Liliana, gadis biasa yang sebelumnya hidup sederhana, dalam semalam hidupnya berubah drastis. Ayahnya jatuh sakit, hutang yang ia kira sudah selesai itu tiba-tiba menggunung. Hingga ia terpaksa menikah i Lucien Dravenhart , seorang CEO yang terkenal dingin, dan misterius—pria yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.
Pernikahan ini hanyalah kontrak selama satu tahun. Tidak ada cinta. Hanya perjanjian bisnis.
Namun, saat Liliana mulai memasuki dunia Lucien, ia perlahan menyadari bahwa pria itu menyimpan rahasia besar. Dan lebih mengejutkan lagi, Liliana ternyata bukan satu-satunya "pengantin kontrak" yang pernah dimilikinya…
Akankah cinta tumbuh di antara mereka, atau justru luka lama kembali menghancurkan segalanya?
Cerita ini hanyalah karya fiksi dari author, bijaklah dalam memilih kalimat dan bacaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon boospie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 Pagi yang aneh
Tubuh yang dilapisi selimut tebal itu menggeliat pelan, tangannya bergerak menggosok pelan kelopak mata. Gulungan selimut yang membungkusnya semalam telah dilepas oleh pelaku, kini hanya meninggalkan Liliana diatas ranjang sendirian.
Bulu mata lentik itu bergerak kecil, diikuti mata yang terbuka. Liliana menatap sekeliling dengan pencahayaan yang belum sempurna. Tidak ada siapapun disana, sehingga ia segera mendudukkan tubuhnya.
Betapa terkejutnya ia saat selimut bergerak turun, memperlihatkan pakaian yang dia gunakan, sangat terbuka.
"Apa yang terjadi dengan pakaian ku?" gumamnya penuh kekhawatiran. Pikirannya langsung tertuju pada pria yang semalam harusnya berada satu kamar dengannya.
Ia segera menuruni ranjang, mencari keberadaan pakaiannya yang terakhir dia pakai. Usai siap dengan pakaian yang lebib baik, Liliana melangkah keluar kamar dengan raut datar. Tersirat kemarahan serta ketakutan disana, jika benar pria itu melakukan hal yang diluar batas, Liliana tidak bisa hanya diam.
Bunyi ketukan pisau yang sedang memotong meraih perhatian Liliana, di lantai bawah, tepatnya disisi kanan ruang tamu. Tampak jelas seorang pria dengan punggung lebar berdiri membelakangi Liliana. Dengan langkah tegap nan cepat, ia menghampiri Lucien.
Menarik bahunya dengan kuat, "Jelaskan yang terjadi semalam," titahnya.
Liliana menatap Lucien lebih tajam. Perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan tingkah lakunya semalam yang terkesan sangat manja.
Sementara pria itu hanya menaikkan alisnya, ia bingung, "Tiba-tiba?"
"Jelaskan Lucien!" seru gadis itu.
Liliana dengan raut masamnya menarik lengan Lucien memasuki ruangan dapur yang tertutup, berisi beberapa tumpukan bahan makanan disana.
Lucien menatap gadis itu penuh tanda tanya, "Kau tidak ingat?"
"Apa?" tanya balik Liliana, mukanya beralih, dari sebelumnya marah menjadi bingung.
Lucien menghela napas panjang, tangannya memijat pelipis yang kembali terasa pusing hanya menghadapi perempuan didepannya ini, "Kau sendiri tidak ingat, jika aku jelaskan apa kau akan mengerti?"
"Jika masuk akal mungkin aku akan mengerti," imbuhnya
Lucien membersihkan telapak tangannya dengan kain lap lalu menatap gadis itu, "Semua hal didunia ini tidak selamanya masuk akal."
"Kau lihat ini—" Lucien menunjukkan bibirnya yang terlihat titik hitam, seperti darah kering. "Bagimu ini tidak masuk akal, tapi yang terjadi kamulah pelakunya."
Liliana menatap dalam diam, pikirannya mulai berkelana ke segala arah, disertai kebingungan yang masih membalut pikirannya. Ia hanya memasang wajah bingung, menebak nebak perlakuan seperti apa yang dia layangkan pada Lucien hingga bibir pria itu terluka.
"Kamu semalam aneh, merengek seperti anak kecil, menangis bahkan—" Lucien menghentikan ucapannya, tampak berkilau sejenak.
Setengah dari benaknya tidak mempercayai ucapan Lucien begitu saja, merengek seperti anak kecil? Ayolah—Liliana tidak mungkin seperti itu didepan Lucien.
"Jatuh, kemudian aku membungkus dirimu dengan selimut dan menali," sambungnya
"Serta pakaian itu, kamu sendiri yang memakainya," ungkap Lucien final, mengakhiri penjelasan nya mengenai semalam.
Sekeras apapun mencoba berpikir, ia masih belum menemukan ingatannya.
"Lux! Apa Lili sudah turun? Aku membawakan pereda!" suara Dewi menggelegar ditelinga keduanya.
Mereka saling bertatapan dalam beberapa detik, sebelum pria itu melangkah keluar dari ruangan kecil diikuti Liliana dibelakangnya.
Gadis itu menunduk sembari mengusap tengkuknya, merasa canggung. Sedikit penerangan yang menghilangkan separuh kebingungannya, kalimat Dewi terkesan ambigu.
"Kalian habis ngapain didalam sana?" tanya Dewi sedikit kaget akan kemunculan dua sejoli itu.
Matanya tanpa sengaja melirik kearah bibir Lucien, terlihat jelas berkasnya. Wanita tua itu tersenyum, "Baiklah, eyang juga merasakan masa muda kok."
Wanita itu spontan menatap keatas dengan pikiran yang menerawang jauh, sedangkan tangannya sendiri bergerak menuangkan obat pereda.
"Obat pereda untuk apa ya eyang?" tanya Liliana penasaran dengan obat itu. Ia berusaha mengingat semalam tidak minum apapun kecuali susu yang diberikan eyang. Matanya beralih menatap Dewi seolah meminta penjelasan.
"Untuk stimulant, sepertinya eyang kemarin salah kasih bubuk stimulant ke gelas susu kamu," jelasnya dengan tenang.
Liliana mengeratkan rahangnya, membolakan matanya karena sangat terkejut dengan pernyataan Dewi. Susu yang semalam ia teguk habis—ternyata berisi sebuah stimulant.
Dan karena itulah dia bersikap gila terhadap Lucien, lalu jika ia tidak sadar karena stimulant itu, bukankah tubuhnya menunjukkan respon berlebihan?
oh no!
"Apa semalam terjadi sesuatu pada kalian?" Dewi mendekatkan wajahnya diantara Lucien dan Liliana, kepala bergerak menatap secara bergantian, lalu senyuman mengembang di bibirnya.
"Eyang! Tidak ada yang terjadi," tukas Lucien kemudian berlalu meninggalkan dapur, menuju meja makan.
Dewi menatap punggung cucunya yang bergerak menjauh, lalu menatap Liliana, seraya memberikan minuman pereda tersebut. "Minumlah disana, Lili."
"Terimakasih, eyang," balas gadis itu kemudian bergerak menjauh, menyusul Lucien.
Sementara Dewi masih menatap punggung Lucien dan Liliana, ia tersenyum. "Semakin terlihat bahwa kalian tidak nyata, Lux," gumamnya sangat lirih, tidak sampai terdengar hingga meja makan.
Wanita itu mengaduk gelas yang berisi teh, ia bergumam, "Aku hanya meletakkan alkohol presentase rendah disalah satu gelas serta stimulant digelas lain, perbandingan isi gelas yang lebih sedikit tentunya akan diambil oleh Liliana, yang berisi alkohol."
...~• suddenly become a bride •~...
Ketukan ujung jari menghiasi meja makan itu. Sambil meminum obat pereda, Liliana masih bergumul dengan pikirannya, ia sangat berusaha mengingat kejadian semalam.
Terakhir yang diingat saat dimana tenggorokannya mulai terasa sangat panas, denyut jantung yang tidak beraturan, dan kesulitannya dalam mengendalikan emosi. Semuanya terjadi secara bersamaan, dimana setelah itu ia tidak mengingat apapun.
Liliana menatap Lucien yang tengah menyantap omelette dengan tenang, "Apa kamu juga meminumnya?"
Hembusan napas keluar begitu saja, matanya terpejam, menegaskan kekesalannya yang tak tersalurkan itu.
"Coba bayangkan jika aku juga meminumnya—kau pasti tidak bisa berjalan saat ini," balas Lucien datar, menohok dengan logika.
Diam-diam Liliana menatap sinis kearahnya, ia memilih untuk bungkam. Lagipula ucapan Lucien masuk akal, meskipun hal itu tidak lantas memberinya ketenangan batin.
Suara langkah pelan mulai terdengar mendekat ke meja mereka, Dewi datang dengan senampan rice bowl. Ia duduk sejajar dengan Liliana.
"Sepasang suami istri harusnya melakukan hal itu, segeralah memberi eyang cicit," celetuk Dewi dengan nada santai.
"Eyang, setidaknya biarkan aku menelan makanan ini dengan tenang," sahut Lucien dengan sorot mata tajamnya, tetapi tidak marah.
"Maaf, eyang—kami terkhususnya saya, masih belum ada keinginan mengenai hal itu dalam waktu dekat, mohon pengertiannya, eyang," ucap Liliana.
Pikirnya, kalimat itu tidak berkesan menyakiti, ia seolah hanya meminta agar Dewi tidak salah memasukkan sesuatu minuman mereka yang sangat berdampak, berusaha menegaskan untuk tidak ikut campur.
Harapan cicit segera pupus, tidak akan terjadi hal itu diantara mereka. Selagi kontrak masih berlaku, Liliana akan tetap beranggapan jika pernikahan ini tidak nyata, tidak dibangun atas nama cinta, serta tidak ada ketulusan yang tersisa.
Liliana menoleh kearah Lucien sekilas. Pria itu masih fokus pada makanannya dengan tenang, seolah tidak ada yang perlu dipikirkan. Begitu mudah baginya dalam menjalani semua ini, batin Liliana dengan senyum getir.
"Baiklah, eyang tidak memaksa Lili. Tapi eyang berharap akan memberikan cicit sebelum eyang meninggal," kata Dewi dengan raut kecewa yang sangat jelas disana.
Spontan keduanya menatap Dewi, "Eyang, enggak." Lucien berbisik, wajahnya berubah sendu.