Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. (Real) Life After Marriage
Ia baru selesai mencuci bersih ikan dori, jahe, dan selederi, sebagai bahan-bahan membuat nasi tim untuk Arung. Ketika terdengar suara tawa bayi tergelak-gelak dari arah ruang tengah. Apakah itu suara Arung? Bukankah beberapa menit lalu waktu ia tengok ke kamar, Arung masih terlelap?
Secepat kilat ia meninggalkan dapur dan melangkah menuju ruang tengah, ingin tahu apakah benar itu suara Arung. Karena Mba Suko masih mengurus cucian di belakang, sementara Rendra usai Subuh pamit joging keliling kompleks.
"Pesawat luar angkasa terbang tinggiiiiii....."
Dilihatnya Rendra tengah berbaring diatas sofa sambil menekuk lutut dengan Arung yang tengkurap di atas sepanjang lutut hingga pergelangan kaki Rendra, untuk kemudian mengayunnya tinggi-tinggi ke udara.
"Cekekekekek.....Cekekekekek....."
Arung tergelak-gelak kegirangan karena ayunan kaki Rendra. Memperlihatkan dua buah gigi bagian bawah yang baru tumbuh seminggu lalu.
"Arung, udah bangun sayang?"
Rendra menoleh ke arahnya, "Eh, Mami....gud mowning Mamiiii....," Rendra tersenyum sambil tetap mengayun-ayunkan kakinya.
"Kirain sama siapa. Abang kapan masuk ke rumah, kok aku nggak tahu?"
"Barusan," namun perhatian Rendra tetap tertuju pada Arung yang kian tergelak kegirangan.
"Kekekekeekk..... Kekekekeekk....."
"Kamunya asyik di dapur. Masak apa sih?"
"Abang udah cuci tangan sama kaki belum?" ia justru balik bertanya demi melihat wajah berpeluh Rendra. Hm, pasti nih pulang dari joging langsung masuk ke kamar bangunin Arung. Kebiasaan.
"Udaaaah," jawab Rendra sama sekali tak meyakinkan.
"Kekekekeekk.....Kekekekeekk.....," sementara Arung terus saja tertawa-tawa kegirangan.
"Cuci tangan dulu," ujarnya sambil mengulurkan tangan kearah Arung. "Ayo sayang, bangun tidur nen dulu."
"Lagi asyik main Mamiii.....," kini Rendra telah bangkit untuk memutar-mutar Arung di atas kepalanya, persis seperti gerakan pesawat terbang di udara.
"Abang, ini udah hampir jam setengah 6. Katanya ada meeting jam 7? Berarti maksimal jam 6.10 kita udah harus jalan. Sekarang aja Abang belum mandi. Ayo sini, Arung biar sama aku dulu."
"Bentaaar....lima menit lagi....," kali ini Rendra sambil menciumi sekaligus menggelitik perut Arung dengan gigitan-gigitan kecil.
"Kekekekeekk....Kekekekeekk....," Arung tak henti-hentinya tertawa tergelak-gelak sambil menarik-narik rambut Rendra karena merasa kegelian.
"Abang!" suaranya mulai meninggi sambil berkacak pinggang. Sejak usia 4 bulan, ketika leher Arung mulai kuat menyangga kepala dan bisa tengkurap, hingga bisa diajak bermain-main, waktu Rendra selalu habis untuk bercengkerama dengan Arung. Sampai sering lupa membawa barang-barang penting saat berangkat kerja/kuliah. Seperti dompet, laptop, atau draft meeting pagi yang sudah disusun semalaman.
"Aduh," Rendra pura-pura mengeluh kearah Arung. "Mami wewet ya Arung ya....Mami wewet...."
"Papapata....tatatata....papapa.......," kepala Arung mengangguk-angguk seolah memahami kalimat Rendra.
"Tuh," Rendra bersorak kegirangan. "Arung aja masih pingin main ya sayang?"
"Papawawwa....tatawa...papapa......," kini Arung melihat kearahnya dengan tatapan menuduh. Ish, anak masih bayi udah bisa diajak jadi partner in crime Papinya.
"Tuh!" Rendra semakin kegirangan seolah mendapat angin segar. "Marahin Mami nak....marahin Mami karena udah ganggu keasyikan kita berdua."
"Sini sayang, kita nen dulu, terus mandi, terus sarapan," ia mendudukkan diri di sebelah Rendra untuk meraih Arung. "Main sama Papi kalau udah beres mandi sama sarapan yaaa."
Begitu berpindah tangan, wajah Arung berubah kesal dengan bibir meletot seperti ingin menangis, membuatnya buru-buru menyumpal mulut mungil Arung dengan nen.
"Clap clap clap clap," dengan penuh sukacita Arung menyambut favoritnya. Yeah, beginilah cara kerjanya. Papi boleh saja menang dengan aneka macam permainan seru yang mengasyikkan, tapi Mami selalu punya koentji untuk memenangkan hati Arung, yaitu ASI.
"Hiih," Rendra mencubit ujung hidungnya sambil mencibir. "Mau main aja mesti pakai timer."
"Iya dong, biar anak terlatih disiplin sejak dini," jawabnya cepat sambil berdiri. "Buruan mandi."
"Terus kamu mau kemana?"
"Bikin sarapan buat Arung."
"Bisa gitu bikin sarapan sambil gendong anak?"
"Bisa lah, kan cuman pencet-pencet doang."
Rendra mendadak tersenyum penuh arti, seolah memiliki ide cemerlang, "Kamu bikin sarapan buatku sama Arung, biar aku yang mandiin Arung. Deal?"
Ia menatap Rendra penuh selidik sekaligus tak percaya.
"Pas sarapan matang, pas kita berdua udah rapi dan duduk di meja makan. Oke?"
Dan akhirnya ia pun menyerah. Tawaran Rendra jelas sangat menggiurkan. Karena sepagi apapun ia bangun tidur, tetap saja selalu mengawali hari dengan kehectican yang tak berujung.
"Tapi Abang cuci tangan dulu."
"Siap."
"Sama tolong siapin air buat mandi Arung, tadi aku belum sempat nyiapin."
"Siap."
"Jangan lupa cek dulu pakai siku Bang, khawatir Arungnya kepanasan."
"Siaaappp Nyonya....."
"Jangan lupa airnya kasih baby oil setetes."
Dan ketika jam dinding menunjukkan pukul 05.45, saat ia menghidangkan semangkok kecil nasi tim ikan dori, sepiring penuh pancake, dan secangkir kecil saus karamel yang baru dibuat ke atas meja makan, Rendra dan Arung benar-benar telah duduk manis di kursi masing-masing.
"Wah, keren anak Mami," ia bertepuk tangan melihat penampilan segar Arung yang telah memakai jersey home MU dengan rambut disisir rapi.
"Papapapapa.....," Arung seolah mengerti pujian yang dilontarkannya dengan memberi respon menggunakan tangan yang dipukul-pukulkan ke udara.
"Good boy," Rendra tersenyum senang sambil mengelus kepala mungil Arung.
"Thank you so much Papi," dengan gerakan sedikit canggung ia sempatkan untuk mengecup pipi Rendra sekilas. Persis seperti yang tertulis dalam artikel How to live life after marriage yang ia baca. Salah satu cara memelihara cinta dan sparks dalam pernikahan adalah dengan ucapan terima kasih yang tulus dan sentuhan kecil namun bermakna.
Rendra terlihat sedikit kaget dengan moving tak terduganya. Namun sedetik kemudian tersenyum simpul sambil mengelus pipi yang barusan dikecup.
"Wah, Mami kita udah semakin pinter sekarang ya," seloroh Rendra sambil mengisi piring dengan dua potong pancake, kemudian menuangkan saus karamel di atasnya.
"Siapa dulu dong....suaminya....," meski merasa geli sendiri ia coba untuk ikut berseloroh. Membuat Rendra tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Ayo sayang, kita sarapan dulu," ia mendudukkan diri di sebelah Arung yang sekarang sedang asyik menggigit-gigit teether book yang memang sengaja disimpan di atas meja high chair.
"Yo kita berdoa dulu sebelum makan," kemudian Rendra membimbing Arung untuk melafalkan doa sebelum makan dan mengucap syukur atas semua limpahan nikmat usia, tubuh yang sehat, serta hati yang bahagia di pagi hari ini.
Arung, memang baru berusia 6 bulan 1 minggu, namun sejak kepulangannya dari rumah sakit, Rendra selalu mengajaknya bicara seolah-olah Arung sudah paham dan mengerti. Termasuk membiasakannya untuk melafalkan doa sehari-hari setiap akan melakukan aktivitas, juga mengucap syukur atas semua nikmat dan karunia.
"Salah satu tugas kita adalah memenuhi Arung dengan cinta," ujar Rendra ketika ia bertanya mengapa mesti repot-repot melakukan hal yang sama sekali belum dipahami oleh Arung. "Ini salah satunya."
"Wawawawawa.....," sambil sesekali terus berceloteh Arung melahap nasi tim ikan dori buatannya dengan antusias.
"Alhamdulillah, anak pinter makannya jagoan," ia mengacungkan jempol karena nasi tim di mangkok tinggal setengah. Sementara Rendra melahap pancakenya sambil matanya serius membaca koran.
Setelah Arung menyelesaikan sarapannya, ia bergegas untuk berganti baju. "Bang tolong titip Arung ya, aku ganti baju dulu."
Rendra mengangguk-angguk dengan mata tetap konsentrasi di depan koran. Tak sampai sepuluh menit kemudian ia telah kembali ke meja makan, siap untuk berangkat ke kantor.
"Bang, jangan lupa dompet, laptop, sama kertas yang semalam Abang baca tuh masih berantakan di atas nakas belum diberesin."
"Jam berapa gitu?" Rendra melihat pergelangan tangan kanannya lalu melipat koran dan menyimpannya di atas meja.
"Sepuluh menit lagi kita udah harus jalan," jawabnya sambil menyiapkan kotak bekal makan siang untuk mereka berdua. "Abang bawa bekal kan?"
"Iyap," Rendra bangkit dan berjalan ke kamar, sepertinya hendak mengambil barang-barang yang tadi sempat diingatkannya. Sementara Arung masih berceloteh sendiri di atas high chair sambil memukul-mukulkan teether book ke atas meja.
"Papapapapa....wawawawawa...."
"Tapi hari ini aku cuma bikin brokoli bombay sama dori asam manis. Nggak sempet masak yang lain, nggak papa?" ujarnya setengah berteriak karena Rendra telah berjalan menjauh.
"Nggak papa. Nasinya dikit aja, nanti siang ada meeting sama Mas Panji, biasanya sekalian makan," jawab Rendra juga berteriak.
Ia mengangguk-angguk sambil memasukkan nasi, brokoli bombay, dan dori asam manis ke dalam kotak bekal milik Rendra. Lalu mengambil kotak yang lebih kecil untuk menyimpan mangga yang telah dipotong-potong. Kemudian memasukkan mereka semua ke dalam tas bekal milik Rendra. Hm, si young and dangerous tak malu lho menenteng-nenteng tas bekal ke kantor atau kampus.
"Daripada kelaparan trus jajan sembarangan, ujung-ujungnya diomelin bini," ujar Rendra terkekeh ketika ia menanyakan apakah tak malu membawa bekal makanan kemana-mana.
Ya, sejak Rendra terkena Hepatitis dan di masa bujangan memiliki riwayat typus yang lumayan sering, ia jadi lebih strict tentang urusan makanan. Sebisa mungkin mengkonsumsi makanan yang bisa dipertanggungjawabkan kehigienisannya. Kalau sempat, ia akan menyediakan bekal. Tapi kalau tidak, Rendra bisa makan diluar asal di tempat yang terjamin kebersihannya.
"Kamu lihat kertas coret-coretan aku nggak?" Rendra sudah muncul kembali di meja makan dengan membawa tas laptop dan sejumlah kertas.
"Yang semalam kutulis waktu kita nonton tv?" tanya Rendra lagi sambil mengecek satu per satu kertas yang sedang dipegangnya.
"Yang ada angka-angka?" ia balik bertanya sambil meletakkan tas bekal Rendra juga tas bekalnya ke atas meja makan.
"Iya yang itu. Lagi ngitung adendum baru," Rendra masih membolak-balik kertas di tangannya.
"Bukannya Abang simpan diatas nakas semua?" ia mendudukkan diri di depan Arung yang sekarang sibuk mengemut jarinya sendiri.
"Ah ini ketemu," Rendra bernapas lega sambil memperlihatkan selembar kertas yang penuh dengan coretan, kemudian memasukkannya ke dalam tas. "Yuk jalan. Eh, Arung muntah tuh Nggi, lihat!"
Ia yang meski duduk di depan Arung namun matanya menatap Rendra jadi kaget. "Yah.....," demi melihat dada Arung telah dipenuhi bekas gumohan warna putih nasi tim.
"Ngemut jarinya jangan dalam-dalam sayang....jadi gumoh kan.....," ia buru-buru meraih tisu basah untuk menyeka bekas gumoh yang menempel di sudut bibir dan pipi Arung, kemudian mengangkatnya dari high chair.
"Walah....udah mau pada berangkat to Mba Mas?" Mba Suko datang dari arah belakang dengan tergopoh-gopoh. "Waduh, Arung ngganteng gumoh nak....iya nak?"
"Sini biar saya aja yang ganti bajunya Arung. Mba sama Mas berangkat aja, nanti malah telat," Mba Suko mengulurkan tangan untuk meraih Arung.
Ia melihat jam dinding, 6.10.
"Maaf ya Mba Suko," ia pun mengangsurkan Arung ke arah Mba Suko.
"Ndak papa, sini tak gantiin bajunya," Mba Suko menerima Arung dengan senang hati.
"Oiya Mba, jadwal makan Arung sama menu nya udah saya tulis di papan," ujarnya sambil menunjuk standboard mini yang tersimpan di atas pantry.
"Kalau Arung masih lapar, boleh nambah biskuit yang diairin atau bubur instan," lanjutnya sambil mencium pipi bulat Arung yang bau ASI campur gumoh. "Dadah sayang....Mami berangkat dulu yaa...."
"Tatatatataa....Dadadadadada....," Arung mengangguk-anggukkan kepala sambil berceloteh.
"Papi berangkat dulu sayang," kini giliran Rendra yang mencium kening dan pipi Arung. "Baik-baik sama Mba Suko di rumah yaa...."
"Dadadadada....Tatatatatatata....," Arung terus berceloteh sambil menarik-narik rambut Rendra saat sedang menciuminya. Membuat Rendra harus melepaskan diri secara perlahan dari cengkeraman tangan montok Arung.
Sepuluh menit kemudian mereka telah berada di dalam mobil yang berjalan pelan menembus kepadatan lalu lintas pagi.
"Jum'at sore kosong nggak?" tanyanya sambil melihat ponsel.
"Kenapa?"
"Karena hari Senin Abang ke Balikpapan, nggak bisa nganter kita, jadi aku inisiatif nanya jadwal praktek dokter Anna di tempat lain."
"Ini aku baru dapat, adanya Jumat sore. Abang bisa nggak?"
"Emang kita masih harus ketemu dokter Anna?" Rendra mengernyit heran. "Kirain bulan lalu yang terakhir."
"Masih banyak kali lagi Bang, untuk memastikan tumbuh kembang Arung benar-benar sesuai usianya. Minimal masih dipantau sampai umur satu tahun."
"Harus ya?"
"Kenapa? Abang keberatan? Bukannya kita udah sepakat?!"
"Iya, tapi kalau kulihat-lihat Arung baik-baik aja kok, nggak ada yang aneh atau ada kelainan dibanding anak-anak seumurannya."
"Kita datang ke dokter Anna bukan karena Arung ada kelainan Bang. Lebih karena Arung termasuk anak dengan resiko tinggi."
"Prematur, BBLR, pernah dirawat di NICU lumayan lama. Jadi harus terus dipantau tumbuh kembangnya. Kalau ada keterlambatan bisa langsung ditangani."
"Lagian ini juga rekomendasi dari dokter Barata yang menangani Arung sejak lahir."
Rendra menghembuskan napas, "Oke, ntar kukosongin Jumat sore."
Ia menoleh ke samping, terlihat Rendra mencoba konsentrasi dengan padatnya jalanan di depan. "Kenapa tiba-tiba di tengah jalan Abang begini?"
Rendra tertawa, "Begini gimana?"
"Nanyain hal yang udah jelas dari awal."
Ia menelan ludah untuk kembali berkata, "Kalau Abang keberatan, aku bisa handle semuanya."
Rendra mengernyit sambil memandangnya heran, lalu menggeleng, "No no no....bukan kesana arahnya."
Ia balik mengernyit.
"Ya ampun, Anggi...Anggi....," Rendra masih menggelengkan kepala, namun kali ini sambil mencubit pipinya.
"Kenapa larinya kesana? Kamu tahu pasti, aku support berapapun yang dibutuhkan Arung."
Ia balik mengernyit kearah Rendra, "Terus kenapa?"
"Aku cuma....," Rendra menghembuskan napas berat. "Malas lihat rumah sakit, Nggi. Bosen harus terus pergi ke rumah sakit."
Ia menatap Rendra tak mengerti.
"Tiap ke rumah sakit aku sering kebayang....," Rendra kembali menggelengkan kepala. "This is no good."
Ia ikut menghela napas berat, mengerti maksud Rendra. Mungkin salah satu keuntungan hanya sempat melihat Rimba sekilas sesaat setelah dilahirkan adalah ia tak mengalami efek negatif berlebih. Berbeda dengan Rendra yang melihat bagaimana tindakan medis untuk Rimba dan detik-detik terakhir Rimba.
Yah, beginilah, akhirnya ia harus menghadapi hal yang ia abaikan sejak awal. Padahal ia tahu pasti sejak Arung pulang dari rumah sakit, Rendra selalu terlihat enggan dan sangat malas jika diajak pergi ke rumah sakit. Meski ia tak pernah menyangka jika alasan utama keengganan Rendra berkaitan dengan Rimba.
Ia pun menggenggam tangan Rendra yang sedang memegang tuas persneling. "Abang bisa tunggu diluar....atau....aku bisa pergi sendiri."
Rendra balas menggenggam tangannya sambil tersenyum, "Kita pergi berdua. Feel better now."
Ia pun balas tersenyum.
Hari Jum'at sore seperti yang telah disepakati bersama, mereka bertiga menemui dokter Anna untuk konsultasi lebih lanjut.
Syukurlah, di usia 6 bulan 10 hari, Arung tak mengalami kendala yang berarti. Dengan BB/TB 9 kg/65 cm, Arung termasuk bayi yang montok. Jauh melesat dibanding BB/TB saat lahir.
Perkembangan fisik motorik kasar dan motorik halus Arung bagus, ditandai dengan sudah bisa duduk sendiri dan mulai mencoba-coba untuk merangkak saat ingin mengambil benda menarik yang jauh dari jangkauan.
Perkembangan kognitif Arung juga bagus, ditandai dengan suka berceloteh, senang dengan kehadiran orang-orang yang dikenalnya, ekspresif saat diajak bermain. Semua ini membuatnya bernapas lega, karena Arung tumbuh menjadi anak yang sehat dan aktif, jauh dari hal yang sempat dikhawatirkannya.
"Untuk meningkatkan kemandirian Arung, bisa di stimulasi dengan makan sendiri ya Mami," ujar dokter Anna.
"Arung sudah bisa menggenggam, bisa dimulai dengan makanan yang dipotong sedemikian rupa agar lebih mudah untuk dimakan."
"Jangan terlalu besar, juga jangan terlalu kecil."
"Bentuk finger atau kotak, yang bisa digigit-gigit sebelum dikunyah."
"Kalau makan dengan sendok sudah boleh Dok?" tanyanya ingin tahu. Beberapa kali Arung ingin merebut sendok darinya saat sedang disuapi.
"Boleh sekali. Tapi bertahap ya Mam, karena kadang kalau pakai sendok kan biasanya saat makan bubur atau tim, bisa tersedak kalau terlalu dalam memasukkan sendok ke mulut. Jadi bisa diberi contoh dulu bagaimana cara memasukkan sendok, nanti lama-lama Arung akan mengikuti."
"Jangan takut rumah jadi kotor dan berantakan ya Mam, Pap. Bisa dibersihkan kok. Namanya juga belajar."
"Nanti Mami Papi sendiri yang merasakan manfaatnya kalau Arung sudah bisa makan sendiri."
Begitu keluar dari ruang praktek dokter Anna, ia mendadak ingin pergi ke toilet. "Titip Arung bentar Bang, aku ke toilet dulu."
Rendra mengambil alih Arung yang sedang asyik menggigit tangan sendiri sambil berceloteh, "Bababababab....," sampai liurnya menyembur-nyembur.
Kemudian dengan langkah terburu-buru ia pun pergi ke toilet. Setelah selesai, ia menyempatkan diri untuk mencuci tangan sambil menyapukan face paper di wajah yang mulai terlihat berminyak setelah seharian beraktivitas. Sambil tersenyum ia memandangi pantulan wajahnya di depan cermin, hmm sepertinya seru kalau mampir makan di luar sebelum pulang ke rumah. Mumpung ini belum terlalu malam dan Arung masih ceria. Rendra pasti punya pilihan tempat yang bagus.
Namun bayangan menyenangkan makan diluar bertiga untuk pertama kalinya buyar karena begitu ia keluar dari toilet dan berjalan menghampiri Rendra, terlihat suaminya itu sedang berdiri di salah satu sudut sambil berbicara dengan seorang wanita yang menuntun seorang anak kecil perempuan.
"Eh ini istriku...kenalin," Rendra meraih tangannya agar segera mendekat.
"Kayak pernah lihat istri Abang....tapi dimana ya...," wanita itu terlihat mengernyit saat melihatnya.
"Nggi, ini Keisha, yang dulu di Pitaloka," ujar Rendra sambil merengkuh bahunya.
"Oh," ia tersenyum sambil mengulurkan tangan. Kata Pitaloka membuatnya mulai memasang tembok pertahanan diri. "Anggi."
"Keisha," Keisha balas tersenyum. Sungguh senyum yang sangat menawan dari seorang wanita yang sangat cantik. Hmm.
"Wah, Abang pinter nih nyari istri. Beda dari yang biasanya," seloroh Keisha tanpa sungkan. Membuatnya mengernyit heran, namun ia memutuskan untuk fokus ke hal yang lebih berguna seperti,
"Halo kakak cantik, namanya siapa sayang?" ia berjongkok untuk mengulurkan tangan ke arah anak kecil cantik yang terlihat malu-malu menatapnya.
"Zara....," jawab anak kecil itu sambil tersipu malu menyambut uluran tangannya.
"Oh, halo Kakak Zara....kenalin nih adik Arung," ujarnya sambil menunjuk Arung di lengan Rendra yang masih saja asyik mengemut tangan.
"Adik Arung cakep....," ujar Zara lirih sambil terus tersenyum malu-malu.
"Oh, jelas dong sayang, lihat aja Papanya ganteng begitu," sahut Keisha cepat sambil tertawa kecil membuatnya dan Rendra saling melempar pandangan geli.
"Pasti anaknya juga ganteng kaan....ih, lucuuu...gemessss....," Keisha mencubit pipi montok Arung dengan jari tangan yang berkuteks merah menyala.
"Eh, Abang langsung pulang atau mau kemana lagi nih?" tanya Keisha kearah Rendra. Hmmm, sepertinya Keisha sama sekali tak berminat untuk mengajaknya bicara lebih lanjut.
Karena ia belum briefing rencana makan di luar, maka dengan lempengnya Rendra menjawab, "Iya, langsung pulang. Kenapa?"
"Abang pulang kearah mana? Bareng dong, boleh ya. Nggak usah sampai rumah nggak papa. Yang penting bisa bareng, udah malam soalnya, takut kalau mau naik taxi online. Bawa anak soalnya," ujar Keisha tanpa risih sambil tertawa kecil.
Tak sampai sepuluh menit kemudian mereka berempat telah berada di dalam mobil. Ia, Rendra, dan Arung di kursi depan. Sementara Keisha dan Zara di kursi belakang.
"Wah, mobil baru nih Bang?" sejak pertama naik Keisha tak henti-hentinya mengajak Rendra ngobrol. Rendra, catet ya, bukan dirinya.
"Oh, udah lama," Rendra menjawab singkat sambil menoleh kearahnya yang sedang pura-pura sibuk karena Arung mulai rewel minta nen. Sepertinya sudah mulai mengantuk.
"Bukannya dulu Abang pakai Rubicon? Sekarang masih ada?"
"Oh, dulu," Rendra tertawa. "Udah dilepas."
"Lho, kenapa? Sayang ih padahal keren."
"Kalau udah berkeluarga beda prioritas Sha," jawab Rendra kembali melirik dirinya, namun ia pura-pura tak menyadarinya.
"Prioritasnya kenyamanan keluarga. Apalagi aku ada bayi kan," sambil mengusap kepala Arung yang asyik mengisap ASI.
"Capcapcapcap....," begitu suara kecapan Arung yang terburu-buru seperti ingin cepat menghabiskan ASI dalam sekali isapan.
"Oiya, tahu kabar Frida nggak Bang?"
Spontan mereka berdua saling berpandangan sambil mengernyit. Seriously?
"Enggak," jawab Rendra singkat.
"Kabarnya udah jadi istri pejabat daerah sekarang. Masa sih nggak tahu? Jadi dulu waktu kalian putus langsung lost contact gitu aja? Padahal couple fave ku loh."
"Ng...rumah kamu dimana tadi? Perempatan ini belok kiri atau lurus enaknya?" Rendra jelas mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Belok kiri bisa, lurus bisa. Tapi belok kiri aja Bang, biar aku turun di depan....," sambil menyebut nama toko retail ternama.
"Nggak papa Mba, biar diantar langsung ke rumah," ujarnya yang meski mulai jengkel namun tak tega juga menurunkan Keisha dan anaknya yang sudah terkantuk-kantuk di pinggir jalan.
"Zara udah ngantuk kan, tuh bentar lagi juga tidur," ujarnya sambil melihat dari rear vission mirror. Yang langsung disambut dengan usapan lembut tangan Rendra di puncak kepalanya.
"Oh, ya udah. Kebetulan, hehehe. Belok kiri nanti habis toko retail belok kiri lagi Bang," ujar Keisha sambil tertawa pelan.
"Ke dokter siapa tadi Mba?" karena Arung mulai terlelap, ia tak lagi punya kesibukan. Lebih baik mulai bertanya -dan mengumpulkan informasi- daripada tersesat di jalan.
"Ke dokter Sandra," jawab Keisha. "Zara pileknya nggak sembuh-sembuh udah dua minggu, jadi khawatir kan."
"Oh," ia mengangguk-angguk. "Tapi nggak papa Mba? Gimana kata dokter Sandra?"
"Nggak papa sih, katanya karena lagi musim pancaroba jadi sejenis flu, batuk, yang gitu-gitu deh, suka menetap lama."
Ia masih mengangguk-angguk ketika Keisha kembali bertanya kearah Rendra, "Bang, kok panas ya....AC nya tolong gedein dong?"
Rendra menggaruk-garuk kepala yang pastinya tidak gatal. Sementara ia hanya mencibir.
"Aduh, kalau ini kedinginan. Kecilin dikit lagi dong," tak sampai lima menit Keisha kembali protes.
"Oiya Bang, kalau ada info kerja sampingan boleh dong. Kantor Abang masih jalan kan?"
"Masih."
"Yang bisa dikerjain pas weekend, ada nggak? Soalnya kerajaanku yang sekarang cuma weekdays aja, udah gitu masih belum nutup semua kebutuhan," ujar Keisha lagi-lagi tanpa sungkan dan sambil tertawa kecil.
"Ingat ya Bang, jangan lupa loh, aku tunggu kabarnya."
"Emang kamu udah nggak di bandara lagi?" Rendra mengernyit.
"Enggak Bang, udah lama keluar."
"Waduh, sayang."
"Iya, sayang," desah Keisha penuh penyesalan.
Ia dan Rendra pun kembali saling berpandangan tak mengerti.
"Ini belok kiri?" Rendra mengalihkan topik karena telah sampai di depan toko retail yang tadi disebutkan oleh Keisha.
"Iya Bang. Rumah kontrakanku yang pagar biru, itu yang di depannya mobil putih," tunjuk Keisha kearah mobil berwarna putih yang diparkir di pinggir jalan.
Rendra pun menghentikan mobil tepat di depan mobil warna putih.
"Makasih banyak Bang Rendra, diantar sampai rumah," ujar Keisha sumringah sambil berusaha membangunkan Zara. "Zara, ayo bangun....kita sudah sampai."
"Ngantuk Mah....," Zara menggeliat malas karena tidurnya terganggu.
"Hush, ayo bangun. Udah sampai. Mamah udah nggak kuat gendong kamu," hardik Keisha cepat. Membuat Zara buru-buru bangun dan berjalan keluar mobil dengan tersaruk-saruk sampai kepalanya kejeduk pintu.
"Aduh....hiks....hiks....hiks..," suara keras benda terbentur jelas menandakan seberapa sakit kepala Zara. Tak heran langsung menangis.
"Ssstttt, udah diem. Ayo cepetan turun," hardik Keisha lagi.
"Hiks....hiks....hiks....," dengan masih terisak Zara beringsut turun.
"Makasih Abang....," Keisha melambaikan tangan sambil tersenyum manis begitu Rendra kembali melajukan kemudi.
Begitu mobil keluar dari gang sebelah toko retail Rendra langsung menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa.
Membuatnya mencibir.
"Come on," Rendra mengusap kepalanya lembut.
"Oke," ia masih mencibir. "Pertanyaannya adalah who is she?"
"Apa dia salah satu cewek ganjen yang sering kirim pesan chat random ke Abang?" rasa jengkel membuatnya tak mampu membendung rasa ingin tahu.
"Itu lagi," Rendra menggelengkan kepala sambil terkekeh. "Mereka bukan chat random, sayang. Emang tugasnya promosi produk ke orang-orang. Kebetulan aku sering dapat chat begitu."
"Kebetulan," ia mencibir. "Kebetulan juga kalau ada yang ngechat, 'selamat liburan Pak Rendra" atau 'Pak Rendra kapan pulang ke Jogja? Oleh-oleh yaa.'
"Darimana dia tahu coba Abang lagi libur kerja? Darimana dia tahu Abang lagi di luar kota?!" desisnya sebal. "Mana chatnya tengah malam, bukan hari kerja pula, ampun deh."
Namun Rendra justru makin tertawa, "Oh, kamu baca chat dari Winda?"
"Tahu," gerutunya kesal.
"Winda itu salah satu CS nasabah prioritas."
"Emang gue pikirin," desisnya makin sebal.
"Mungkin dia tahu karena waktu itu aku harus meeting sama orang bank tapi masih di Balikpapan."
Ia hanya memutar bola mata.
"Nah, kalau Keisha itu, awalnya aku juga nggak tahu kalau dulu dia pernah di Pitaloka," lanjut Rendra. "Serius."
"Tahu sendiri kan segitu banyaknya penghuni Pitaloka."
"Iyalah, nggak bakalan hapal satu-satu penghuni Pitaloka. Terlalu asyik sama seseorang," desisnya makin sebal. "Sampai pagi-pagi juga masih sempat begitu. Orang normal tuh ya pagi-pagi kuliah, kerja, bukannya mesra-mesraan," cibirnya demi mengingat kembali kejadian saat pertama kali mereka bertemu.
Namun Rendra justru kembali terkekeh. "Anggi...Anggi....masih ingat aja kejadian itu. Apa jangan-jangan waktu itu kamu udah suka sama aku? Love at the first sight?"
"Amit-amit!" desisnya jengkel.
Rendra menghela napas sambil mengusap kepalanya lembut, kemudian beralih mengusap kepala Arung yang telah terlelap, kemudian berkata, "Waktu check in di bandara, pernah ketemu sama Keisha. Sekali-kalinya. Habis itu nggak pernah ketemu lagi."
"Nggak tahu juga kalau akhirnya dia keluar," lanjut Rendra. "Sayang padahal udah kerja bener."
Ia memandang Rendra yang juga sedang menatapnya sambil sesekali melihat ke depan ke arah jalan raya yang lumayan padat. Entahlah, tapi ia merasa Rendra telah berkata jujur.
"Aku kadang heran sama orang yang caper ke orang lain," ujarnya pada akhirnya. "Sama kayak cewek-cewek yang suka caper ke Abang."
Membuat Rendra tertawa sumbang untuk kemudian sesumbar, "It always happened in my entire whole life."
"Dih, pede banget," gerutunya sebal.
Namun Rendra hanya mengerling sambil tersenyum penuh arti.
'My whole life has changed
Since you came in
I know back then
You were that special one
I'm so in love, so deep in love
You made my life complete
You are so sweet
No one can beat
Glad you came into my life
You blind me with your love
With you I am in sight'
(Ginuwine, My Whole Life Has Changed)
***
Keterangan :
Gumoh. : keluarnya cairan, susu, atau makanan yang baru/belum lama ditelan
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu