kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pelangi setelah hujan...
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, jantung Rico berdebar tak karuan. Firasat buruk yang menghantuinya semakin terasa mencekik. Ia tahu, sesuatu yang sangat buruk telah terjadi. Wajah Axel yang putus asa saat meneleponnya tadi terus terbayang.
Sesampainya di depan pintu kamar VIP, tangannya sempat ragu mengetuk. Aroma antiseptik menusuk hidung, menambah rasa cemas. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan setiap sisa keberaniannya, sebelum akhirnya mengetuk pelan dan mendorong pintu.
Begitu pintu terbuka, pandangan Rico langsung tertuju pada Axel yang masih berdiri kaku di samping brankar Rara, wajahnya tampak hancur, menatap kosong ke depan. Suasana di dalam kamar begitu dingin dan mencekam, hanya suara alat medis yang berbunyi teratur memecah keheningan.
"M-malam, Tuan," sapa Rico, suaranya tercekat dan terasa asing di telinganya sendiri, nyaris tak terdengar. "Ada yang bisa saya bantu?"
Axel menoleh dengan cepat, matanya yang merah dan bengkak menatap tajam ke arah Rico. Sebuah percikan amarah mulai menyala di sana, bercampur dengan keputusasaan yang mendalam.
"Tolong jelaskan ini semua, Rico!" desisnya, menuntut jawaban, suaranya bergetar hebat. Ia bahkan tak sadar tangannya mencengkeram bahu Rico dengan kuat.
"Kenapa Rara bisa koma?! Apa yang sebenarnya terjadi?!"
Rico menelan ludah, dadanya sesak. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan setiap sisa keberaniannya. Menatap Axel yang begitu rapuh namun meledak-ledak, ia tahu tidak ada cara mudah untuk mengatakan ini.
"Tuan..." Rico memulai, suaranya rendah dan serak, hampir tak terdengar. Ia menunduk sejenak, menghindari tatapan Axel yang menuntut. "tuan mengalami kecelakaan parah... dan... dan benturan keras itu melukai jantungn tuan." Ia berhenti, mata Rico berkaca-kaca, memohon pengertian. "Jantung tuan.. rusak parah,.... harus segera mendapatkan pendonornya."
Kata "pendonornya" menggantung di udara, dingin dan menusuk. Tiba-tiba, sebuah kepingan puzzle yang mengerikan melintas di benak Axel. Semua tanda itu... ketiadaan pendonor, kondisi ia yang kritis, dan fakta bahwa ia sendiri baru saja pulih. Matanya membelalak lebar, kesadaran pahit itu menghantamnya seperti gelombang tsunami, mengempaskan seluruh sisa kekuatannya.
"Jangan bilang... jangan bilang dia yang mendonorkan jantungnya?!" teriak Axel,
suaranya pecah, dipenuhi penolakan dan amarah yang meledak-ledak. Tanpa pikir panjang, tangannya mengepal erat, dan dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia melayangkan tinjunya lurus ke rahang Rico.
Tinju Axel menghantam rahang Rico dengan kekuatan penuh, menghasilkan suara bugh yang memilukan. Rico terhuyung mundur, kepalanya terlempar ke samping, dan ia nyaris jatuh ke lantai. Sebuah seringai darah tipis mengalir dari sudut bibirnya, namun ia tak peduli dengan rasa sakit fisik itu. Yang ia rasakan hanyalah kepedihan Axel yang begitu besar.
"Sudah sering aku katakan jangan" Rico mencoba bicara, namun suaranya terputus oleh desahan sakit saat ia menahan diri agar tidak ambruk.
Axel tak peduli pada Rico yang terhuyung. Amarah dan rasa bersalah memuncak, menggerogoti setiap sarafnya. Darah mendidih di dalam nadinya.
"Aku sudah berjanji untuk tidak membiarkan dia terluka sedikit pun!" bentaknya, suaranya pecah, matanya berkilat marah sekaligus putus asa, menatap Rico dengan nanar.
"Kenapa, Ric?! Kenapa kau biarkan dia mengorbankan jantungnya?!" Ia mencengkeram kerah baju Rico, menariknya mendekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan. "Seharusnya aku yang mati! Biar saja aku yang mati daripada melihat orang yang paling kucintai sekarang terbaring koma di sini!" Suaranya berubah menjadi rintihan, diakhiri dengan isakan tertahan yang membuat bahunya bergetar.
Rico, meski rahangnya terasa nyeri dan sudut bibirnya masih mengalirkan sedikit darah, tidak membalas. Ia tahu Axel sedang kalut, dikuasai emosi yang tak tertahankan. Dengan susah payah ia melepaskan cengkeraman Axel dari kerahnya, menjaga jarak aman namun tetap berdiri tegak.
"Tuan... Tuan, tenang dulu," bujuk Rico, suaranya pelan dan menenangkan, mencoba menyalurkan ketenangan yang ia sendiri hampir tak punya. Ia melirik ke arah pintu, berharap Dokter Mark segera kembali dengan kabar baik.
"Dokter Mark sedang mengusahakan, Tuan. Kami sedang berusaha sekuat tenaga mencari donor jantung untuk Nona Rara."
Mata Axel masih menyala, menatap Rico seolah Rico adalah satu-satunya harapannya yang tersisa.
Wajahnya menunjukkan tekad yang mengerikan, campuran antara keputusasaan dan dominasi. "Apapun caranya, Rico!" desisnya, suaranya dingin dan penuh determinasi, menggetarkan udara di antara mereka.
"Pokoknya, secepat mungkin kita harus mendapatkan donor itu! Dan untuk siapa pun yang bersedia... aku akan berikan imbalan satu miliar!" Axel menekankan setiap kata, rahangnya mengeras, memperlihatkan betapa ia tidak main-main.
Rico mengangguk cepat, tak berani membantah. Ada campuran simpati dan kesadaran akan tugas berat yang menanti di wajahnya. Sebuah beban baru menimpa pundaknya. "Baik, Tuan. Saya akan pastikan itu."
"Rico berupaya menjelaskan, suaranya tercekat. 'Saya sudah melarang keras Nyonya mendonorkan jantungnya, Tuan,' katanya, penuh penyesalan.
Tak lama setelah perdebatan itu, Steven dan Mark datang menjenguk.
''Maaf, Tuan, baru bisa datang,' ucap Steven, raut wajahnya tampak prihatin.
Mark menepuk bahu Axel perlahan. ''Xel, ingat kondisi kamu baru pulih. Jangan terlalu emosional,'' nasihatnya, mencoba menenangkan.
Perlahan, ketegangan di wajah Axel mengendur. Ia kembali terlelap, menyandarkan kepala di sisi brankar Rara. Malam itu, mereka bertiga menemani Axel di rumah sakit.
Pagi menjelang, sinar matahari menyusup lembut dari celah tirai, membangunkan suasana. Maya masuk, berniat membangunkan Axel.
''Pagi, Tuan,'' sapa Maya lembut. ''Maaf, Tuan, bisa keluar sebentar? Saya mau membersihkan badan Rara.''
Axel mengangguk. Ia membangunkan ketiga sahabatnya, ''Ayo keluar dulu, Rara mau dibersihkan.'"
Mereka pun beranjak, menunggu di kursi luar ruangan. Di sana, Axel menyampaikan keputusannya, suaranya mantap dan tak terbantahkan.
'"Aku mau menikahi Rara hari ini juga,' ucap Axel.
Ketiganya serempak terperanjat, keheningan menyelimuti sejenak sebelum Axel melanjutkan.
"'Rico, kamu urus dokumennya. Steven, kamu tangani pekerjaan kantor hari ini. Mark, tolong siapkan perlengkapan medis untuk di mansion. Aku mau membawa pulang Rara, agar bisa merawatnya setiap hari.'' Keputusan Axel bulat.
Setelah membagi tugas, masing-masing kembali ke posisinya. Axel masuk setelah Maya memberinya izin.
"May, tolong bereskan semua pakaianmu dan Rara. Hari ini kita pulang," jelas Axel, sorot matanya dipenuhi tekad. "Biarkan Rara dirawat di rumah. Oh ya, nanti sore aku dan Rara akan menikah. MUA akan datang ke rumah."
Sekitar pukul sebelas siang, ambulans membawa Rara kembali ke mansion Axel. Di sana, seorang Penata Rias (MUA) sudah menunggu.
Setelah petugas medis memindahkan Rara ke kamar yang telah dilengkapi alat-alat medis, Axel mendekat.
"Sayang," bisiknya, suaranya bergetar menahan gejolak di dada. "Kita sudah kembali. Mas punya kabar bahagia, hari ini kita akan menikah."
Axel mengusap air mata di pipi Rara. "Mas yakin Rara bisa mendengar suara Mas. Maafkan Mas, gara-gara Mas, kamu jadi begini," ucapnya, nada keputusasaan jelas terasa.
Ketukan di pintu menginterupsi. Maya muncul. "Permisi, Tuan," ucapnya. "MUA-nya sudah datang."
"Tolong rias pengantinku secantik mungkin," pinta Axel, suaranya berat namun penuh harapan.
Waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Sebuah ambulan berhenti tepat di depan gerbang mansion.
Rara dibawa pulang. Seketika, barisan bodyguard bertubuh kekar muncul menyambut, sigap membuka jalan. Petugas medis dengan hati-hati menurunkan Rara, membawanya masuk ke dalam kamar yang sudah dilengkapi berbagai alat medis.
Axel mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, menyerahkannya kepada petugas medis. "Terima kasih, Tuan," ucap salah seorang dari mereka.
Axel mendekat ke ranjang, menggenggam lembut jemari Rara yang terbaring kaku. "Sayang, lihatlah, kita sudah di mansion," suaranya tercekat. "Hari ini kita akan menikah, Sayang. Semoga kamu mendengar ucapan Mas," bisiknya sendu.
Setetes air mata meluncur di pipi Rara. Axel mengusapnya dengan ibu jari, merasakan dinginnya kulit sang kekasih.
Tak lama, ketukan pintu terdengar. "Permisi, Tuan, MUA telah datang," ucap Maya, asisten rumah tangga.
Axel bangkit, menatap Maya dengan tatapan kosong namun penuh harap. "Tolong, rias pengantinku secantik mungkin," pintanya, suaranya sarat permohonan.
Waktu ijab kabul pun tiba. Rico, Steven, dan Mark sudah berkumpul, menjadi saksi bisu. "Bisa kita mulai, Tuan Axel?" tanya Bapak Penghulu.
Dengan satu tarikan napas panjang, lafaz ijab kabul terucap. Akhirnya, mereka sah menjadi suami istri. Sebuah pernikahan yang hanya dihadiri oleh wali dan sahabat terdekat Axel. Suasana haru menyelimuti, bercampur kepedihan yang mendalam.
Satu bulan , dua bulan, bahkan setahun tlah berlalu. Namun, harapan untuk menemukan jantung yang cocok bagi Rara tak kunjung tiba.
Mark, dokter pribadi Rara sekaligus sahabat Axel, mulai menunjukkan raut putus asa.
Malam itu, Axel harus lembur di kantor. Sebelum pergi, ia tak lupa menelpon Maya. "Halo, May, malam ini saya lembur. Tolong temani Rara, ya," pintanya.
"Baik, Tuan," jawab Maya.
Maya masuk ke kamar Rara. Ia duduk di samping ranjang, menggenggam tangan dingin sang nona muda. "Ra... Kakak kangen canda tawa kamu, kangen ngobrol sama kamu. Hidup Kakak sepi tanpa kamu," ucap Maya terisak, mencium telapak tangan Rara.
Tiba-tiba, Maya merasakan gerakan kecil di jemari Rara. Jantungnya berdesir.
"Ayo, gerakkan lagi jemarimu, Rara! Kasihan suamimu terpuruk tanpamu. Beri dia kejutan di hari pernikahan kalian!" bisik Maya penuh semangat, air matanya kini bercampur haru.
Perlahan, kelopak mata Rara terbuka, sedikit demi sedikit. "Kak Maya..." panggil Rara dengan suara begitu pelan, nyaris tak terdengar. "Haus, Kak..."
Maya seketika mengambil gelas berisi air putih, menyuapi Rara sesendok demi sesendok. Setelah Rara selesai minum, Maya langsung meraih ponselnya, menghubungi Axel.
"Tuan... Ra... Rara..." ucap Maya terbata, suaranya bergetar menahan tangis bahagia.
Axel langsung beranjak dari kursinya tanpa menghiraukan panggilan Maya. Pikirannya kalut. Ia bahkan tak sempat mendengar detail ucapan Maya. Yang ia tahu, ada sesuatu yang terjadi. Axel segera menghubungi Mark. "Mark, ke mansion sekarang, darurat!" perintah Axel, suaranya penuh ketegangan dan secercah harapan yang baru menyala.
Setibanya di mansion, Axel tak membuang waktu. Jantungnya bergemuruh di dada saat ia melesat menuju kamar, seolah ada magnet tak kasat mata yang menariknya.
"sayang...!" panggilnya, suara itu lebih dari sekadar panggilan, melainkan sebuah doa, sebuah harapan yang teramat dalam.
"Mas Axel..."
Suara itu! Begitu lembut, seolah bisikan angin musim semi, namun sanggup menghentikan dunia Axel.
Sebuah suara yang selama ini hanya hidup dalam mimpi terliarnya, suara yang ia rindukan hingga jiwanya terasa hampa. Tubuhnya terpaku, napasnya tertahan di tenggorokan. Beberapa detik terasa seperti keabadian, otak Axel mencoba memproses kenyataan di depannya.
Saat kesadarannya kembali, ia tak lagi peduli pada apa pun. Dengan mata berkaca-kaca, ia menerjang, memeluk Rara begitu erat, seolah tak akan pernah melepaskannya lagi. Aroma Rara, sentuhan kulitnya yang hangat semuanya nyata.
"Sayang... Mas begitu merindukanmu," isak Axel, suaranya pecah, hancur oleh luapan emosi yang membuncah. Air mata membanjiri pipinya, bukan lagi air mata keputusasaan, melainkan air mata kelegaan yang menggetarkan.
Sebuah ketukan pelan di pintu menginterupsi momen sakral itu. Mark.
"Mark, tolong periksa Rara," Axel melepaskan pelukannya, berat hati menjauh sedikit, memberi ruang bagi sahabatnya untuk bekerja. Matanya tak lepas dari Rara, seolah takut jika ia berkedip, semua ini hanyalah ilusi.
Setelah pemeriksaan singkat, raut wajah Mark berubah serius.
"Xel, tolong besok bawa Rara ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut." Mark menghela napas, menatap Rara dengan pandangan penuh haru. "Ini suatu mukjizat, Ra, kamu bisa melewati masa ini. Kita semua sudah mulai putus asa," Mark, suaranya sarat dengan duka yang telah berlalu, namun kini bercampur kelegaan yang begitu besar, hingga hampir terasa menyesakkan.
Ia tak bisa menyembunyikan getaran dalam suaranya, membayangkan betapa tipisnya benang harapan yang pernah mereka genggam.
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu