Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 34
Ledakan mengguncang markas untuk kedua kalinya. Getarannya terasa sampai ke tulang, membuat Amina hampir kehilangan keseimbangan. Bau mesiu bercampur asap tebal menyengat hidungnya, sementara kobaran api terus menjilat dinding-dinding yang kini penuh retakan.
Telinganya berdengung, tetapi suara tembakan yang beruntun memaksanya kembali fokus. Dengan satu gerakan cepat, ia merunduk di balik meja besar yang sudah separuh hancur, dokumen dalam genggamannya terasa lebih berat dari sebelumnya.
"Siapapun yang melakukannya, mereka tahu kelemahan kita!" suara Alexander terdengar tajam, membelah kekacauan yang melanda. Matanya menyala marah di tengah cahaya oranye dari api yang membara.
Amina menahan napas, jantungnya berdebar keras. Ini bukan serangan sembarangan—seseorang di dalam kelompok Alexander telah membocorkan informasi penting. Tapi siapa?
Lorenzo melompat dari balik puing-puing, tangannya cekatan mengisi ulang senjata. "Musuh tahu jalur evakuasi kita! Mereka sudah menunggu di luar!"
"Kalau begitu kita buat jalur baru," Dante menyeringai miring, matanya liar seperti hewan yang baru saja dilepaskan dari kandangnya.
Michael mengutuk pelan, lalu menoleh ke arah Amina yang masih setengah terduduk di belakang meja. "Amina! Bisa jalan?"
Amina mengerjap, mencoba mengusir rasa pening yang masih menggantung. Tangannya menekan luka di lengannya yang mulai mengering, tetapi rasa perihnya masih terasa. Ia mengangguk.
"Kita harus keluar sekarang," kata Alexander tegas, matanya menyapu ruangan dengan cepat. "Dante, cari jalan alternatif. Lorenzo, Michael, cover kita."
Felix, yang sejak tadi berjongkok di sudut, akhirnya bicara. "Ini bukan sekadar serangan dadakan, kan?" Suaranya pelan, nyaris tenggelam dalam suara api yang meletup. "Ada orang dalam yang membocorkan posisi kita."
Amina bertukar pandang dengan Felix. Dia benar.
Siapa pun pengkhianatnya, dia masih ada di antara mereka.
Mereka keluar dari reruntuhan dengan napas tersengal. Jalanan basah oleh hujan yang baru saja reda, tetapi udara tetap terasa berat karena asap dan debu yang masih melayang.
Amina menyipitkan mata, mencoba menembus kegelapan. "Mereka pasti sudah mengepung area ini."
Alexander menggertakkan gigi. "Kalau begitu, kita harus lebih cepat."
Tanpa peringatan, peluru melesat dari arah gang sempit di sebelah kanan mereka.
"Lari!" Dante berteriak.
Mereka semua bergerak serempak. Lorenzo menembakkan beberapa peluru sebagai pengalih perhatian, sementara Michael menarik Amina ke belakang sebuah mobil terbengkalai.
"Sial!" Amina menekan tubuhnya ke pintu mobil yang dingin, mencoba menenangkan napasnya yang memburu. "Mereka tidak akan membiarkan kita lolos begitu saja!"
"Ya, makanya kita harus pintar-pintar," Michael menyeringai, matanya berkilat penuh perhitungan.
Alexander melirik jam tangannya. "Kita hanya punya waktu beberapa menit sebelum bala bantuan mereka datang. Amina, kau bisa cari jalur keluar yang aman?"
Amina mengintip ke sekeliling. Matanya menangkap gang kecil di sebelah kiri, hampir tertutup oleh tumpukan kotak kayu. Tidak mencolok, tapi cukup luas untuk mereka berempat.
"Ikuti aku," katanya cepat.
Mereka bergerak dengan gesit, menembus gang yang sempit dan remang-remang. Bau tanah basah bercampur dengan sampah yang membusuk menusuk hidung, tapi tidak ada waktu untuk memikirkan itu.
Namun, tepat ketika mereka hampir mencapai ujung gang, sosok gelap muncul di hadapan mereka.
Sebuah pistol diarahkan langsung ke kepala Amina.
"Selamat malam," suara itu terdengar dingin, tetapi ada nada mengejek yang tersembunyi di dalamnya.
Dante mengumpat. "Brengsek, kita masuk perangkap."
Matahari akhirnya muncul, tetapi cahayanya hanya menerangi kehancuran. Markas mafia yang dulu berdiri kokoh kini hanya tinggal reruntuhan berasap.
Amina berdiri di atas puing-puing, menatap apa yang tersisa dari tempat yang sebelumnya menjadi pusat informasi dan kekuatan Alexander.
"Hancur total," gumamnya pelan.
Alexander berdiri di sampingnya, wajahnya sulit dibaca. "Aku tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja."
Amina menghela napas panjang. "Mereka tahu kelemahan kalian. Mereka tahu jalur evakuasi kita. Itu berarti ada seseorang di dalam kelompokmu yang membocorkan informasi."
Alexander mengangguk pelan. "Kau punya ide siapa?"
Amina menggigit bibirnya. "Aku belum bisa memastikan, tapi aku tahu satu hal—orang itu tidak akan berhenti sampai mereka memastikan kita benar-benar habis."
Lorenzo mendekat dengan ekspresi gelap. "Jadi, apa rencananya?"
Amina melirik mereka satu per satu, lalu mengangkat dokumen yang masih ia pegang sejak tadi malam. "Kita mulai dari sini."
Felix mengerutkan kening. "Kau yakin kita bisa mempercayai isi dokumen itu?"
"Tidak ada yang bisa kita percaya sekarang," Amina menjawab lirih, matanya menatap lurus ke arah cakrawala yang mulai berwarna jingga.
Langit pagi masih kelabu, sisa-sisa asap dari kebakaran semalam melayang malas di udara. Bau gosong dan logam memenuhi setiap sudut markas yang kini lebih mirip kuburan perang.
Amina berdiri di depan jendela retak di ruangan kecil yang tersisa, menatap reruntuhan yang dulunya penuh dengan orang-orang yang berisik, penuh cemooh dan strategi. Kini, hanya keheningan dan puing-puing.
"Apa kau yakin tidak melihat sesuatu yang mencurigakan sebelum serangan?" suara berat Alexander memecah kebisuan.
Amina menoleh. Tatapan pria itu tajam, tapi lelah. Setelan hitamnya berdebu, lengan bajunya tergulung, memperlihatkan luka di lengannya yang belum sepenuhnya bersih dari darah kering.
"Aku tidak melihat, tapi aku merasakan," jawab Amina sambil melipat tangan di dadanya. "Serangan ini terlalu terencana. Bukan hanya sekadar tembak-menembak biasa. Mereka tahu kelemahan markas ini."
Alexander menghela napas panjang. Dia tahu itu. Dia juga tahu bahwa ada pengkhianat di antara mereka.
Di pojok ruangan, Dante bersandar di meja dengan ekspresi masam. "Kalau ada pengkhianat, kenapa dia belum melakukan serangan berikutnya?" gumamnya sambil memutar pisau kecil di jarinya.
"Karena dia ingin kita kehilangan arah," Amina menyahut cepat. "Mereka ingin kita curiga satu sama lain, sampai kita hancur sendiri tanpa mereka harus menghabiskan peluru."
Keheningan menyelimuti ruangan.
Theodore, yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya, akhirnya berbicara. "Aku sudah memeriksa sistem komunikasi kita. Ada aktivitas mencurigakan beberapa hari sebelum serangan. Seseorang mengakses informasi markas dari perangkat dalam."
Semua mata tertuju padanya.
"Apa kau bisa melacak siapa?" tanya Alexander.
Theodore mengusap tengkuknya. "Aku bisa mencoba, tapi kalau dia cukup pintar, jejaknya pasti sudah dihapus."
Michael, yang berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat, menatap Amina dengan pandangan menyelidik. "Dan kenapa kau tiba-tiba begitu peduli dengan ini?"
Amina mengangkat alis. "Karena kalau kita tidak menemukan pengkhianat itu, aku bisa mati bersama kalian," katanya santai.
Dante terkekeh. "Kau tidak terdengar cukup takut untuk seseorang yang bisa mati kapan saja."
Amina menatapnya datar. "Percaya padaku, aku sudah pernah menghadapi yang lebih buruk."
Malam Hari – Distrik Gelap Paris
Lorong-lorong sempit berbau lembab. Lampu-lampu jalan berkedip samar, seolah kelelahan bertahan di lingkungan yang dipenuhi kriminal. Amina berjalan cepat, jantungnya berdetak tak beraturan.
Dia sudah mengikuti transaksi mencurigakan ini selama tiga hari. Seseorang di dalam kelompok Alexander telah membocorkan informasi, dan sekarang dia punya petunjuk pertama.
Namun, firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Langkah-langkah cepat terdengar di belakangnya. Amina berpura-pura tidak peduli, tetapi otaknya bekerja cepat. Ada tiga kemungkinan:
Orang biasa yang kebetulan berjalan di belakangnya.
Preman lokal yang mengincar dompetnya.
Orang yang benar-benar mengincar dirinya.
Sayangnya, dia yakin yang terakhir.
Amina mempercepat langkah. Jantungnya berdegup semakin kencang. Dia mengintip bayangan di etalase toko tua di sebelahnya—tiga pria, berjalan dalam formasi, mencoba mengepungnya tanpa menarik perhatian.
Sial.
Dia berbelok ke gang sempit. Jika dia bisa keluar ke jalan utama sebelum mereka mendekat—
Terlambat.
Salah satu pria itu menarik lengannya. Amina langsung menghantam tulang rusuknya dengan sikunya, membuat pria itu terhuyung. Dua lainnya mendekat cepat.
Amina menendang yang satu di lutut, lalu menepis pukulan dari yang lain. Tapi dia kalah jumlah. Mereka lebih besar dan lebih kuat.
Lalu tiba-tiba—
Satu per satu mereka tumbang.
Hening.
Amina mendongak.
Di bawah bayangan lampu jalan, seorang pria berdiri.
Lucien.
Jaket kulitnya berdebu, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi tatapan matanya menusuk tajam.
"Kau bodoh atau memang ingin mati?" katanya datar.
Amina menghela napas panjang. "Aku sedang menyelidiki sesuatu."
Lucien menatap tubuh-tubuh yang tergeletak di sekitar mereka, lalu kembali menatap Amina. "Dan kau nyaris gagal."
Amina mengerucutkan bibir. "Tapi aku tidak gagal."
Lucien menatapnya lama, lalu menghela napas. "Kau semakin dalam masuk ke lubang ini."
"Aku tahu," jawab Amina, kali ini tanpa nada bercanda.
Dia benar-benar tahu. Dan itu yang membuatnya takut.
Kembali ke Markas
Alexander berdiri di ruangannya, menatap peta besar yang dipenuhi tanda merah.
"Ada masalah?" tanya Amina sambil menyandarkan diri di pintu.
Alexander menoleh, ekspresinya tidak terbaca. "Aku tidak suka kehilangan kendali," katanya pelan.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.