Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16. MENU PENYEMBUHAN
..."Kadang, batas antara melindungi dan mencintai begitu tipis hingga dalam satu sentuhan, dua hati yang retak kembali belajar percaya pada kehangatan manusia."...
...---...
Wajah Naira langsung pucat. Piring hampir terlepas dari tangannya, tapi Doni cepat menahan. Naira mundur dari wastafel, napasnya memburu, pendek dan tersengal.
"Tidak... tidak... tidak..."
Dia di sini. Dia akan datang. Ke tempat aku. Dia akan merusak semuanya lagi.
Ia menggeleng cepat, tangan menekan dada seperti berusaha mencari udara yang hilang. "Dia tidak boleh datang. Dia tidak boleh di sini. Ini tempat aku. Dia tidak boleh..."
"Hai, hai, Naira, lihat aku." Doni meletakkan piring, berdiri di hadapannya tanpa menyentuh, tapi cukup dekat untuk menjadi pegangan di tengah badai. "Bernapas. Tarik napas lewat hidung, hitung sampai empat. Hembuskan lewat mulut, hitung sampai enam. Ikuti aku, ya."
Doni memberi contoh, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Naira mencoba mengikuti, matanya terkunci pada mata Doni seperti berpegang pada satu-satunya hal yang stabil di tengah badai kepanikan.
Satu napas. Dua napas. Tiga napas. Perlahan, ritme napasnya mulai teratur. Tubuhnya masih gemetar, tapi guncangan itu perlahan surut.
"Kenapa dia datang?" Suaranya keluar parau, hampir tidak terdengar, seperti tenggorokan terlalu sesak untuk bicara. "Kami sudah cerai. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."
"Dia bilang ingin menutup hubungan dengan baik. Tapi aku dan Ratna tidak percaya. Kami pikir dia punya motif lain."
"Tentu saja dia punya motif lain." Naira tertawa pendek, getir, tanpa sedikit pun tawa di matanya. "Rendra tidak pernah melakukan apa pun tanpa tujuan. Dia manipulator. Dia akan datang ke sini, pura-pura jadi mantan suami yang peduli, bilang khawatir dengan kondisiku, lalu pelan-pelan meracuni pikiranku lagi. Itu caranya. Selalu begitu."
"Maka itu, besok aku akan ada di sini. Ratna juga. Kamu tidak akan sendirian." Nada Doni mantap, tegas, sampai membuat Naira menatapnya. "Aku janji, aku tidak akan biarkan dia menyakiti kamu lagi."
"Tapi... kontrak. Pasal dua belas. Kamu tidak boleh terlibat..."
"Lupakan kontrak." Doni mengulang kata-kata Ratna. "Besok, yang penting cuma satu: kamu aman. Urusan lainnya nanti saja."
Air mata menggenang di kelopak matanya, siap tumpah. "Kenapa kamu lakukan ini? Kontrakmu bisa dibatalkan. Lima ratus juta denda. Restoranmu..."
"Karena itu yang benar. Karena kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu. Dan karena..."
Peduli. Kata yang terlalu kecil. Tapi kata yang lebih besar terlalu menakutkan.
Doni terdiam sejenak. Kata-kata menggantung, terlalu berbahaya untuk diucapkan. Tapi tatapan Naira membuatnya tidak bisa mundur. "Karena aku peduli. Tentang kamu. Bukan sebagai klien, tapi sebagai... seseorang yang penting."
Keheningan turun seperti kabut dingin di dapur yang hangat. Oven masih menyisakan panas, kontras dengan udara malam yang merembes lewat jendela. Mereka sama-sama tahu garis sudah terlewati. Kata sudah terucap, dan tidak ada jalan kembali.
"Doni..." Suaranya bergetar, tapi mantap. "Aku juga peduli. Tentang kamu."
Aku takut. Apa kalau aku percaya lagi, dan dia juga menyakiti aku? Apa kalau aku salah lagi?
"Dan itu menakutkan, karena aku pikir aku tidak akan bisa peduli lagi pada siapa pun setelah Rendra. Tapi kamu... kamu beda. Kamu membuat aku ingin coba lagi. Ingin percaya lagi."
Mereka berdiri sangat dekat sekarang, hanya beberapa sentimeter. Doni bisa mencium wangi lavender dari rambut Naira, bisa melihat setiap detail di mata cokelat gelapnya.
Tangannya terangkat tanpa sadar, hampir menyentuh pipi Naira.
Jangan. Kalau kamu sentuh dia sekarang, tidak ada jalan kembali.
Tapi berhenti di udara, gemetar.
"Aku tidak bisa..." Suaranya serak. "Kalau aku sentuh kamu sekarang, aku tidak tahu apakah bisa berhenti."
"Lalu jangan berhenti." Naira yang menutup jarak itu. Tangannya meraih tangan Doni yang menggantung, menuntunnya ke pipinya sendiri.
Jantung Doni berdebar keras. Kulitnya terasa terlalu panas, terlalu sensitif, seperti setiap saraf hidup kembali setelah lama mati rasa.
Sentuhan itu seperti aliran listrik. Hangat, lembut, hidup. Doni bisa merasakan air mata Naira jatuh di telapak tangannya, hangat dan basah, lalu dingin saat udara malam mengeringkannya. Bisa merasakan tubuh rapuh itu bersandar pada sentuhan yang mungkin sudah lama tidak ia rasakan.
"Besok, apa pun yang Rendra bilang..." Naira menarik napas. "Apa pun yang dia coba lakukan... aku janji tidak akan percaya. Karena aku punya alasan untuk melawan."
"Apa itu?" Suara Doni nyaris berbisik.
Naira tersenyum di balik air mata. "Kamu. Nasi goreng jam tiga pagi. Pelajaran memotong bawang. Obrolan-obrolan yang membuat aku merasa hidup lagi. Aku tidak akan biarkan dia mengambil itu dari aku."
Doni menarik Naira ke dalam pelukannya. Melanggar Pasal dua belas, melanggar semua batas yang seharusnya dijaga, tapi ia tidak peduli.
Tubuh Naira terasa kecil di pelukannya, gemetar seperti daun. Doni bisa merasakan degup jantungnya sendiri, cepat dan keras, berbaur dengan isak Naira yang pelan. Naira menangis di dadanya, tangannya melingkar di pinggang Doni, memegang erat seperti takut tenggelam.
Doni tidak bergerak. Hanya memegang. Membiarkan Naira menumpahkan semua yang selama ini tertahan.
Maafkan aku, Sari. Tapi aku pikir hidup terus berjalan. Dan kamu pasti mau aku ikut berjalan.
Dan Doni, untuk pertama kalinya sejak Sari meninggal, merasakan sesuatu yang ia pikir sudah mati di dalam dirinya: keinginan untuk melindungi seseorang, tidak peduli risikonya.
"Besok kita hadapi bersama," bisiknya lembut. "Kamu tidak sendirian lagi."
"Janji?" Suaranya kecil, seperti anak-anak yang takut ditinggal.
"Janji." Doni mengusap punggungnya pelan. "Aku tidak akan ke mana-mana."
Mereka tetap dalam pelukan itu sampai air mata Naira berhenti, sampai napasnya kembali teratur, sampai dunia di luar dapur tidak terasa semenakutkan tadi.
Dan di suatu tempat di malam Bandung yang dingin, Rendra Wiratama mungkin sedang merencanakan kunjungannya besok. Ia tidak tahu bahwa kali ini Naira tidak sendirian.
Kali ini, ada seseorang yang siap berdiri di depannya. Melindungi dengan segenap jiwa. Bahkan jika harus mengorbankan segalanya.
...---•---...
...Bersambung...