Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 34
Selamat membaca
Lalu tiba-tiba sebuah mobil hitam mewah masuk ke pekarangan mansion, suara mesin yang halus membuat semua kepala refleks menoleh. Paman Ardi dan Bi Lina yang tadinya sibuk menarik-narik tangan Zia sontak menegakkan tubuh mereka, mencoba tampak tenang meski hati mereka sedikit berdebar.
“Oma…” gumam Aksa pelan, wajahnya lega sekaligus penuh harap.
Oma Ririn turun dari mobil dengan langkah anggun. Tangan kirinya masih menggenggam koper besar, tampak jelas bahwa ia baru saja pulang dari luar negeri. Matanya menyapu seisi halaman, dan alisnya langsung mengernyit begitu melihat pemandangan aneh di depannya: Zia bersembunyi di balik Aksa, wajahnya pucat, sementara ada sepasang pria dan wanita asing yang berdiri dengan ekspresi penuh ketegangan.
“Ini… ada apa? Kalian ngapain di sini?” suara Oma Ririn terdengar tegas, penuh wibawa. Ia menatap Aksa dan Zia secara bergantian. “Kenapa kalian belum berangkat ke sekolah? Dan kamu, Azka, kenapa tidak berangkat ke kantor?!”
Aksa menelan ludah, tak berani langsung menjawab. Zia justru semakin bersembunyi di belakangnya, takut akan reaksi Oma.
Oma Ririn kemudian menatap tajam ke arah dua orang asing yang masih berdiri kaku. “Dan… mereka ini siapa?”
Bi Lina, yang dari tadi menatap Oma Ririn dari atas ke bawah dengan sinis, langsung membuka mulut. “Oh, jadi ini majikan Zia, ya?" Suaranya penuh nada merendahkan, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tak gentar.
Oma Ririn hanya menyipitkan mata, belum sempat bicara ketika Bi Lina melanjutkan, “Saya bibinya Zia. Karena hari ini Zia tidak bisa membayar hutang kami, maka Zia harus menikah dengan Juragan Tono.” Nada ketusnya membuat Aksa refleks hampir berdiri, namun ditahan Azka.
Kata-kata itu langsung membuat wajah Oma Ririn berubah. “Apa maksudmu? Bukankah itu hutang kalian sendiri? Kenapa Zia yang harus menanggungnya?” ucap Oma Ririn dengan suara yang meninggi, jelas-jelas tidak bisa menerima alasan itu.
Paman Ardi ikut menimpali, suaranya penuh kepura-puraan. “Karena dia keponakan kami. Kami sudah mengurusnya sejak kecil. Sudah sewajarnya kalau dia membalas budi kepada kami.”
Zia yang mendengar itu bergumam lirih, suaranya bergetar, “Jadi… paman dan bibi… gak ikhlas mengurus Zia?”
Dan dengan tanpa ragu, Bi Lina menjawab keras, “Ya!”
Ruangan seketika sunyi. Bahkan satpam di luar pagar pun bisa merasakan aura tegang yang menggantung. Oma Ririn menghela napas panjang, lalu berkata tegas, “Kalau begitu, kita masuk saja. Selesaikan semuanya di dalam.”
Mereka pun akhirnya masuk dan duduk di ruang tamu yang luas. Aroma kopi hangat dari dapur tidak sanggup menetralkan suasana panas yang terasa. Zia duduk di sofa dengan wajah pucat, Aksa dan Azka berdiri tak jauh darinya, siap melindungi kapan saja.
Oma Ririn membuka pembicaraan dengan nada datar, “Berapa hutang kalian?”
Mendengar itu, mata Bi Lina langsung berbinar. “Apa Anda akan membayarnya?” tanyanya dengan nada yang nyaris penuh kegembiraan.
“Ya,” jawab Oma Ririn mantap, “saya akan melunasinya. Tapi dengan syarat, kalian berdua tidak boleh mengganggu Zia lagi. Dia bukan tanggung jawab kalian, apalagi bahan untuk dijadikan jaminan hutang.”
“Oma… jangan, jangan begitu…” gumam Zia sambil menunduk, tak ingin Oma menanggung beban. Namun Oma hanya menatapnya lembut lalu mengangguk, seakan berkata semuanya akan baik-baik saja.
Namun Ardi menyela dengan suara keras, “Tidak bisa begitu! Zia masih punya kami. Hutang itu urusan lain. Tidak ada hubungannya dengan melepaskan dia dari tanggung jawab kami!”
Aksa mendengus kesal. “Dasar pasangan matre,” gumamnya, meski masih terdengar oleh semua orang.
Oma Ririn menarik napas panjang lagi. “Baik. Katakan, berapa hutang kalian. Dan sebutkan, berapa jumlah yang kalian mau agar Zia bisa benar-benar bebas dari kalian.”
“Oma, jangan diturutin apa yang mereka mau!” ucap Zia panik. Tapi Aksa menyentuh bahunya, memberi isyarat untuk tenang.
Akhirnya Bi Lina dengan wajah penuh keserakahan berkata, “Hutang kami ke Juragan Tono dua ratus juta. Dan… saya mau satu miliar lagi sebagai ganti rugi, supaya Zia benar-benar lepas dari kami.”
“APA?!” Zia berdiri terlonjak, matanya melotot penuh amarah. “Paman, bibi… apa kalian tidak punya malu?! Selama ini Zia sudah nurut, sudah berusaha, tapi sekarang kalian tega menyerahkan Zia seperti ini?!”
Namun Bi Lina hanya menoleh santai, wajahnya dingin. “Itu harga yang pantas. Kalau tidak mau, ya serahkan Zia pada Juragan Tono.”
Oma Ririn mengangkat tangannya, meminta Zia duduk kembali. “Sudahlah, Zia. Biarkan Oma yang menyelesaikan semua ini.”
Dengan tenang, Oma Ririn meminta nomor rekening Bi Lina. Dalam hitungan menit, transfer pun dilakukan. Ponsel Bi Lina berbunyi, notifikasi masuknya uang membuat wajahnya berbinar cerah. “Mas, sudah masuk,” bisiknya pada suaminya.
Mereka pun bangkit, bersiap pergi. Namun sebelum keluar, Paman Ardi berbalik, menatap Zia dengan dingin. “Baiklah, kami akan pergi. Dan mulai sekarang, kau bukan keluarga kami lagi. Satu hal yang harus kau tahu: sebenarnya kau bukan siapa-siapa. Kau bukan keponakan kami. Kau entah anak siapa. Kami hanya menemukannya… di suatu tempat. Saat itu, entah kenapa, kami masih punya hati nurani, jadi kami mengangkatmu sebagai keponakan.”
Kata-kata itu menusuk Zia lebih dalam daripada seribu pisau. Wajahnya langsung memucat, tubuhnya gemetar, dan matanya kosong. Dalam hitungan detik, seluruh kekuatan di tubuhnya lenyap.
“Zia!” teriak Azka cepat, tepat sebelum tubuh lemas itu ambruk ke lantai. Dengan sigap ia menangkapnya, lalu membaringkan Zia di sofa.
“Cepat ambilkan air!” perintah Oma Ririn panik. Wajahnya berubah penuh kekhawatiran. Tangannya menggenggam tangan Zia erat, berusaha menyalurkan kekuatan.
Sementara itu, Aksa menatap tajam ke arah pintu yang baru saja ditutup oleh Ardi dan Lina. “Dasar manusia tak tahu diri… kalian pikir uang bisa membeli segalanya? Tunggu saja.”
Ruangan terasa hening, hanya suara napas berat Zia yang terdengar. Oma Ririn menatap cucu-cucunya dengan serius. “Kita harus cari tahu siapa sebenarnya Zia. Kalau yang dikatakan mereka benar… berarti masih ada misteri besar di balik kelahiran Zia.”
Azka mengangguk, wajahnya tegas meski penuh kekhawatiran. “Apapun itu, Oma, tenang saja. Zia sekarang sudah bersama kita. Dan aku janji… aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya lagi.”
Aksa menggenggam tangan Zia dari sisi lain. “Ya, kita bertiga akan melindunginya. Dia keluarga kita sekarang. Dan… aku yakin, Zia akan kuat melewati semua ini.”
Oma Ririn menghela napas panjang, menatap wajah pucat Zia yang masih tak sadarkan diri. “Semoga begitu, Nak… semoga begitu.”
★★
BI Lina dan Paman Ardi membuka pintu rumah mereka dengan semangat, wajah keduanya penuh senyum puas. Hari ini benar-benar terasa berbeda bagi mereka.
“Senangnya, hari ini dapat uang banyak,” ucap Bu Lina sambil menepuk-nepuk tas lusuh yang kini terisi penuh dengan uang hasil tipu dayanya.
Paman Ardi mengangguk sambil mendengus. “Kita harus segera pindah. Aku nggak mau tinggal di rumah buruk ini mulu. Panas, sempit, dan bikin sakit mata.”
“Iya, mas. Aku juga udah muak tinggal di sini,” sahut Bu Lina dengan nada tinggi. “Tapi sekarang kita harus pintar-pintar. Kita buka usaha kecil-kecilan dulu, cari rumah yang sederhana tapi layak ditinggali. Kita harus hemat karena kita sudah nggak punya Zia lagi yang bisa kita suruh kerja.”
Mata Bu Lina berkilat licik ketika menyebut nama Zia. Mereka berdua memang selalu memperlakukan anak itu seperti pembantu, memeras tenaga dan kebaikannya. Kini, setelah Zia tidak lagi di sisi mereka, keduanya merasa ada beban yang hilang, meski di sisi lain, mereka kehilangan "alat" untuk menghasilkan uang.
Paman Ardi meludah ke lantai kotor rumah itu. “Dasar anak itu, nggak tahu diri. Untung dia udah pergi. Kalau masih di sini, pasti bikin masalah.”
“Tapi jujur aja, mas…” Bu Lina menyeringai sinis, “...meski dia sering bikin aku kesal, dia juga lumayan membantu. Semua kerjaan rumah dulu dia yang urus. Sekarang? Ya kita harus cari cara lain biar tetap enak hidupnya.”
Paman Ardi menoleh cepat, seolah punya ide. “Tenang aja. Kalau soal kerjaan rumah, kita bisa bayar orang. Kita punya uang, kan?”
“Tapi jangan lupa,” suara Bu Lina melemah, “kita masih punya hutang sama Juragan Tono. Kalau dia datang ke sini nagih, kita bisa habis, Mas.”
Paman Ardi mengepalkan tangan. “Makanya, sebelum dia yang datang ke sini, kita yang harus datang dulu. Kita bayar sebagian biar dia percaya kalau kita niat melunasi. Sisanya bisa kita pakai untuk mulai usaha.”
“Usaha apa, Mas?” tanya Bu Lina sambil mengangkat alisnya.
“Aku kepikiran buka warung kelontong. Kecil-kecilan dulu, tapi untungnya lumayan. Nanti kalau sudah jalan, kita bisa pindah ke rumah yang lebih bagus.”
Bu Lina tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk cepat. “Iya, iya. Warung kelontong bisa. Yang penting kita jangan terlihat miskin lagi di depan orang-orang. Aku malu, Mas. Orang kampung suka nyinyir kalau lihat kita susah.”
Paman Ardi tertawa pendek, suaranya penuh ejekan. “Biarin aja mereka nyinyir. Yang penting kita pintar. Orang-orang kampung itu gampang ditipu. Lihat aja, tadi pagi kita bisa dapat uang banyak cuma modal ngomong manis. Kalau perlu, kita tipu lagi.”
“Betul!” sahut Bu Lina sambil menepuk tangan suaminya. “Kita bisa manfaatin kepolosan mereka. Lagian siapa juga yang peduli kalau kita sedikit licik? Hidup itu buat yang pintar, bukan buat yang jujur.”
Kedua pasangan serakah itu sama-sama tertawa puas, seperti dua serigala yang baru saja menemukan mangsa empuk. Namun, di balik tawa itu, ada rasa takut yang mereka sembunyikan: hutang pada Juragan Tono.
“Baiklah,” ujar Paman Ardi kemudian, nada suaranya lebih serius. “Kita harus datang ke rumah Juragan Tono sekarang juga. Kita tunjukkan kalau kita nggak lari dari hutang. Setelah itu, baru kita pikirkan pindah rumah.”
Bu Lina berdiri sambil merapikan jilbabnya. “Ayo, Mas. Semoga aja dia percaya sama kita. Kalau tidak…”
Paman Ardi menyeringai sinis. “Kalau tidak, ya kita harus cari cara lain. Jangan sampai ada yang berani injak-injak harga diri kita.”
Dengan semangat penuh tipu muslihat, keduanya melangkah keluar rumah. Mereka tak sadar, jalan yang mereka pilih semakin lama semakin gelap—dipenuhi keserakahan dan kebohongan yang suatu saat pasti akan menjerat mereka kembali.
★
i love you too much and chase you until I forget that you will never be mine, even so I hope you find a good woman for you. I love you too much and chase you until I forget that you will never be mine, even so I hope you find a good woman for you, I will always love you.
★
...kira kira konfliknya gimana ya ...
...komen yang baik baik ya, aku suka komentar kalian yang baik baik apalagi yang mendukung aku dalam membuat novel ini...
...absen ceweknya Yoshi...
...saya...
...aku ...
...abdi...
...siapa yang suka member hearts2hearts ...
...carmen ...
...jiwo...
...juun...
...yuha...
...a-na...
...ye-on...
...ian...
...stella...
...★...