Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Jelaga malam perlahan turun, kegelapan membentang di seluruh jagat raya. Bintang gemintang menari, rembulan menyelinap di balik awan. Malam yang tenang, tak ada kebisingan selain suara sang penguasa malam yang saling bersahutan.
Suara jangkrik, tonggeret, serta suara burung malam berlomba-lomba memperdengarkan suaranya pada alam kesunyian. Desa telah sepi dari segala kegiatan, kecuali mereka yang sedang mendapat tugas ronda.
Namun, istana Nagari masih hidup, para penghuninya masih terjaga untuk melakukan segala aktivitas sebelum beristirahat. Kecuali paviliun bulan, sudah tidak terlihat aktivitas apapun. Bahkan, para pelayan sudah berada di kamar mereka masing-masing, dan Wulan merebahkan diri di ranjang, menutup mata lelah.
"Neng Wulan pasti lelah setelah menemani juragan. Jam segini biasanya belum tertidur, ini sudah berbaring di ranjang," gumam Bi Sumi sembari merapikan keadaan kamar, mengelap meja dan menyimpan bekas makan sang tuan.
Di ruang kerja, Juragan masih terjaga ditemani Sumar. Memeriksa laporan dari setiap usaha yang dia jalani.
"Juragan, nyai Lastri dan nyai Ningsih datang mengantarkan makanan!" seru seorang penjaga yang berada di luar ruang kerja.
Juragan dan Sumar saling menatap satu sama lain, teringat pada ucapan Wulan untuk tidak memakan apapun dari dapur lain.
"Masuk!" Suara Kang Sumar terdengar, ia berdiri di sisi meja juragan. Seperti itulah pekerjaannya sebelum kembali kepada keluarga.
Pintu dibuka, Lastri dan Ningsih bersama satu pelayannya memasuki ruang kerja Juragan. Masing-masing pelayan itu membawa sebuah nampan yang berisi makanan. Lastri menyuguhkan semangkok soto hangat, dan Ningsih sepiring kue kering buatannya sebagai camilan.
Makanan itu diletakkan di atas meja juragan, keduanya menunggu sampai makanan itu dihabiskan sang juragan.
"Juragan sedang sibuk, nanti beliau akan memakannya. Silahkan, Para Nyai kembali ke kamar!" ujar Kang Sumar tanpa diminta juragan.
"Kang Sumar, biasanya juga Juragan memakannya saat kami masih ada di sini. Apa memang pekerjaan Juragan benar-benar banyak malam ini?" ujar Ningsih dengan nada manja dan genit.
Juragan melirik, entah mengapa melihat mereka berdua selalu membuatnya mual. Tak seperti saat Wulan datang, sejak pertama kali melihat mereka juragan sudah merasa tidak suka.
"Maafkan saya, Nyai. Juragan benar-benar sibuk," sahut Kang Sumar lagi meyakinkan.
"Saya ingin mendengarnya langsung dari mulut Juragan," tegas Lastri menahan emosi atas sikap Kang Sumar yang semena-mena.
Brak!
Juragan sengaja memukul meja saat meletakkan dokumen yang baru saja ia baca. Kedua wanita di hadapannya tersentak, begitu pula dengan Kang Sumar meski reaksinya hanya memejamkan mata saja.
"Apa kalian sudah tidak percaya lagi kepada saya? Kalian tidak lihat berapa banyak pekerjaan yang harus saya periksa? Kalian juga tahu saya tidak suka menunda pekerjaan," ucap Juragan dengan tegas dan geram.
Ningsih dan Lastri menunduk dalam-dalam, hal ini pun bukan sekali atau dua kali terjadi. Hanya saja mereka akan patuh dan tidak seperti malam itu memaksa juragan untuk memakan makanan yang mereka bawakan.
"Maafkan kami, Juragan. Jika begitu kami permisi!" Keduanya berbalik dengan segera, mengayuh langkah dengan cepat.
Pandangan juragan tak lepas dari para wanita itu sampai mereka menghilang di balik pintu dan tak terdengar langkahnya lagi.
"Panji!" panggil juragan.
Panji muncul dengan segera menghadap sang tuan.
"Ya, Juragan! Apa perintah Anda?" ucapnya dengan tegas.
"Tempatkan masing-masing pengawal rahasia di setiap kediaman. Saya ingin mereka melaporkan kepada saya apa saja yang mereka lakukan!" titah juragan tak bisa lagi menahan diri atas apa yang selama ini mereka lakukan.
Sayang, perintah itu didengar oleh Ratih yang hendak masuk ke dalam ruang kerja. Wanita itu menghela napas, tersenyum sinis kemudian.
Jadi, juragan ingin memata-matai kami sekarang? Akan sulit bagi saya untuk bergerak. Saya harus berhati-hati mulai sekarang.
Ia bergumam di dalam hati sembari melirik penjaga yang tertidur di depan pintu. Entah apa yang dilakukan Ratih kepadanya.
"Baik, Juragan!" Panji pun menghilang dari hadapan juragan kembali ke tempatnya berjaga untuk mengatur siapa saja yang akan ditempatkan sebagai mata-mata di setiap kediaman.
Ratih menunggu beberapa saat agar tidak dicurigai. Setelah itu, barulah ia mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk.
"Juragan, ini saya, Ratih!" katanya dengan suara lembut mendayu. Ratih berdandan sangat cantik malam itu untuk memikat juragan.
"Masuk!"
Suara Kang Sumar terdengar memangil, menunggu dengan jengah kemunculan sosok yang tidak diinginkan itu. Pintu terbuka, aura Dewi segera saja memenuhi ruangan. Seolah-olah ada pancaran cahaya yang mengelilingi tubuh Ratih membuat juragan terpana karenanya.
"Cantik!"
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa