Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34 Gengsi
Kening Argha mengkerut, saat melihat kiriman foto dari Diana. Pose ambigu Inara dan Artha saat di pesta tadi. Ada rasa kesal di dalam hatinya. Namun, ia tak mau begitu menanggapi. Mengingat ia juga paham, bagaimana watak dari Diana. Sebisa mungkin, ia tak mau terprovokasi.
“Itu foto saat aku hampir saja jatuh. Kebetulan ada Mas Artha. Gak ada aneh-aneh. Kamu bisa tanya aja sama Mas Alden.”
Argha berlonjak saat melihat kedatangan Inara. Istrinya itu membawakannya secangkir kopi. Wajah Argha jadi pucat sendiri. Ia meletakkan ponselnya di atas meja dan menutup ruang obrolannya dengan Diana.
Inara menghela napas. Ia duduk di depan suaminya, tangannya bersedekap. Tentu bibirnya mengerucut. Argha sama sekali tidak peka. “Terserah kamu mau percaya sama aku atau si nenek sihir itu.”
“Nenek sihir?” Sebelah alis Argha terangkat satu.
Inara menunjukkan wajah dinginnya. Ia memang tak menyukai Diana. “Diana.”
Mulut Argha terkantup rapat. Tak menyangka jika Inara akan seberani ini. Istrinya itu benar-benar menunjukkan rasa ketidaksukaannya dengan Diana.
“Ya udah. Itu kopi kamu. Aku mau tidur, udah malam.” Inara kembali duduk, karena Arga menarik sikunya. “Kenapa?”
“Kamu enggak ada niatan mau balikan sama Artha, kan?”
Sebelah alis Inara terangkat satu, ia tersenyum pongah. Bisa-bisanya Argha memiliki pikiran ke sana. “Kalau aku mau balikan sama dia, jelas aku enggak mau nikah sama kamu. Ada-ada saja.”
Argha tercenung. Ia kembali memperhatikan foto itu. Ada rasa tidak percaya. Melihat ekpresi keduanya terlihat lain. Hati Argha tidak tenang. Ia meraih cangkir keramik berisikan cairan hitam kental, lalu menyeruputnya.
“Shit! Panas!” pekiknya yang kemudian menurunkan cangkirnya lagi. Pria itu mendengkus. Semangat kerjanya menjadi kendur. Ini pasal perasaan Inara ke Artha yang tak tahu aslinya seperti apa.
Argha akan mengambil sesuatu di kulkas. Buah-buahan. Ya, mungkin setelah makan yang manis-manis, moodnya akan kembali datang.
Saat menuruni anak tangga, Argha berpapasan dengan Artha yang baru saja kembali. Adiknya itu tampak bersiul, senang.
Argha bersedekap dada, menghambat jalan Artha. Jangan lupakan tatapannya yang mengintimidasi seperti biasa.
“Kenapa?” tanya Artha heran.
“Jauhi Inara,” desis Argha.
Artha menyeringai, ekspresi tengilnya itu membuat Argha sangat geram. Ia benar-benar santai, di luar dugaan Argha.
“Aku serius, Artha. Jauhi Inara! Dia istriku, gak seharusnya kamu dekati dia.” Argha mengatakannya dengan pelan, tak ingin orang lain mendengar ini. Apa lagi Inara.
“Dekat yang gimana maksudmu? Kami hanya berteman biasa. Nothing special! Terus, kami juga sepakat, untuk tidak membahas masa lalu.” Artha lelah jika harus mendebatkan ini. Jujur, ia tak ingin Inara kecewa. Kalau bukan karena mantannya itu, ia akan semakin memancing Argha marah.
Andai saja ia bisa menikung kembali kakaknya, merebut Inara dan kembali merajut kasih yang telah putus. Hanya saja, tak bisa. Ia tak mau egois. Terpenting baginya adalah perasaan Inara. Ia tak ingin memaksakan kehendaknya lagi.
Argha terdiam, Artha melangkah naik. Hanya saja, dua anak tangga Artha berhenti, ia menoleh ke belakang. “Satu lagi!” Argha menoleh padanya. “Tadi, Diana ngajakin aku buat kerja sama. Aku bisa sama Inara, dia bisa sama kamu. Tapi, aku menolaknya dan mengancam dia, kalau sampai Inara lecet sedikit aja, dia bakal urusan sama aku.”
Artha kembali tersenyum pongah. “Hati-hati sama perempuan jadi-jadian itu.”
Kening Argha mengkerut. “Apa kamu masih menyukai Inara.”
“Menurutmu? Kalau bukan sialan Diah yang mancing dan buat aku mabuk, mungkin aku sama Inara sudah nikah, dan kami hidup bahagia. Pasangan saling mencintai.” Artha pergi begitu saja. Tubuh Argha seakan lemas.
Argha sudah tak bernapsu untuk makan buah lagi. Ia kembali naik ke lantai dua. Perasaannya ambyar begitu saja. Sekelebat ingatan tentang kejadian beberapa bulan lalu kebali teringat.
‘Buat Artha ketagihan sama kamu lagi. 100 juta di muka, kalau berhasil, kamu akan mendapatkan lebih dari ini.’
‘Siap, Pak Argha. Terima kasih atas kerja samanya.’
Argha meraup wajahnya sendiri. Ia berjalan menuju kemarnya. Hatinya terus terdorong untuk melihat sang istri.
Saat mengayunkan knop pintu, Argha melihat Inara sudah berbaring di atas ranjang. Ia masuk dan menutup pintunya. Argha menghampiri Inara yang sudah terlelap. Istrinya itu tidur dengan memeluk bantal guling.
“Salahku apa, sih, Mas sama kamu,” gumam Inara dalam tidur.
Hati Argha ngilu mendengar itu. Ia berpikir, jika Inara memimpikan Artha, memimpikan pengkhianatan Artha. Melihat wajah Inara, rasa bersalah terus saja menghantui. Tangan Argha yang hendak membelai kepala Inara menggantung di udara.
Argha menghela napas. Dadanya terasa sangat sesak. Ia memilih untuk pergi ke ruang kerjanya. Mungkin dengan menyibukkan diri, beban pikirannya akan pergi begitu saja.
“Mas Argha, apa salahku, kenapa kamu diamii aku, Mas.” Inara kembali bergumam, bahkan keningnya tampak mengkerut. Inara terus memikirkan Argha, hingga terbawa mimpi.
Sementara itu, di kamar lain, Artha sedang membersihkan diri. Ingatan tentang Shifa kembali hadir di bayangannya, pria itu terkekeh sendiri mengingat betapa uniknya seorang shifa.
Ting
Artha melempar handuk basahnya ke atas sofa, masih dengan bert3 l4njang dada, ia meraih ponsel yang ada di atas ranjang. Pesan dari nomor tak dikenal.
Artha membukanya.
+081301183xxx [Hey, cowok sok ganteng! Mending to the poin, maunya apa? Gak usah deh ngajakin ketemuan di tempat tertutup.]
[Lagian, siapa yang mau. Dasar tua bangka!]
Artha geleng-geleng kepala. Gadis kecil yang sangat berani. “Sialan, dia ngatain aku tua bangka? Belum tahu dia.”
Artha duduk di tepi ranjangnya. Berniat untuk membalas dengan kata-kata kejam.
[Hey, kucing oren yang nakal! Jangan sembarangan. Kubilang, besok ya besok. Kalau ngeyel, aku bilang sama papamu. Aku bahkan tahu siapa papamu. Udah, nurut aja.] Artha
Artha melempar ponselnya di atas ranjang, ia tertawa kecil.”Gadis kecil yang unik. Bisa-bisanya ada anak kecil yang ngatain aku tua bangka. Gak tahu diri sekali gadis itu.”
Artha merasa tertantang. Ia akan membuat gadis itu mengakui ketampanannya dan mengemis cinta. “Lihat saja nanti anak kecil, siapa yang bakalan ngemis. Aku, sih ogah ya menerima kamu.”
Artha merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Namun, lagi-lagi bayangan gadis itu kembali datang.
Ponsel Artha kembali berdenting dengan nomor yang sama. Hanya saja, isinya gadis itu menyetujui pertemuan mereka besok siang. Berbagai ancaman gadis itu layangkan padanya. Artha hanya tertawa. Tanpa berbiat sedikitpun membalas.
Tak lupa, Artha menyimpan nama gadis itu dengan sebutan ‘kucing oren galak’ setelah itu, ia justru terkekeh sendiri.
“Dasar kucing oren. Belum tahu dia pesona aku. Kita lihat saja, kamu yang bakalan minta maaf duluan. Lagian, berani-beraninya dia nyeret aku ke dalam masalahnya.”