NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Trauma Melihat Perceraian

Aku terbangun dengan dada sesak. Napas terasa pendek, seperti ada tangan tak terlihat yang menekan kuat di dadaku. Kamar masih gelap. Jam di ponsel menunjukkan pukul tiga dini hari. Di sampingku, Ardi belum pulang. Tempat tidurnya dingin, kosong. Seperti hati yang diam-diam mulai kehilangan isinya.

Aku duduk sambil memeluk lutut. Keringat dingin membasahi tengkuk. Mimpi itu datang lagi.

Mimpi tentang Ayah dan Ibu.

Dalam mimpiku, aku kembali menjadi anak kecil yang bersembunyi di balik pintu kamar. Suara Ibu menangis terdengar pilu. Suara Ayah meninggi, keras, dan asing. Gelas pecah. Pintu dibanting. Lalu langkah kaki menjauh.

Dan aku… hanya bisa terdiam.

Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tapi kenangan itu terlalu nyata. Terlalu membekas. Bahkan setelah Ayah dan Ibu benar-benar berpisah, luka itu tak ikut sembuh. Justru semakin dalam.

Aku berjalan ke ruang tamu, menyalakan lampu kecil. Duduk di sofa dengan selimut melingkari tubuh. Tanganku gemetar memegang segelas air putih. Kepalaku penuh, dadaku sesak, dan pikiranku berlarian ke masa lalu tanpa izin.

Aku teringat satu sore belasan tahun lalu.

Saat aku pulang sekolah dan mendapati koper Ayah tergeletak di ruang tamu.

Saat itu Laras masih kecil, Dimas masih SMP, dan Raka belum genap lima tahun. Ibu duduk di lantai, menangis tersedu-sedu sambil memeluk Raka. Aku berdiri terpaku di tangga, tak mengerti apa yang sedang terjadi tapi jantungku tahu, sesuatu yang buruk sedang berlangsung.

“Ayah pergi, Nak,” kata Ibu waktu itu dengan suara hancur.

Sejak hari itu, rasa aman dalam diriku seperti dicabut paksa.

Kini, aku berada di posisi yang sama… hanya perannya yang berbeda. Bukan lagi sebagai anak, tapi sebagai istri. Dan trauma itu diam-diam membentuk caraku mencintai—dengan takut, dengan curiga, dengan kecemasan berlebihan akan kehilangan.

Aku takut menjadi seperti Ibu... Aku takut bernasib seperti pernikahan mereka. Aku takut… Ardi juga akan pergi.

Langkah kaki terdengar di luar. Pintu terbuka pelan. Ardi masuk dengan wajah lelah. Ia terkejut melihatku masih terjaga.

“Kamu belum tidur?” tanyanya.

Aku menatapnya tanpa langsung menjawab. Mataku menelusuri wajahnya, seperti ingin memastikan ia benar-benar ada di depanku, bukan hanya bayangan yang akan menghilang.

“Kenapa?” lanjutnya.

Aku menggeleng pelan. “Nggak apa-apa.”

vIa duduk di kursi, membuka jam tangannya. “Maaf, kerjaan lagi padat.”

Kata-kata itu terasa datar. Dulu, ia memelukku setiap kali pulang malam. Menanyakan keadaanku dengan penuh perhatian. Menggodaku agar mau tidur lebih awal. Sekarang… semua terasa seperti kewajiban.

“Apa kamu capek?” tanyaku akhirnya.

Ardi mengangguk singkat. “Capek.”

Satu kata lagi.

Aku menunduk. Ada ribuan pertanyaan di kepalaku, tapi semuanya berhenti di ujung lidah. Trauma membuatku takut bertanya, takut menuntut, takut dianggap berlebihan persis seperti Ibu yang dulu memilih diam sampai rumah itu benar-benar runtuh.

Aku kembali ke kamar tanpa berkata apa-apa. Ardi tidak mengikutiku.

Aku berbaring menghadap dinding. Air mataku jatuh dalam diam. Aku tidak menangis karena Ardi pulang terlalu malam. Aku menangis karena rasa takut yang terus tumbuh liar di dalam diriku takut kehilangan, takut ditinggalkan, takut dikhianati oleh waktu.

Keesokan paginya, aku duduk di teras rumah orang tua. Ibu menyeduh teh hangat. Kami duduk berdampingan tanpa banyak bicara. Udara pagi terasa dingin di kulit.

“Alya kelihatan lelah,” kata Ibu akhirnya.

Aku tersenyum tipis. “Biasa, Bu.”

Ibu menatapku lama. “Kamu takut ya?”

Pertanyaan itu membuatku terdiam.

“Alya takut seperti Ibu dulu?” lanjutnya pelan.

Aku menunduk. Air mata yang tadi kutahan kembali jatuh. Ibu menggenggam tanganku dengan lembut.

“Trauma itu nyata, Nak,” ujar Ibu lirih. “Tapi jangan sampai trauma itu membuatmu hidup dalam ketakutan terus-menerus.”

Aku menghela napas panjang. “Alya cuma… nggak mau kehilangan lagi, Bu.”

Ibu memelukku. “Tidak semua pernikahan harus berakhir seperti Ibu dan Ayahmu.”

Tapi dalam hatiku, bisikan itu terlalu lemah untuk melawan rasa takut yang sudah terlanjur mengakar.

Di dalam rumah, aku melihat Laras duduk termenung di dekat jendela. Tangannya mengusap perutnya. Wajahnya penuh kecemasan yang sama seperti yang sering kulihat di cermin. Trauma rupanya tak berjalan sendiri. Ia menular lewat luka.

Aku sadar, kami semua sedang membawa beban masing-masing. Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar bertanya dalam hati: Apakah aku sedang mencintai Ardi dengan tulus… atau hanya bertahan karena takut mengulang sejarah yang sama?

Malam kembali turun dengan tenang yang menipu. Aku duduk di tepi ranjang, menunggu suara langkah Ardi yang biasanya terdengar sekitar pukul sepuluh. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit. Rumah sunyi. Terlalu sunyi.

Aku memeluk guling, mencoba menenangkan detak jantungku sendiri yang terus berlari tanpa sebab yang jelas. Inilah yang selalu terjadi padaku.

Setiap kali Ardi terlambat pulang, pikiranku otomatis berjalan terlalu jauh. Aku membayangkan pintu yang tak lagi ia buka. Aku membayangkan ia memilih hidup lain, seperti Ayah dulu meninggalkan rumah ini perlahan, tanpa benar-benar berpamitan.

Trauma itu seperti bayangan panjang yang selalu mengikutiku.

Akhirnya, suara kunci terdengar di pintu.

Aku menegakkan tubuh. Ardi masuk dengan wajah lelah, tas kerjanya tergantung di bahu. Ia menoleh sekilas padaku.

“Belum tidur?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Nungguin.”

Ia menaruh tas di kursi. “Kenapa?”

Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi bagiku terasa berat. Karena aku sendiri tak tahu harus menjawab dengan cara apa agar tak terdengar berlebihan.

“Aku cemas,” kataku jujur.

Ardi terdiam sejenak. “Cemas kenapa?”

“Setiap kali Mas pulang larut… aku takut.”

Wajah Ardi berubah sedikit. Bukan marah, lebih seperti bingung.

“Takut apa, Alya?”

Aku menunduk. Kalimat itu terasa begitu rapuh untuk diucapkan. Tapi jika tidak kusebutkan sekarang, ia akan terus menggerogoti jiwaku.

“Aku takut… Mas pergi seperti Ayah dulu.”

Ruangan itu mendadak sunyi.

Ardi duduk di tepi ranjang, tak lagi berdiri di dekat pintu. Ia menatap tangannya sendiri beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Aku bukan Ayahmu.”

“Aku tahu,” jawabku pelan. “Tapi rasa takut ini… kadang lebih kuat dari logika.”

Ardi menghela napas panjang. “Kamu nggak bisa terus menghukum aku karena masa lalu keluargamu.”

Kalimat itu menusuk.

“Aku nggak menghukum Mas,” kataku cepat, suara mulai bergetar. “Aku cuma mau merasa aman.”

“Dan menurutmu aku bikin kamu nggak aman?” Aku terdiam.

Pertanyaan itu terlalu besar untuk kujawab saat itu juga.

Ardi berdiri lagi. “Aku capek, Alya. Ini bukan niatku bikin kamu cemas.”

Ia masuk ke kamar mandi, meninggalkanku dengan perasaan yang campur aduk. Antara ingin mengejarnya, memeluknya, atau justru membiarkannya pergi sementara agar aku bisa menenangkan diri.

Aku memilih diam.

Malam itu kami kembali tidur tanpa pelukan. Tidak ada pertengkaran besar, tapi jarak di antara kami terasa semakin nyata. Lebih tajam dari sebelumnya.

Keesokan paginya, aku membantu Ibu menyiapkan sarapan. Laras masih tidur di kamar, tubuhnya mudah lelah sejak kehamilan memasuki usia tua kandungan. Dimas sudah berangkat bekerja. Raka bersiap ke sekolah.

Ibu melirikku dari balik kompor. “Semalam begadang lagi?”

Aku mengangguk pelan.

“Mas Ardi pulang larut?”

“Iya.”

Ibu terdiam sebentar. “Kamu sering takut ditinggal, ya, Nak?”

Aku tersenyum pahit. “Iya, Bu.”

Ibu mematikan api kompor, lalu menatapku dengan serius. “Alya, pernikahan itu bukan tempat untuk menumpuk ketakutan. Kalau kamu terus hidup dalam bayangan Ayahmu, kamu akan kelelahan sendiri.”

“Tapi… Alya nggak mau terluka seperti Ibu dulu.”

Ibu terdiam cukup lama. Matanya menerawang. Mungkin ingatannya kembali pada masa ketika ia harus menguatkan empat anak dalam satu tangan yang gemetar.

“Ibu memang terluka,” katanya akhirnya. “Tapi bukan itu yang membuat Ibu runtuh. Yang membuat Ibu runtuh adalah karena Ibu memendam segalanya sendirian.”

Kalimat itu membuat hatiku berdenyut.

“Kamu jangan ulangi kesalahan Ibu. Kalau takut, bicarakan. Kalau lelah, bersandar. Jangan simpan sendiri sampai akhirnya kamu pecah.”

Aku mengangguk pelan.

Siang itu, aku duduk di kamar Laras. Ia sedang menyisir rambutnya perlahan. Wajahnya lelah.

“Kak,” katanya pelan, “aku sering mimpi buruk.”

“Tentang apa?”

“Tentang bayiku. Tentang kehilangan lagi. Tentang rumah ini yang makin kosong.”

Aku menggenggam tangannya. “Aku juga sering takut.”

“Kakak takut Mas Ardi pergi?” tanyanya dengan jujur yang polos.

Aku tersenyum samar. “Iya.”

Laras menatapku dalam. “Aku pikir… Kakak perempuan sulung itu paling kuat.”

Aku menarik napas panjang. “Justru karena paling sering menahan, biasanya paling mudah retak.”

Kami terdiam bersama. Dua perempuan dengan dua luka yang berbeda, tapi sama-sama berat.

Malam itu, aku memberanikan diri membuka pembicaraan lagi dengan Ardi. Tidak dengan nada menuntut. Tidak dengan air mata. Hanya kejujuran.

“Aku nggak minta Mas selalu ada di rumah,” kataku pelan. “Aku cuma minta Mas ngasih sedikit rasa aman.”

Ardi menatapku lama. Wajahnya melembut perlahan.

“Aku nggak mau kamu hidup dalam ketakutan,” katanya. “Tapi aku juga butuh kamu percaya.”

Aku mengangguk. “Aku sedang belajar, Mas.”

Ia mendekat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menggenggam tanganku lagi. Tidak erat, tidak juga tergesa. Tapi cukup untuk membuatku merasa… tidak sendirian.

Trauma itu belum pergi. Ketakutan itu masih tinggal. Namun malam itu, aku tahu satu hal:

Aku tidak bisa sembuh sendirian. Dan pernikahan ini tidak akan bertahan jika hanya aku yang terus berjuang dalam diam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!