lili ada gadis lugu yang Bahkan tidak pernah punya pacar. tapi bagaimana Ketika tiba di hari kiamat dia mendapatkan sebuah sistem yang membuatnya gila.
bukan sistem untuk mengumpulkan bahan atau sebuah ruang angkasa tapi sistem untuk mengumpulkan para pria.
ajaibnya setiap kali ke pria yang bergabung, apa yang di makan atau menghancurkan sesuatu, barang itu akan langsung dilipatgandakan di dalam ruangan khusus.
Lily sang gadis lugu tiba-tiba menjadi sosok yang penting disebut tempat perlindungan.
tapi pertanyaannya Apakah lili sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Setelah badai pertarungan mereda, tim-tim yang tersisa berkumpul di tengah lorong luas lantai dua supermarket. Mayat zombie berserakan, beberapa sudah mulai membusuk dan menyebarkan aroma busuk menusuk hidung, namun tak satu pun dari mereka menggubrisnya. Yang lebih penting saat ini adalah pembagian hasil inti kristal yang ditemukan dari kepala para zombie.
Tang Mian berdiri dengan tangan menyilang di dada, matanya menatap lurus pada Kapten Real yang sedang membersihkan darah dari sarung tangannya. “Kami ingin tahu,” katanya tegas, “bagaimana metode pembagian inti kristal yang akan kau gunakan?”
Real menatap Tang Mian sejenak, lalu mengangguk. “Sesuai kesepakatan di tengah pertempuran tadi. Tim kita memang bergabung mendadak, tapi kalian menyumbang peran besar dalam mengendalikan zombie. Inti akan dibagi rata sesuai jumlah anggota aktif yang bertempur.”
Anggota tim Kingdom mengangguk setuju, tapi ketegangan tetap terasa di udara. Bukan karena pembagian itu sendiri,melainkan karena tatapan kapten mereka, Tang Mian.
Wajah Tang Mian tak menunjukkan tanda protes, namun sorot matanya dingin, menusuk. Pandangannya bukan kepada Real... melainkan kepada gadis di belakangnya,Lili.
Mata Tang Mian seperti hendak menelan Lili hidup-hidup, tatapannya begitu tajam, dingin, dan dipenuhi ketidaksukaan. Siapa pun yang memperhatikan pasti bisa menangkap aura aneh yang muncul di antara mereka. Seolah Tang Mian menyesal telah membiarkan gadis itu hidup di dunia yang sudah kacau ini.
Namun Lili tetap tenang. Ia hanya berdiri di sisi Real, sesekali memandangi inti kristal di tangannya seolah tengah memikirkan sesuatu yang jauh lebih penting daripada permusuhan atau tatapan penuh kebencian.
entah kebetulan atau bagaimana lili sebenarnya melupakan keberadaan Evan yang berdiri dengan jarak sekitar 3 meter darinya. ada banyak hal yang dia pikirkan dan laki-laki bukanlah hal yang termasuk di dalam itu.
seperti yang dikatakan oleh real semua orang mengemas inti kristal,dan mulai berbicara tentang bagaimana cara pembagiannya.
Setelah pembagian selesai, mereka berpisah, masing-masing tim mulai menyebar ke penjuru supermarket yang kini mulai terasa hening. Rak-rak yang dulunya penuh makanan sudah dijarah habis, setengahnya .namun karena banyaknya zombie yang bersarang, beberapa tempat tertutup dan tak terjamah masih menyimpan harta penting,makanan kaleng tersembunyi, minuman bertanggal kadaluarsa yang masih bisa dipakai, bahkan alat medis dan baterai langka.
berbeda dengan inti kristal yang harus dibagi rata barang-barang di supermarket ini adalah hal yang gratis dan semua orang akan menjadi pemiliknya ketika mereka menemukannya .
jadi orang-orang mulai bekerja.
Tang Mian memimpin anak buahnya menyisir bagian belakang gudang. Sementara itu Real memberi aba-aba pada dua bawahannya untuk mencari kotak persediaan militer yang konon pernah dibawa masuk ke dalam supermarket itu beberapa bulan lalu.
ini adalah tujuan sebenarnya masuk ke dalam supermarket ini. saat itu dia mendengar instruksi dari atasan untuk membersihkan area supermarket. beberapa tim dikirim di sini dan itu tidak termasuk dengan timnya. mengingat jumlah zombie yang ada di supermarket anggota tim yang dikirim sebenarnya membawa beberapa peralatan militer. tapi sayang kelompok itu tidak pernah kembali dan menjadi bagian dari zombie sejak saat itu.
namun namun setelah menjadi zombie peralatan militer itu sama sekali tidak pernah tersentuh siapapun termasuk dengan mantan militer terkait. tapi sekarang ini adalah hal yang gratis untuk tim mereka.
Dengan cara seperti itu fokus kedua tim sebenarnya adalah berbeda dan tidak saling terkait satu sama lain .meskipun tidak di pungkiri jika anggota militer tetap mengambil barang-barang yang bisa mereka ambil dan simpan di ransel masing-masing.
Namun di tengah kesibukan itu semua... Evan Qi justru terdiam di sudut lorong, berdiri tanpa arah, matanya terus mengikuti satu sosok yang tidak menyadarinya keberadaan nya,dia lah Lili.
pikiran Evan seharusnya dipenuhi rencana bertahan hidup. Harusnya dia ikut mencari makanan, air, atau apa pun yang bisa membantu mereka melewati hari esok. Tapi kenyataannya, otaknya hanya dipenuhi satu keinginan, mendekati Lili.
entah apa yang terjadi tapi pada kenyataan Lily mulai menjadi obsesi Evan qi.
Mungkin semenjak Lili tidak lagi memperhatikannya seperti masa lalu dan bahkan menganggapnya seperti orang asing padahal mereka sebelumnya sangat dekat ketika di pangkalan b. seumur hidup dia tidak pernah dikacangin oleh gadis manapun . apalagi Lili sebenarnya adalah gadis yang dulu mengikuti ke manapun dia pergi dan selalu menatapnya dengan penuh rasa kagum.
Lili hanyalah satu diantara gadis yang pernah mengidolakannya tapi hanya Lili satu-satunya gadis yang tidak lagi menyukainya seperti dulu.
Evan mengepalkan tangannya.
Dia sudah berjuang mati-matian di pertempuran tadi.
Meski tidak sehebat Real atau Tang Mian, dia telah berusaha. Tapi tetap saja… Lili tak melihatnya. Seolah-olah dia tak lebih dari bayangan di antara para pejuang hebat lainnya.
Dia ingin bicara, ingin memanggil gadis itu. Tapi lidahnya seperti terikat. Setiap langkah menuju Lili terasa berat... karena dia tahu,dia bukan siapa-siapa di hadapan gadis itu.
Tapi tetap saja Evan tidak terima.
Dan entah kenapa, justru rasa itulah yang perlahan menumbuhkan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sekadar keinginan untuk diperhatikan… Bukan saja kotak makan siang tapi juga obsesi Evan juga berubah.
Evan sendiri tidak sadar jika dirinya sudah berubah seperti itu.
Evan Qi melangkah pelan. Di pundaknya tergantung ransel separuh penuh. Tangannya tampak sibuk menyapu barang-barang ke dalam tas, tetapi pandangannya terus melirik ke sisi lain lorong, ke arah sosok yang tengah membungkuk di depan rak makanan kaleng.
Lili.
Lorong sempit di sisi timur supermarket terasa lebih sunyi dibandingkan bagian lainnya. Cahaya matahari menembus sebagian atap kaca yang retak, membentuk pancaran cahaya yang temaram di antara debu yang beterbangan. Rak-rak makanan berserakan, beberapa tumpah, sebagian masih menyisakan barang-barang yang tak begitu menarik,makanan kering, bumbu instan, atau kotak teh yang sebagian rusak.
Lili terlihat tidak terburu-buru.
Ia memasukkan barang ke dalam tas dengan satu tangan, sementara tangan lainnya masih memegang inti kristal yang berkilau seperti permata yang belum dipoles. Cahaya dari benda itu memantul lembut di pipinya, memberi kesan aneh,seolah Lili bukan bagian dari dunia kiamat ini. Bajunya bersih, rambutnya tersisir rapi, dan ekspresinya… tenang.
Terlalu tenang.
Evan menelan ludah. Ia berdiri hanya beberapa langkah dari gadis itu, cukup dekat untuk mendengar desah napasnya, tapi Lili belum juga menyadari kehadirannya.
‘Apa dia memang tidak peduli?’ pikir Evan, gerak tangannya tanpa sadar mengencangkan ritsleting tas.
Dia mencoba berpura-pura mengais barang dari rak sebelah, memilih satu bungkus makanan ringan yang sudah melempem lalu memasukkannya ke dalam tas. Tapi matanya, tetap,tak bisa lepas dari Lili.
“Apa kau… tidak takut berada sendirian?” akhirnya Evan membuka suara, suaranya serak dan tertahan.
Lili tak langsung menoleh. Ia justru merogoh sebuah kaleng kecil dan memeriksanya sebentar sebelum menjawab pelan, “Zombie-nya sudah habis. Tidak ada yang perlu ditakuti sekarang.”
Jawaban itu membuat Evan nyaris kehilangan kata. Ia berharap ada percakapan yang bisa berlanjut, tapi nyatanya gadis itu hanya fokus kembali pada pilihannya—mengambil beberapa kotak makanan dengan tatapan kosong. Seolah dia hanya bertahan karena harus, bukan karena ingin.
Evan menggeser posisi lebih dekat lagi, seolah ingin mengambil barang dari rak yang sama. Jarak di antara mereka kini tinggal sejengkal.
“Kalau… kau butuh bantuan, aku bisa...”
“Aku tidak butuh bantuan,” potong Lili datar, tapi masih tak menoleh padanya.
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang Evan duga. Ia terdiam, menunduk, lalu pura-pura mengambil sebungkus kacang dari sudut rak.
Namun di balik ekspresi datarnya, Lili sebenarnya sadar sejak tadi bahwa Evan berada di dekatnya. Ia hanya tidak tahu bagaimana harus merespons perhatian seperti itu. Bukan karena ia membenci Evan… tapi karena pikirannya masih terikat pada Real, pada inti kristal, dan pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar interaksi biasa.
Mereka berdua, kini berdiri begitu dekat… namun terasa sangat jauh.
Dan dalam keheningan itu, hanya suara tas yang diisi dan ritsleting yang ditarik yang terdengar samar di antara rak-rak kosong.
Langkah Evan sempat terhenti. Ia memandang Lili yang masih sibuk dengan kaleng-kaleng makanan di hadapannya. Udara di sekitar mereka seolah menghangat,bukan karena suhu, tapi karena ketegangan aneh yang menggantung di antara mereka.
Lili masih tak menoleh. Tapi kali ini, sedikit gerakan tubuhnya,gerakan kecil saat ia menyelipkan rambut di belakang telinga,terlihat begitu alami, begitu… lembut.
Evan memberanikan diri melangkah sedikit lebih dekat. “Lili, aku cuma,aku ingin bilang kalau aku pikir kamu—”
"BRAK!"
Suara langkah berat dan gesekan sepatu mendadak terdengar dari belakang rak.
Lili dan Evan sama-sama menoleh.
Real tiba tiba muncul dari sudut lorong. Tubuhnya masih tertutup debu dan noda darah zombie, jaket militernya menggantung terbuka, dan sorot matanya tajam,setajam kilatan petir yang biasa ia lepaskan di medan tempur. Langkahnya tegap, pasti. Namun matanya mengawasi sekitar.
Tidak.
Pandangannya langsung tertuju pada satu titik,Evan Qi.
“Kelihatannya kamu sangat sibuk mengumpulkan makanan, Evan,” ucap Real dengan suara rendah dan berat, nadanya seperti peluru yang dilepaskan dari senapan,cepat dan tanpa peringatan.
Ketika nama nya di sebut kan, secara tidak langsung menjelaskan pria ini menyimpan kekesalan kepada dirinya. lebih tepatnya memandang rendah Evan Qi.
Evan tersentak dan untuk sesaat ada rasa takut dan sedikit cemas di hatinya tapi hanya untuk suatu saat saja. “Aku cuma… kami tadi sedang...”
“Bicara?” potong Real tajam. Ia mendekat lagi, hanya tinggal dua langkah dari mereka berdua. “Atau merayu rekan timku sambil pura-pura mencari makanan?”
Lili membuka mulut, ingin membela, tapi kata-kata tak keluar. Wajahnya memanas, pipinya merah muda, dan tangan yang memegang kaleng gemetar sedikit. Ia tahu ini bukan salah Evan sepenuhnya… tapi juga tidak bisa menyangkal bahwa ia senang diperhatikan.
Real melirik ke arahnya. Pandangannya tak keras seperti saat menatap Evan, tapi cukup dalam untuk membuat Lili menunduk pelan, seperti seseorang yang tertangkap basah melakukan sesuatu yang memalukan.
Evan mengepalkan tangannya. “Aku tidak melakukan apa-apa. Kau terlalu sensitif, Kapten Real.”
Real tersenyum tipis. “Sensitif? Bisa jadi. Atau mungkin aku cuma tidak suka orang mencoba masuk ke wilayah yang bukan miliknya.”
“Real…” Lili akhirnya bicara, suaranya kecil tapi terdengar jelas di lorong yang sunyi. “Kami cuma bicara… sebentar saja.”
Real menatap Lili beberapa detik, lalu menghela napas panjang dan mengalihkan pandangannya ke rak.walau bagaimanapun Lili harus lebih dewasa dan tidak perlu sering diberi wejengan. terkadang orang memang harus seperti.
“Kalau begitu cepatlah. Kita tak bisa lama-lama di tempat ini, jika sudah selesai berkumpul di tempat yang sudah disebutkan sebelumnya oke” ucapnya datar, sebelum berbalik tanpa menunggu jawaban.
Lili tidak tahu apa yang dipikirkan oleh real tapi Dia pikir pria ini pasti masih memiliki sesuatu hal yang penting dilakukan dan tidak perlu dia yang selalu mengikutinya dari belakang yang terkesan seperti mengekang real.
Sebuah kesalahpahaman yang indah.
Begitu Real menghilang di balik lorong lain, keheningan mendadak kembali hadir.
Lili masih menunduk, menatap kaleng sarden di tangannya. Pipinya belum berhenti memerah. Evan, di sisi lain, hanya berdiri kaku, seperti seseorang yang tertangkap mencuri biskuit di tengah malam.
“Lili, aku...—”
“Kita harus cepat,” potong Lili lembut. “Kau juga sebaiknya pergi ke sisi utara. Masih banyak stok di sana…”
Ia melangkah menjauh sebelum Evan sempat berkata lagi, menyisakan aroma canggung yang menggantung di udara. kemarin Lili berpikir Evan masih calon yang cocok tapi beberapa kali sistem menyebutkan jika emosi pria ini tidak stabil. ditambah lagi akhir-akhir ini real terlihat tidak menyukainya jadi buat apa dia menambah masalah.
lebih baik menghindarinya dengan menjauh dari Evan Qi.
Sementara itu Evan Qi yang di tinggal kan tercengang.
Dan untuk pertama kalinya sejak awal perjalanan mereka, Evan merasa,bahwa bukan hanya kiamat yang membuat napasnya sesak… tapi seseorang.
thor Doble up ya /Grin/