Aku pernah gagal jadi manusia, tapi aku tidak ingin gagal jadi seorang ibu--Anin.
Setelah pergi membawa luka untukku sendiri, kini aku datang lagi dan memberi luka untuk mas Haris. Setelah 6 tahun waktu berlalu, setelah dia memiliki kehidupan yang baru, tiba-tiba aku datang dan mengatakan bahwa kita punya Anak.
Bagaimana ini, bersediakah dia menerima Alena?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AGKK Bab 34 - Tidak Berubah
"Kenapa mas Haris terlihat marah lagi?" gumamku sangat bingung. Perasaan aku sudah melakukan apa yang dia perintahkan, perasaan aku pun telah melakukan yang terbaik untuk hubungan kami ke depan.
Tapi selalu saja mas Haris bersikap seolah aku melakukan kesalahan fatal, sampai sikap dingin itu terus dia tujukan padaku.
Sungguh, aku merasa tidak nyaman dengan hubungan yang seperti ini. Harusnya Mas Haris bicara apa maunya agar aku mengerti, jika dia diam terus seperti itu, bagaimana aku bisa memahaminya.
Ku putuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar, membasuh wajah agar tidak terlalu kentara jika habis menangis. Setelahnya ku cari dimana Alena dan mas Haris. Ternyata keduanya sudah berada di ruang tengah, menonton televisi menunggu waktu magrib tiba.
"Mamaaa, kemana saja sih?" tanya Alena, menyambut ku dengan pertanyaan yang terdengar kesal. Sementara Mas Haris sedikit pun tidak menoleh, tatapannya lurus ke arah televisi di depan sana.
Pria itu seperti tidak menganggap keberadaanku.
"Maaf sayang, Mama tadi di kamar," jawabku pada Alena, aku pilih duduk di sofa yang lain, tidak ikut bersanding dengan keduanya.
Baru saja mendudukkan diri, Mas Haris langsung menoleh dengan tatapan dinginnya itu. Membuat jantungku seketika berdenyut kaget.
Astaghfirullahaladzim. Batinku.
"Kenapa Mama duduk di sana, duduk di sini," pinta Alena kemudian, bocah cantik itu juga menepuk sisi kosong di sampingnya.
"Iya sayang," jawabku, menuruti keinginan Alena. Jadi dengan canggung aku pindah posisi duduk, di samping Alena dan membuat kami duduk berdampingan, bertiga.
Alena kemudian menarik tanganku untuk dia genggam, tangan kiri kanannya dia gunakan untuk menggenggam tangan ayah dan ibunya.
"Besok masih hari Rabu ya, padahal aku sudah tidak sabar pergi ke Taman," celetuk Alena.
"Besok pergi ke taman juga tidak masalah, Papa tidak akan masuk kerja," jawab Mas Haris.
"Benarkah Pa?" tanya Alena, bertanya dengan nada yang terdengar begitu antusias.
"Iya Alena anakku sayang, cintaku, duniaku, kita bisa pergi besok," jawab mas Haris, kapan lagi aku bisa melihat sikap dia yang kekanakan seperti itu, sikap kekanakan yang hanya dia tunjukkan di hadapan Alena.
"Ye!! Aku tidak sabar!" sahut Alena, semangat sekali, dia sampai melepaskan genggaman tangannya padaku dan ganti memeluk Mas Haris dengan erat.
Diantara kebahagiaan keduanya, aku hanya mampu menelan ludah dengan kasar. Artinya aku harus kembali menelpon Namira dan mengatakan bahwa jadwalnya berubah, bukan hari Minggu mereka pergi ke Taman, tapi besok.
"Papa akan telepon dokter Anton lebih dulu, malam ini biar dia datang untuk memeriksa keadaan Alena. Setelahnya kita dengar apa dokter Anton mengizinkan Alena pergi ke taman atau tidak," jelas Mas Haris kemudian.
Tiap kali melihat interaksi Mas Haris dan Alena, selalu mampu membuatnya haru sendiri.
"Siap Pa, aku akan istirahat lebih dulu di dalam kamar. Jadi nanti dokter Anton pasti mengizinkan aku pergi," jawab Alena. Dia juga langsung mengambil boneka Barbienya di atas meja, lalu menuju kamarnya sendiri untuk langsung beristirahat.
Kata Alena dia bisa istirahat sendiri, jadi meninggalkan aku dan mas Haris berdua di ruang tengah tersebut.
"Mas," panggilku sebelum mas Haris menelpon dokter Anton, dia sudah memegang ponselnya siap menghubungi dokter sang anak.
"Aku ingin bicara yang tadi," kataku.
"Yang mana?" balas mas Haris, suaranya dingin sekali, berhasil membuatku merinding.
"Namira."
Mas Haris terdiam, hanya menatapku dengan intens dan tajam.
"Kita kan masih bisa pergi taman lain kali, nanti kita akan memiliki banyak waktu bersama. Sedangkan Namira tidak, apalagi setelah kita menikah, dia pasti akan sungkan untuk datang. Jadi ..." Aku mengambil jeda lebih dulu, tatapan mas Haris itu membuatku sulit untuk bicara.
"Ja-jadi sekali ini saja, ku mohon pergilah bertiga. Aku tidak usah ikut dulu, ya?" pintaku, sekarang aku sudah sangat memohon. Namun tatapan tajam Mas Haris sedikitpun tidak mengendur.
Membuatku menelan ludah dengan sangat kasar. Glek!
"Apa kamu sedang membujukku?" tanya mas Haris, malah pertanyaan seperti itu yang dia lontarkan, padahal aku sedang bicara serius.
Tapi aku bisa apa selain menjawab iya, "Iya Mas," jawabku, sebuah jawaban yang entah kenapa membuatku jadi merasa malu sendiri.
"Pijat pundakku, mungkin setelah itu aku bisa berubah pikiran," balas mas Haris kemudian.
Aku sontak mendelik, namun tak bisa berbuat apa-apa ketika mas Haris langsung merubah posisi duduknya. Jadi memunggungi aku seolah menyerahkan pundaknya.
Ya Allah. Batinku, sebab hati ini mendadak jadi gugup. Mas Haris juga langsung menghubungi dokter Anton, membuatku jadi kikuk sendiri, mau tidak mau akhirnya ku gerakan kedua tangan untuk menyentuh pundaknya.
Astaghfirullahaladzim, batinku lagi. Ya Allah aku sangat gugup, hati-hati sekali aku mulai memijat pundaknya tersebut. Sementara hatiku terus beristighfar agar tenang.
Sampai akhirnya panggilan telepon Mas Haris dengan dokter Anton selesai, namun dia masih tetap menikmati pijatanku ini.
Entah bagaimana caranya agar berhenti, aku tidak bisa bicara sebelum mas Haris yang menyudahinya sendiri.
"Cukup," kata Mas Haris akhirnya, setelah beberapa menit berlalu. Dan mendengar satu kata itu aku langsung menghembuskan nafas lega.
Aku kembali mundur dan duduk di posisiku semula, tidak sedekat saat memijat.
Mas Haris menatapku sebelum bicara, "Yang Alena inginkan kita pergi bertiga, sementara Namira hanya pelengkap," kata mas Haris kemudian. "Jadi kamu akan tetap ikut pergi ke Taman, perkara di Taman nanti terserah mu mau bagaimana," timpalnya lagi dan setelah itu pergi begitu saja. Suaranya memang terdengar lebih lembut, tapi tetap saja bukan itu yang ingin aku dengar.
Huh! kubuang nafas dengan kasar. Merasa dicurangi, aku sudah memijat pundaknya tapi keputusan dia tidak berubah.
ceritanya sangat bagus dan alurnya tidak ribet tidak bertele tele suka sekali
maaf Thor jdi curhat