Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laras 2
Tiba - tiba tangan Laras menyentuh sesuatu di lantai, dia berusaha untuk mengambilnya.
Sebuah tusuk sate, bekas Neh makan tadi siang. Digenggamnya erat tusuk sate itu, lalu dengan kekuatan penuh ditusukkan pada leher laki - laki itu.
AAARRGKK ...
Pekiknya kesakitan. Sambil memegangi lehernya. Laras menusukkan lagi disembarang tempat, berkali - kali. Membuat laki - laki itu kesakitan. Tangannya siap menampar Laras.
Dengan cepat Laras menusukkan pada sembarang tempat, menancap dan berdarah.
Aaarrgkk!!
Rasa sakit membuat dia melepas tubuh mangsanya. Laras tak menyia siakan kesempatan ini, dia beringsut ke atas, kakinya bergerak menendang perut laki - laki itu. Dia terjengkang ke belakang.
Laras langsung bangun, laki - laki itu melihat mangsanya akan melarikan diri, dia mengabaikan rasa sakitnya, dia berdiri dan hendak meraih tangan Laras.
Tapi ...
BUUUMM !!
Celana yang sudah melorot setengah itu, menghalangi kakinya ketika dia melangkah hingga akhirnya terjatuh.
Laras sampai di belakang, dia membuka jendela yang tak terlalu besar itu dan memaksakan dirinya keluar lewat situ.
Saat itu Laras bersyukur memiliki tubuh kurus, seandainya dia gemuk sedikit. Maka jemdela itu tak akan muat untuk tubuhnya.
Laras berlari dengan memegang pakaiannya yang setengah terbuka. Mengundang perhatian dari beberapa orang di sana.
Satu dua orang yang mengenal , memanggilnya. Tapi Laras tak menghiraukan panggilan itu. Dia terus berlari sekencang - kencangnya. Lari dan tak pernah akan kembali.
Merasa sudah sangat jauh berlari, Laras menengok ke belakang. Rasa takut masih memguasai dirinya. Jangan - jangan laki - laki itu mengejarnya.
Tapi tak ada siapa pun di belakangnya. Meski begitu, Laras tetap waspada. Dia terus berlari meskipun tak sekencang tadi.
Sampai akhirnya kaki itu tak mampu berlari lagi. Dia menengok ke kanan ke kiri. Ada sebuah tempat terlindung dari cahaya lampu, dengan bak - bak berisi air di atas dipan.
Perlahan dia berjalan ke sana, duduk, mengatur napasnya yang naik turun tak beraturan.
Air mata deras mengalir, diusap dengan tangannya yang gemetar. Duduk meringkuk sambil menggigit ujung - ujung kukunya. Setiap ada langkah orang di dekatnya, Laras menahan napas.
Malam.semakin larut, udara dingin merembes masuk dalam tulang - tulangnya, membuat Laras menggigil.
Krruuukk ... kkrruuuukk ....
Perutnya juga minta diisi, Laras ingat, terakhir dia makan waktu sarapan tadi pagi, setelah itu tak ada satu pun yang masuk lagi.
Tapi untuk bergerak dan meninggalkan tempat itu , Laras terlalu takut.
Krieett
Terdengar pintu di buka, dan seorang perempuan berjalan ke arahnya. Laras diam menahan napas, membekap mulutnya supaya tak bersuara.
Perempuan itu kaget, melihat ada sepasang kaki dari bayangan yang terpantul dari lampu samping.
Diambilnya gayung, diangkatnya tinggi - tinggi, siap untuk memukul apa yang dilihatnya.
Laras terkejut sekali melihat seorang perempuan mengangkat gayung sudah ada di depannya. Dia menunduk, siap dipukul.
"Sopo kowe ... he ...! Sopo kowe, kok di sini, lapo!" bentaknya.
Laras memberanikan diri mengangkat wajahnya, dia sedikit lega, ternyata bukan Neh.
"Maap Ibu, saya Laras, saya cuma numpang sembunyi, tadi dikejar orang jahat,"jawab Laras pelan.
Ibu itu menurunkan tangannya. Gayung diletakkan di bak berisi air itu, dan mengajak Laras berdiri.
Laras, takut - takut berdiri. Ibu tadi mengamati dari atas sampai bawah. Dilihatnya seorang perempuan muda, dengan badan kurus. Kancing baju tak pada tempatnya, menunjukkan dikancing sembarangan.
"Ayo masuk," ajaknya.
Ibu itu berjalan di depan, membukakan pintu untuk Laras.
"Duduk,"
Laras duduk dengan takut - takut. Ibu tadi memberinya segelas teh hangat.
"Minum," katanya lagi.
Tangan Laras gemetar mengangkat gelas dan meminumnya. Teh hangat menyapa perutnya dengan ramah, meredakan sejenak lapar yang dia rasa.
Setelah melihat perempuan itu sedikit tenang, Ibu itu bertanya,
"kowe ki sapa, dan dari mana, kenapa bisa ada di sini?"
"Saya Laras, Bu. ..." Laras menceritakan apa yang terjadi dengannya. Sesekali terdengar suaranya terisak.
"Edyaan ... mbokmu ki edyaaan ... sudah, sekarang sementara kamu di sini dulu, ato kowe arep mulih ta?"
"Ndak Buk, saya ndak mau pulang, kalau boleh saya bermalam di sini, besok saya akan pergi," jawab Laras.
"Emang kamu mo kemana?"
"Ndak tau Buk, saya ndak punya siapa - siapa," jawab Laras sambil menunduk.
"Opo kowe gelem tinggal di sini, kebetulan Ibu juga sendirian, anak Ibu sudah keluarga dan tinggal jauh di luar pulau," tanya Ibu itu sambil melihat reaksi Laras.
"Apa boleh Laras tinggal di sini, Buk? Laras yang tak yakin dengan tawaran Ibu itu, mengembalikan pertanyaannya.
Ibu itu mengangguk.
" Tapi iy kowe kudu ngerti pekerjaan, bantu aku bersih - bersih rumah," katanya lagi.
"Iya Buk, teri ... ma kkaa ...sih," jawab Laras tersendat. Ada lega dia tak harus lari dan cari tempat persembunyian lagi.
Sejak saat itu, Laras menghabiskan hari - harinya di sana. Perhatian dan kebaikan Ibu itu membuatnya semangat lagi. Tak lagi kena pukul penebah kasur, tak lagi kelaparan. Ibu menyediakan semua untuk Laras.
Tapi semua tak berlangsung lama. Mendengar Ibu sering sakit, anak Ibu mengajaknya tinggal di luar pulau, dan dia tak bisa membawa Laras. Rumah dikembalikan pada pemiliknya. Laras pun hidup sendiri lagi.
Tanpa pengalaman, tanpa ijazah, membuatnya sangat sulit mencari kerja untuk saat ini. Sudah berkali - kali Laras mencoba bertanya kesana kemari, tapi tetap saja orang lebih mencari ijazah daripada dirinya.
Alhirnya, Laras diam di terminal, dengan berbekal kepyekan dari tutup botol, dia jadi pengamen. Dari satu bus ke bus lainnya. Penghasilan yang tak seberapa, lumayan untuk dia makan.
Untuk tidur malam hari, biasanya Laras menumpang tidur di toilet terminal, tempat terakhir dia singgah. Itu tempat yang aman menurutnya. Pintu bisa dikunci dari dalam.
Dari satu terminal, ke terminal lain, hingga akhirnya tiba di pinggiran kota Jatireno.
Pasar malam membuatnya singgah di sana. Tetap dengan kepyekan tutup botol, Laras berjalan dari satu stand ke stand lainnya.
Dan Laras, berada di antara kerumunan orang di sana, ketika mereka selesai membuat Jaka terkapar.
########
Malam itu, Ibu sama sekali tak bisa tidur, kekhawatiran terhadap Jaka, membuatnya sulit memejamkan mata. Tapi setidaknya, Ibu bisa makan dan mengistirahatkan kakinya.
Pagi itu, pagi - pagi sekali, Ibu sudah bersiap ke rumah Pak RT.
Istirahat semalam membuatnya bertenaga kembali.
Kebetulan sekali, Pak RT pun ingin ke tempat Ibu. Mereka bertemu di jalan. Jalan beriringan, mereka menuju ke kantor polisi.
Di sana mereka menceritakan permasalahannya. Polisi mencatat baik - baik.
Karena sudah sehari kemarin tak pulang, dan dengan gangguan mental, akhirnya polisi tidak menunda pencarian. Berita segera diwartakan ke beberapa kantor polisi terdekat.
Saat itu, Jaka selesai makan, dia duduk dalam sel, sesuai permintaan Laras.
Krriiiiiing ... kriiiiing ....
Tiba - tiba telepon kantor berdering.
"Hallo, selamat pagi, dengan kantor polisi Jatireno di sini," kata polisi penerima telepon.