Dalam distrik ini, dunia kriminal berlaku sangat bebas meskipun masih banyak orang normal yang tinggal di apartemen.
Para kriminal ini lah yang paling di utamakan dalam pengejaran, apalagi nama dari perampok "Topeng Buas" Akan langsung mengundang banyak perhatian. Anggota kriminal satu ini hanya berisikan 3 orang saja yang selalu menggunakan topeng penutup wajah mereka. Tubuh mereka dominan tinggi dan kuat.
Tapi bagaimana jika topeng macan itu selalu ingin tidur di paha lembut milik seorang gadis manis yang agak polos ini. Ini adalah kisah romantis dari seorang penjahat dan kisah aksi untuk seorang gadis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khara-Chikara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Beast Mask: Macan yang Tertidur Chapter 34
Setelah kepergian gadis itu selama beberapa bulan lamanya, semuanya mulai berubah perlahan di distrik itu.
Di apartemen, Neneknya duduk di kursi goyang kesayangannya.
Tangannya yang keriput dan lambat tapi telaten sedang merajut benang hitam pekat, helai demi helai membentuk sesuatu yang perlahan menyerupai boneka kucing hitam berbentuk bulat. Awalnya wajah nenek itu terlihat begitu muram, tapi begitu bentuk kucing itu mulai tampak jelas, ia menghembuskan napas pelan, lalu tersenyum kecil, tipis, namun begitu tulus.
“Gadis kecil itu, selalu mengimpikan seekor kucing yang sangat manis, kucing yang tidur di pangkuannya, tapi orang tuanya melarangnya... Hingga dia berlibur kemari sekali saja setelah sekian lama terkurung di kota, dia mulai senang melihat kucing-kucing di sini dan tak segan menyentuh mereka tanpa ada larangan dari orang tuanya... Gadis yang malang…”
Ia terus membicarakan Leandra, seolah gadis itu masih ada di sekitarnya. Tatapannya kemudian jatuh ke arah sebuah bingkai foto yang terletak di meja kayu tua di dekat jendela. Di sana, tergambar dirinya dan Bharendra, berdiri berdua dengan latar belakang taman kota.
Bingkai itu telah berdebu, namun masih berdiri tegak. Hanya dua orang dalam foto itu—sebuah pengingat yang terlalu jelas bahwa ada yang hilang. Bukankah seharusnya ada Ayah Leandra di sana?
Seketika itu juga, ekspresi sang nenek berubah. Sebuah kesedihan yang lain menggelayuti wajahnya.
“Dari awal, tak ada hubungan apa pun di antara Ayah Leandra...” gumamnya, nyaris tak terdengar, lebih kepada dirinya sendiri.
Bisa disimpulkan bahwa Ayah maupun Ibu Leandra adalah seorang single son dan daughter, sebuah kisah yang tidak biasa dan tak banyak diketahui. Bharendra, yang merupakan paman Leandra, hanyalah penjaga sementara—pendamping dalam sunyi. Sejak awal, Leandra tak memiliki ikatan darah dengan Nenek maupun Paman-nya. Dan kini, bayangan kehilangan itu menghantui mereka satu per satu.
Sekali lagi, sang Nenek menggeleng pelan. “Gadis yang malang...” bisiknya, lirih seperti doa.
Sementara itu, di sebuah kafe kecil bergaya retro yang hangat, dengan aroma kopi yang samar dan dentingan musik jazz pelan dari speaker tua di sudut ruangan, seorang pelayan bernama Jouris sedang membersihkan meja. Ia menghela napas panjang sambil memandang ke luar jendela, ke jalan yang tampak lengang.
“(Kenapa rasanya sepi sekali, aku ingin sekali mengejek gadis itu, tapi setelah mengetahui rupanya dia sudah pergi, itu agak aneh... Seharusnya aku tak bersikap terlalu mengejeknya ketika menyadari dia tidak akan lama ada di sini…)” pikirnya, menggenggam erat kain lap di tangannya. Rupanya, tanpa ia sadari, ia juga tak ingin Leandra pergi. Padahal, saat gadis itu masih ada, Jouris selalu tampak kesal padanya.
Temannya yang berdiri di balik konter bar, sedang menyusun gelas-gelas bersih, tampaknya memikirkan hal yang sama. Ia lalu melontarkan pertanyaan pelan.
“Apa di sini ada yang aneh semenjak gadis itu pergi? Padahal dia malaikat yang manis dan—”
“Hentikan omong kosongmu...” potong Jouris, tapi nadanya tidak seketus biasanya.
Tak hanya Jouris. Di sebuah klinik kecil yang dindingnya penuh lukisan-lukisan hasil terapi, dan aroma minyak aromaterapi masih menggantung di udara, Dr. Lee Murend duduk di balik mejanya.
Saat ini, ia sedang menulis catatan pasien, tetapi tangannya berhenti sejenak. Ia melepas kacamatanya, lalu menatap ke sudut ruangan, tempat sebuah figuran kucing kecil terletak di rak—figuran itu dulu pernah digenggam Leandra dengan erat.
Ingatannya kembali mengalir.
“Gadis yang malang. Dia bercerita, selama bersama dengan orang tuanya, dia tak pernah bertemu orang sepertiku... yakni yang dibayar untuk mendengarkan ceritanya. Bagaimana dia kesal akan sesuatu, dan bagaimana dia tumbuh di lingkungan yang menurutnya sangat gelap. Tapi, seharusnya aku memberitahunya, bahwa telinga orang lain ada yang tidak dibayar...” ia tertawa kecil, namun senyumnya cepat memudar.
“Aku juga sudah mengatakan, hanya perlu bercerita pada orang yang mau mendengarkannya secara sukarelawan... Dia benar-benar agak keras kepala, tapi aku mengerti bagaimana ketakutannya...” lanjutnya. Sorot matanya tampak penuh iba. Ia terus mengingat bagaimana Leandra datang berulang kali ke kliniknya, hingga akhirnya berhenti... dan tak pernah kembali.
“Dia pasien paling unik, aku harap dia bisa baik-baik saja menerima lingkungan yang gelap di matanya...” katanya lagi, suaranya lebih seperti harapan yang ia kirimkan pada angin.
Dan jangan lupa, sosok Bharendra—Pamannya, yang saat ini sedang berada di kantor polisi, sibuk menangani kasus Topeng Buas. Di balik keramaian para petugas dan tumpukan dokumen di mejanya, pikirannya justru melayang jauh.
Ia berdiri di dekat jendela kantor, memandang ke luar dengan sorot mata yang kosong namun penuh kecemasan.
“(Aku harap dia baik-baik saja... Dari kecil, pilihannya tak pernah diterima oleh orang tuanya...)”
Namun lamunannya segera terhenti saat seorang rekan polisi mendekat.
“Bharendra, kau sudah mencatat kasus akhir-akhir ini soal Topeng Buas?” tanya seorang polisi dengan nada serius.
Bharendra, yang masih memegang sebuah majalah berita di tangannya, hanya mengangguk singkat. “Yeah, aku sangat heran...” gumamnya, lalu meletakkan majalah itu di atas meja.
Suasana di ruang kerja itu dipenuhi aroma kertas lama yang lembab bercampur dengan kopi yang sudah mendingin. Di tengah tumpukan laporan dan suara ketikan, kasus Topeng Buas kembali merebak, namun kali ini terasa berbeda. Sejak Topeng Macan menghilang, intensitas kasus mulai mereda, menyisakan teka-teki baru.
Rekannya, berjalan cepat sambil membawa map tebal dan menyerahkannya ke Bharendra.
“Bharendra, aku baru saja mendapatkan laporan dari patroli malam. Tidak ada pergerakan mencurigakan di distrik utara, tapi ada laporan warga tentang seseorang yang terlihat mondar-mandir dengan penutup wajah di dekat pasar.”
\= Baru-baru ini, Topeng Buas memang kembali beraksi. Tapi akhir-akhir ini, mereka hanya beranggotakan dua orang. Topeng Macan sudah tidak terlihat di antara mereka, membuat berkurangnya kasus mereka semakin hari. \=
Yang artinya... ada masalah dengan Tora.
--
“Oh, ayolah kawan!!” teriak topeng rubah yang masuk ke dalam sebuah kamar, dia bahkan melepas topeng nya dan membuangnya di lantai. Sambil memarahi seseorang yang ada di ruangan itu.
“Kau seharusnya tahu, kita harus melakukan kegiatan kita! Kau tak mungkin hanya di sini saja sendirian! Kau harus ikut kami!!” dia tampak sangat kesal bahkan terus menunjuk nunjuk. Kini akhirnya terlihat bagaimana wajah dari topeng rubah itu, dia tak lain hanyalah pria yang memiliki tampang dewasa tapi kelakuan mereka seperti lelaki remaja.
Termasuk orang yang dimarahinya yakni Tora, dia hanyalah seorang pria yang saat ini sedang terbaring menatap ponselnya di ranjang kecil dan terlihat sangat malas di atas ranjang, dia tak mendengarkan apa yang dikatakan Topeng Rubah padanya.
“Tora!” hingga rekan nya itu berteriak memanggil, tapi ada Topeng Serigala datang, dia juga pria dengan umur yang sama dengan mereka, hanya saja rambutnya berwarna putih perak. “Sudahlah...” dia mencoba menenangkan nya.
“Ada apa dengan mu?! Tora sudah keterlaluan, dia bahkan tidak membantu kita dan seharian dia hanya di dalam sini, bahkan keluar pun tidak...” Topeng Rubah sudah tidak tahan membuat Topeng Serigala menghela napas panjang.
“Tora, kau harus mengatakan sesuatu pada kami,” tatapnya.
Suasana terdiam sebentar hingga Tora bangun duduk di samping ranjang nya, wajahnya terlihat, di bagian mata kirinya ada bekas luka sayatan yang tidak membuat matanya buta, dia masih bisa menggunakan kedua matanya dengan baik. Tapi sekarang tatapan nya tampak kesal juga. “Aku berhenti...” kata dia membuat mereka berdua terkejut.
“Sialan! Apa yang membuat mu begini kawan?! Sudah sangat lama kau begini dan kami sama sekali tak tahu apa yang membuatmu begini?” Topeng Rubah tampak kesal.
Tapi Tora terdiam, dia menatap ke arah ponselnya yang rupanya masih terpasang wallpaper kunci milik wajah Leandra, dia juga tengah memikirkan Leandra.
Kemudian Topeng Serigala menyilang tangan. “Sepertinya, kau memikirkan seseorang,” tatapnya dengan curiga.
“Dengar kawan, pekerjaan kita ini sangatlah penting, karena kita bisa mendapatkan uang sekaligus menunjukan jati diri kita... Bantulah kita hari ini maka kau akan kembali tenang... Entah apa yang membuat mu gila, kita akan berangkat, kita akan menunggumu selama 5 menit di atas, jika sudah 5 menit kau tidak ada, kita pergi tanpamu,” kata Topeng Rubah yang langsung berjalan pergi.
Tapi Topeng Serigala masih di tempatnya hanya untuk menambah perkataan. “Jika kau ingin mengakhiri ini hanya karena seseorang, lakukanlah di kedua arah, jadikan lah orang itu di sisi mu dan jangan sampai mengganggu pekerjaan kita, bagaimanapun juga kita tak bisa memutuskan ikatan Topeng Buas begitu saja...” tatapnya, lalu berjalan pergi.
Tora terdiam sebentar, dia masih menatap wajah Leandra di ponselnya hingga ponselnya mati, membuatnya menoleh ke topeng nya yang di meja, tepatnya Topeng Macan itu. Ia berpikir sebentar lalu menyimpan ponselnya sambil berdiri dengan gagahnya.
Tapi siapa sangka, dia mengambil topeng nya itu dan langsung membuang nya ke bawah dengan sangat keras membuat suara retak dan pecah pada topeng itu.
Ketika dia melakukan itu, dia mengingat bagaimana dia benar-benar mengenal Leandra. Ketakutannya, senyuman nya, kemarahan nya bahkan bagaimana dia melihat bola mata yang menyakitkan.
Membuat Tora merasa bersalah akan dirinya sendiri.
\=\= Semuanya ketakutan... Semuanya hanyalah abu dari masa lalu yang terbakar oleh orang yang sudah dari dulu membawa api... Kita tidak memiliki masa lalu yang di inginkan... Sekali lagi.... Kita.... \=\=
“(Mungkin, dia tidak akan pernah kembali...)” pikirnya sambil mengambil topeng itu yang retak, dia tak peduli dan memakainya hingga akhirnya dia keluar dari jendela kamar dan mulai memanjat untuk ke atas balkon menyusul rekan rekan nya, bagaimanapun juga dia tak bisa meninggalkan pekerjaan nya hanya karena tak sabar menantikan Leandra kembali lagi.
Di sana kedua rekan nya mengobrol. Ketika mengetahui Tora datang, mereka sama sama diam. Membuat Topeng Rubah memegang kening nya. "Haa.... Sial... Kau benar-benar menghancurkan Topeng mu.... Lagi..."
Tapi Topeng Serigala terdiam. Sorot matanya, bola matanya benar-benar memahami sesuatu pada jiwa Tora.