan sarapan sederhana yang terdiri dari nasi putih, sayur rebus, sambal kacang, dan tempe serta tahu goreng. Amel juga membantu membuat teh hangat. Setelah selesai, mereka mengajak Pak Marzuki untuk sarapan bersama di ruang makan. Amel dengan sigap memapah pria itu saat berjalan.
“Kok malah saya jadi merepotkan Non Amel?" ucap pak Marzuki tak enak hati.
“Merepotkan apanya sih, Pak," bantah Amelia. “Oh, iya, Pak. Manggilnya Amel saja, ya, Pak. Gak usah pake Non." Lanjut Amelia.
Pak Marzuki menoleh ke arah istrinya dan tampak wanita itu mengangguk.
.
Saat mereka sedang sarapan, Amelia membuka percakapan. "Bu, Pak," ucap Amelia, dengan nada serius. "Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin Amelia sampaikan."
Bu Sukma dan Pak Marzuki menatap Amelia dengan tatapan penuh perhatian.
"Kalo misalnya Amelia ingin tinggal di sini bersama Ibu dan Bapak, apakah boleh?” Amelia mengutarakan keinginannya penuh harap.
Bu Sukma dan Pak Marzuki terkejut mendengar ucapan Amelia.
"Amelia... Kamu gak lagi salah ngomong, kan?" tanya Bu Sukma tidak percaya. "Ini desa, Amel. Jauh beda dengan rumah kamu di kota. Apa kamu bisa tahan tinggal di desa dengan kami yang sederhana ini?"
Amelia mengangguk dengan mantap. "Amelia yakin, Bu. Asalkan Bapak sama ibu tidak keberatan, Amel akan sangat senang. Amelia janji akan bantu-bantu Ibu dan Bapak. Amel tidak akan menyusahkan. Ya, Bu, Pak. Ijinkan Amel tinggal di sini, ya?” Amel memohon.
Bu Sukma saling pandang dengan suaminya.
Amelia kemudian menceritakan semua yang telah terjadi padanya, tentang perdebatan dengan ayahnya, tentang perjodohan yang ditolaknya, dan tentang pengusirannya dari rumah Bramasta.
Bu Sukma dan Pak Marzuki mendengarkan cerita Amelia dengan seksama, air mata mengalir di pipi mereka. Mereka merasa sangat kasihan kepada Amelia.
"Ya Allah, Non... eh, Amelia. Kenapa Tuan begitu tega?" Bu Sukma berucap sedih. "Ya sudah kalau memang seperti itu. Ibu dan Bapak tidak keberatan, bahkan senang kamu tinggal di sini. Iya, kan, Pak?” Bu Sukma menggenggam tangan suaminya minta persetujuan.
Pak Marzuki mengangguk, menyetujui ucapan istrinya. Mereka berdua yang memang tidak memiliki anak, sangat senang dengan kehadiran Amelia. "Benar, Amelia. Tapi ya memang seperti inilah keadaan Ibu dan Bapak."
Amelia terharu mendengar ucapan Bu Sukma dan Pak Marzuki. Air matanya mengalir semakin deras. Ia tidak menyangka akan mendapatkan kehangatan dan kasih sayang dari orang-orang yang baru dikenalnya.
"Terima kasih, Bu, Pak," ucap Amelia, dengan suara bergetar. "Amelia nggak tahu harus bilang apa lagi. Amelia merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan Ibu dan Bapak."
Bu Sukma berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Amelia. Ia memeluk Amelia erat-erat.
"Sudah, jangan menangis lagi," ucap Bu Sukma, dengan nada lembut. "Mulai sekarang, kamu adalah bagian dari keluarga kami. Kamu adalah putri kami."
*
*
*
Matahari sudah beranjak naik, sinarnya menghangatkan desa Karangsono. Suara sepeda motor memasuki halaman rumah Bu Sukma. Ternyata itu adalah tukang sayur langganan Bu Sukma, Mas Diman. Kedatangan Mas Diman diikuti juga dengan beberapa tetangga lain yang ikut berbelanja sayuran segar.
Beberapa ibu-ibu menatap ke arah Amelia yang berdiri di samping Bu Sukma. Mereka tampak penasaran dengan kehadiran wajah baru di desa mereka.
Seorang dari mereka, Ibu Wartini yang terkenal cerewet dan suka bergosip, bertanya dengan nada menyelidik, "Ini siapa, Bu Sukma? Kok baru lihat?"
Bu Sukma ingin menjawab, mengatakan bahwa Amelia adalah tamunya dari Jakarta, tetapi sebelum sempat ia membuka mulut, Amelia sudah menjawab lebih dulu.
"Perkenalkan, Bu. Saya Amelia, keponakannya Bu Sukma. Selama ini saya kerja jadi pembantu rumah tangga di kota." Amelia menatap Bu Wartini sambil tersenyum.
Mata Bu Sukma terbelalak, tidak percaya sekaligus tidak suka dengan jawaban yang diberikan oleh Amelia. Kenapa harus mengatakan dirinya bekerja sebagai pembantu, padahal Amelia adalah putri seorang pengusaha besar kaya raya?
Namun, Amelia menggenggam tangan Bu Sukma dengan menggelengkan kepala pelan, seolah memintanya untuk mengiyakan saja apa yang ia ucapkan. Akhirnya, Bu Sukma hanya bisa terdiam, menelan kekecewaannya.
Salah seorang dari ibu-ibu tersebut, Ibu Lastri, yang dikenal paling julid di antara yang lain, berkata sambil mencibir, "Oh, jadi pembantu? Ya pantas saja, sih. Bu Sukma dulu kan juga jadi pembantu. Kalau keponakannya juga jadi pembantu, ya memang cocok. Selevel."
Bu Sukma ingin membantah ucapan Ibu Lastri yang merendahkan itu. Ia ingin mengatakan bahwa Amelia adalah putri dari majikannya. Namun, Amelia menggelengkan kepala lagi, memohon padanya untuk tidak menanggapi ucapan tetangganya.
Bu Sukma, mengepalkan tangannya erat-erat, menahan amarah dan kekesalannya. Ia tidak mengerti mengapa Amelia memilih untuk merendahkan dirinya sendiri.
Amelia tersenyum ramah kepada ibu-ibu itu, seolah tidak terpengaruh sedikit pun dengan cibiran mereka. "Iya, Bu. Saya memang cuma pembantu. Tapi saya bangga dengan pekerjaan saya. Yang penting halal dan bisa membantu keluarga," ucap Amelia, dengan nada tenang dan penuh percaya diri.
Ibu-ibu itu terdiam mendengar jawaban Amelia. Mereka tidak menyangka Amelia akan memberikan jawaban yang begitu bijak dan dewasa.
"Wah, bagus itu Neng. Jangan malu dengan pekerjaan yang halal," timpal Mas Diman, si tukang sayur, yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka. "Yang penting jangan nyolong atau nipu orang."
Beberapa ibu-ibu mengangguk setuju dengan ucapan Mas Diman.
“Lagian kalo gak salah, jadi pembantu di kota itu gajinya lebih besar dari pada penjaga toko di desa. Ya, to, Mbak?" Mas Diman melanjutkan.
"Ya sudah, Mas Diman. Saya beli bayam sama kangkungnya ya," ucap Ibu Wartini, memecah suasana yang canggung.
Ibu-ibu yang lain juga segera memilih apa yang ingin mereka beli. Mereka mulai melupakan kehadiran Amelia dan kembali fokus pada kegiatan berbelanja mereka.
Amelia membantu Bu Sukma memilih sayur dan bumbu yang akan mereka beli, ngobrol dengan kang sayur dan para ibu tanpa rikuh. Bu Sukma memperhatikan Amelia dengan tatapan kagum. Ia tidak menyangka Amelia bisa beradaptasi dengan begitu cepat di lingkungan yang baru.
Setelah semua tetangga selesai berbelanja, Mas Diman berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Bu Sukma dan Amelia kembali masuk ke dalam rumah.
"Amel, kenapa kamu tadi bilang kalau kamu cuma pembantu?" tanya Bu Sukma masih terlihat tidak suka.
Amelia tersenyum lembut kepada Bu Sukma. "Ibu, Amelia nggak merendahkan diri kok. Amelia cuma pengen jadi diri sendiri. Lagipula, sekarang Amel juga gak bisa lagi menggunakan nama Bramasta.” ucap Amelia yang suaranya berubah sedikit serak.
Bu Sukma spontan memeluk Amelia. “Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Sekarang kamu punya ibu dan Bapak." Wanita yang rambutnya telah hampir seluruhnya memutih itu seakan tahu apa yang dirasakan oleh Amelia.
“Ada apa sih? Kok ada yang peluk-pelukan." Suara pak Marzuki yang datang dengan langkah tertatih mengurai pelukan mereka.
“Gak ada apa-apa, Pak." Bu Sukma berbohong.
Pak Marzuki tersenyum lalu duduk di kursi. Sebenarnya ia sedikit mendengar suara ibu-ibu tadi, karena kebetulan jendela kamarnya yang menghadap ke halaman memang terbuka.
"Jangan bersedih. Kita adalah keluargamu sekarang.”
Amelia melepaskan tangannya dari Bu Sukma, lalu menghambur memeluk tubuh pria tua itu. “Terima kasih, Bapak."
bentar lagi nanam padi jg 🥰