Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi Target Perburuan
Setelah hari pertama OSPEK yang penuh sesak dan insiden aneh di jalan yang menguras emosinya, Arjuna bersyukur saat akhir pekan tiba. Baginya, libur bukanlah waktu untuk bersantai. Libur adalah kesempatan emas untuk mencari nafkah. Pagi-pagi sekali, ia sudah siap untuk kembali ke satu-satunya tempat yang memberinya kepastian: proyek bangunan.
Saat Arjuna tiba di lokasi proyek, suasananya sangat berbeda dari hari pertamanya. Begitu ia melangkah masuk, para pekerja yang melihatnya langsung tersenyum lebar dan menyapanya dengan akrab.
"Woi, Jagoan! Datang juga akhirnya!" seru salah seorang kuli dari atas perancah.
"Bos kecil kita datang! Aman proyek hari ini!" timpal yang lain sambil tertawa.
Arjuna hanya bisa tersenyum malu sambil mengangguk. Ia tidak akan pernah terbiasa dengan panggilan "jagoan" atau "bos kecil" itu. Ia berjalan menghampiri Pak Tarno yang sedang memberi arahan.
Melihat kedatangan Arjuna, wajah Pak Tarno langsung cerah. Ia menepuk punggung Arjuna dengan keras dan ramah.
"Nah, ini dia yang saya tunggu-tunggu!" kata Pak Tarno. "Bagus kamu datang, Jun. Ada pekerjaan berat yang butuh tenaga badakmu itu."
Pak Tarno menunjuk ke arah sebuah mesin molen besar dan area pondasi di bagian belakang proyek. "Ada bagian pondasi cakar ayam yang harus segera dicor hari ini. Itu butuh banyak sekali semen dipindahkan ke area belakang dalam waktu cepat. Para pekerja lain tenaganya terbatas." Ia menatap Arjuna dengan penuh kepercayaan. "Hanya kamu yang saya percaya bisa melakukannya. Bagaimana? Sanggup?"
Mendengar tantangan itu, Arjuna justru merasa bersemangat. Bekerja fisik seperti ini terasa seperti terapi. Ini adalah sesuatu yang sederhana dan nyata. Ia mengangkat karung, memindahkannya, mendapatkan upah. Tidak ada misteri, tidak ada drama, tidak ada pertarungan hidup dan mati. Hanya kerja keras yang jujur.
"Siap, Pak! Serahkan pada saya!" jawab Arjuna dengan mantap.
Pak Tarno tersenyum puas. "Bagus! Semennya ada di tiga truk baru yang sudah menunggu di sana. Itu semua jatahmu hari ini. Kerjakan semampumu."
Arjuna menatap tiga truk semen yang berjejer itu. Pemandangan yang seharusnya membuatnya gentar, kini justru memompa semangatnya. Ini adalah dunianya. Di sini ia tidak perlu berpikir tentang tatapan tajam Aulia, pengumuman di kampus, atau kejadian-kejadian aneh yang terus menghampirinya. Di sini, yang perlu ia lakukan hanyalah mengangkat dan berjalan.
Dengan senyum tipis di wajahnya, ia berjalan menuju truk pertama, siap untuk menaklukkan gunung semennya hari itu.
Arjuna tenggelam dalam pekerjaannya. Ritme mengangkat, berjalan, dan meletakkan karung semen menjadi semacam meditasi baginya. Keringat membanjiri tubuhnya, debu menempel di kulitnya, namun pikirannya terasa jernih. Di sini, di tengah kebisingan dan kerja keras, ia adalah Arjuna. Bukan si jenius misterius, bukan pahlawan dadakan, hanya seorang pemuda yang berjuang untuk hidup. Ia merasa damai.
Ia sama sekali tidak menyadari, bahwa beberapa ratus meter dari lokasi proyek, di seberang jalan, sebuah mobil sedan hitam mewah dengan kaca gelap berhenti dengan posisi yang tidak mencolok. Di dalamnya, duduk dua orang pria berbadan tegap dengan setelan hitam dan kacamata hitam. Mereka bukan preman. Pakaian mereka mahal, sikap mereka profesional, dan di tangan mereka ada peralatan canggih.
Salah satu dari mereka, yang duduk di kursi penumpang depan, mengangkat sebuah kamera dengan lensa tele yang panjang, mengarahkannya tepat ke area proyek.
"Kau yakin itu anaknya?" tanya pria yang menyetir, suaranya rendah dan datar. "Dari laporan, dia mahasiswa UNG peringkat pertama. Kenapa jadi kuli bangunan?"
"Data tidak pernah bohong," jawab si fotografer, matanya tak lepas dari bidikan lensa. "Fotonya cocok. Namanya cocok. Ini target kita."
Lensa kameranya menemukan sosok Arjuna. Ia melihat pemuda kurus itu mengangkat satu karung semen dengan mudah, lalu satu lagi, lalu satu lagi. Gerakannya efisien, tenaganya seolah tak ada habisnya. Pria itu sedikit terkejut.
"Anak ini... menarik," gumamnya.
Ia mengambil beberapa foto dengan cepat: foto wajah Arjuna yang berkeringat, foto saat ia memanggul semen, foto punggungnya yang tegap. Gambar-gambar itu dengan cepat ia kirimkan melalui aplikasi pesan aman kepada atasannya, Hendra.
"Target ditemukan. Lokasi: Proyek Pembangunan Gedung Sentosa, Jalan Gatot Subroto. Konfirmasi nama: Arjuna Wicaksono. Aktivitas saat ini: Bekerja sebagai buruh angkut semen. Foto terlampir. Mohon instruksi selanjutnya."
Di dalam kamar VVIP sebuah rumah sakit mewah, Kakek Broto sedang menatap ke luar jendela saat ponsel pintarnya di meja bergetar pelan. Hendra, asisten kepercayaannya, masuk dan menyerahkan sebuah tablet.
"Pak, kami sudah menemukannya," kata Hendra dengan hormat.
Wajah Kakek Broto langsung berbinar. Ia mengambil tablet itu dengan tangan yang sedikit gemetar karena antusias. Di layar, terpampang foto-foto yang baru saja dikirim. Foto seorang pemuda kurus, kotor oleh debu, sedang memanggul karung semen yang lebih besar dari badannya sendiri.
Nenek Lastri, yang duduk di sampingnya, ikut melihat dan terkesiap. "Ya Tuhan... jadi ini pekerjaan anak itu? Kasihan sekali..."
Namun, Kakek Broto justru tersenyum lebar. Senyum yang tulus dan penuh kekaguman. Ia melihat foto itu bukan dengan rasa kasihan, melainkan dengan rasa hormat.
"Kasihan?" katanya, lebih pada dirinya sendiri. "Tidak, Lastri. Anak ini luar biasa. Dia punya kekuatan untuk menyembuhkan orang, punya otak untuk masuk universitas terbaik, tapi dia tidak malu untuk bekerja sekeras ini demi menyambung hidup. Dia tidak manja, dia tidak sombong. Dia... murni."
Ia memperbesar foto wajah Arjuna. Wajah yang sama, dengan tatapan mata yang sama tenangnya seperti yang ia lihat sesaat sebelum ia pingsan.
Laporan dari Hendra muncul di bawah foto itu. Nama Arjuna Wicaksono. Penerima beasiswa penuh Universitas Nusantara Global.
"Arjuna..." Kakek Broto menggumamkan nama itu. Rasanya sangat pas.
Ia menatap Hendra, matanya kini berkilat penuh antisipasi. "Saya tidak sabar lagi, Hendra. Saya ingin segera bertemu dengan pemuda ini."
Ia berpikir sejenak. "Jangan dekati dia di tempat kerja. Jangan membuatnya takut. Atur pertemuan. Cari cara yang paling halus dan paling sopan. Undang dia untuk bertemu dengan saya. Katakan padanya, Hartono Brotoadikusumo ingin mengucapkan terima kasih secara pribadi."
Di lokasi proyek yang panas dan berdebu, Arjuna terus bekerja. Karung semen ke-seratus, ke-seratus satu, ke-seratus dua. Keringatnya mengalir deras, tetapi ada senyum tipis di wajahnya. Ini adalah kerja keras yang jujur, sebuah kepastian di tengah hidupnya yang tiba-tiba menjadi penuh keajaiban dan teka-teki. Ia merasa memegang kendali atas setidaknya satu aspek dalam hidupnya: kemampuannya untuk bekerja.
Ia sama sekali tidak tahu, bahwa di saat yang bersamaan, ia adalah subjek dari dua operasi pencarian yang besar
Di sebuah ruang kerja yang mewah di kawasan elite, Ibu Liana, ibunda Mia, menatap sebuah layar monitor besar dengan saksama. Di sampingnya berdiri seorang pria berpenampilan profesional, kepala tim keamanan dari perusahaan suaminya.
"Kami berhasil mengisolasinya dari rekaman CCTV pintu keluar utama mall, Bu," lapor pria itu. "Wajahnya cukup jelas. Setelah kami jalankan program pengenalan wajah dan mencocokkannya dengan berbagai data publik, kami berhasil menemukan identitasnya."
Di layar, muncul foto ijazah Arjuna yang sama, berdampingan dengan foto buram dari CCTV yang menampilkan sosoknya berjalan keluar dari mall bersama Ucup.
"Namanya Arjuna Wicaksono," lanjut si kepala keamanan. "Dan ini bagian yang paling menarik, Bu. Data yang baru saja masuk pagi ini menunjukkan bahwa dia adalah penerima beasiswa penuh peringkat pertama di Universitas Nusantara Global."
Ibu Liana terkesiap pelan. Ia menatap lekat profil Arjuna. Jadi, pemuda berpenampilan sederhana yang menyelamatkan putrinya bukan hanya kuat secara misterius, tapi juga seorang jenius. Rasa kagumnya semakin besar.
"Anak yang luar biasa," gumamnya. "Dia menolong Mia, tapi tidak meminta imbalan apa pun, bahkan langsung pergi. Dia punya kekuatan, tapi memilih bekerja sebagai kuli bangunan. Dia jenius, tapi tetap rendah hati."
Ia lalu menatap kepala keamanannya dengan tatapan tegas. "Saya tidak mau tahu bagaimana caranya. Atur pertemuan. Saya dan Mia harus berterima kasih padanya secara langsung."
Di sisi lain kota, di sebuah kafe remang-remang yang menjadi tempat berkumpul anak-anak orang kaya yang bermasalah, suasananya jauh dari kata kagum. Rian duduk di sofa kulit, wajahnya masih menyimpan amarah dan dendam. Di hadapannya, duduk tiga orang pria berbadan tegap dengan wajah dingin dan tanpa ekspresi. Mereka bukan preman pasar seperti Bang Jago. Mereka adalah preman sewaan yang lebih profesional dan lebih kejam.
Rian melemparkan sebuah foto ke atas meja. Foto itu ia dapatkan dari salah satu temannya yang iseng memotret daftar nama penerima beasiswa UNG yang ditempel di mading kampus. Foto nama dan wajah Arjuna.
"Ini orangnya," desis Rian, matanya berkilat penuh kebencian. "Namanya Arjuna. Mahasiswa baru di UNG."
Pemimpin preman sewaan itu mengambil foto tersebut, mengamatinya sekilas. "Mau diapakan anak ini, Bos?" tanyanya dengan suara serak.
"Gue nggak peduli gimana caranya," jawab Rian dingin. "Kasih dia pelajaran yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Buat dia cacat kalau perlu, tapi jangan sampai mati. Gue mau dia menderita karena sudah berani mempermalukan gue."
Ia mengeluarkan sebuah amplop tebal berisi uang dan mendorongnya ke tengah meja. "Ini uang muka. Sisanya setelah pekerjaan kalian beres. Cari dia. Hajar dia."
Pemimpin preman itu mengambil amplop tersebut tanpa banyak bicara, lalu mengangguk. Misi telah diterima.
Di proyek, Arjuna baru saja meletakkan karung semennya yang ke sekian ratus. Ia mengambil botol airnya dan meneguknya dengan rakus, merasakan segarnya kehidupan. Ia sama sekali tidak tahu bahwa di dua sudut kota yang berbeda, takdirnya sedang ditarik ke arah yang berlawanan. Satu pihak sedang merencanakan untuk memberinya anugerah sebagai tanda terima kasih. Pihak yang lain sedang merencanakan untuk memberinya kehancuran sebagai ajang pembalasan. Badai itu sedang berkumpul, dan ia berdiri tepat di tengahnya.
biar nulisny makin lancar...💪