NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pear Frozen Tight - Rashomon

“Baik, terima kasih atas waktunya.”

Telepon dimatikan lebih dulu. Pram sudah membatalkan sejumlah pertemuan yang ia rasa tidak terlalu mendesak.

Menundanya untuk lain hari atas bantuan Andreas selaku tim QC dan Frans yang meninjau jadwal tertatanya. Demi melakukan konsultasi bersama istrinya.

Pratama melangkah keluar dari ruang kerjanya, ponsel masih dalam genggaman. Pikirannya masih dipenuhi daftar pertanyaan dan kemungkinan skenario yang akan mereka hadapi. Ia menghela napas, mencoba melepaskan sedikit beban di pundaknya.

“Semua pasti akan berlalu dengan lancar,” sugestinya.

Dia hampir dekat ke ruang makan, dan pemandangan di sana membuatnya seketika terhenti. Caroline duduk di meja, bukan lagi dalam kegelapan atau meringkuk ketakutan.

Ia tampak tenang, mengoleskan selai stroberi ke selembar roti tawar dengan gerakan yang rapi dan terukur. Sesekali, ia melirik ke arah Frans atau Bu Ninik, memberikan instruksi singkat tentang pengaturan rumah.

"Frans, aku lihat sepertinya ada banyak nyamuk di luar saat malam hari, mungkin sudah bisa lakukan pemangkasan rerumputan atau menyalakan sumbu pengusir nyamuk sekitar lima buah di tempat berbeda," ucapnya datar namun jelas. "Dan Bu Ninik, daftar belanja bulanan sudah kutulis di meja dapur. Pastikan semua yang tertulis ada."

Kedua orang yang ia ajak bicara mengangguk perhatian sebelum mundur ke belakang. Kini mata Caroline terarah pada suaminya. Alisnya agak mengendur. Matanya tidak bengkak, seolah ia tidak menangis hebat semalam dan meronta-ronta. Pram rasa, ia juga melihat bola matanya berbinar melihatnya.

"Ayo sarapan bersama, aku akan mengoleskan roti lagi," usul Caroline, nadanya tenang, hampir terlalu tenang.

Pratama mengangguk, mendekat. Ia duduk di kursi di seberang Caroline, menarik napas dalam-dalam. "Terima kasih. Hari ini aku luang penuh."

Caroline memasukkan pisau selai ke dalam toples dan mengambil sejumput isinya.

"Baiklah." Ia menatap roti tawarnya, lalu mengangkat pandangannya lagi ke Pratama.

"Ngomong-ngomong, aku bermimpi lagi."

Pratama menahan napas. Ia tahu ini akan datang. "Mimpi apa, Lin?"

Caroline menusuk-nusuk roti dengan ujung pisau. "Sebuah taman hiburan. Ada bianglala. Anak-anak yang tertawa. Dan... kau." Ia berhenti, seolah merangkai kepingan-kepingan ingatan. "Aku tidak ingat begitu jelas, tapi kita seperti melakukan kencan kecil."

Pratama merasa dadanya sesak. Mimpi itu. Seandainya saja itu nyata. Ia melihatnya dari sudut pandang Caroline. "Lalu?" Ia mencoba menjaga suaranya tetap netral.

"Kau mengejarku dan membujukku memakan permen kapas." Caroline tersenyum tipis, senyum yang sangat akrab di wajah Pratama saat ia mengejeknya. "Lalu kau membersihkan gulali dari bibirku.”

Pratama menunduk. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Dan aku bertanya, mengapa kau tidak menciumnya saja, seperti di novel atau film."

Caroline melanjutkan, matanya menyorotkan rasa ingin tahu yang dalam. "Kau bilang mulutku akan lengket." Ia terkekeh kecil, sebuah suara yang terdengar asing namun menyenangkan.

Pratama menghela napas lega. Setidaknya bagian ini terasa lebih ringan. "Memang akan lengket, Lin. Bayangkan saja."

"Oh ya, apakah kau menyukai permen kapas?"

Caroline bertanya, Tetapi tangannya masih bergerak menyendok selai ke roti baru tepat setelah ia memindahkan satu roti ke piring suaminya.

"Itu benar," Pratama membenarkan, merasa sedikit canggung karena preferensi kesukaannya tiba-tiba jadi bahan perbincangan.

"Ternyata begitu." Caroline menatap Pratama lurus-lurus. "Mungkin.. kapan-kapan kita dapat melakukannya bersama.”

Pratama mengangguk. “Setelah sembuh dan beban di perusahaan sedikit berkurang, aku akan mengajakmu. Apakah ada yang kau ingat lagi?”

Caroline selesai menyodorkan tiga roti, baru ingin menggigit rotinya sendiri sebelum berhenti. “Kurasa ada saat dimana aku menggenang masa mahasiswa baruku, saat aku makan sup jagung dan menangis karena merindukan rumah."

Suasana di meja makan berubah. Senyum Pratama memudar. Hari itu, mereka berdua sepertinya sempat berkencan di arena konvoi. Tapi alurnya tidak seperti ini, berbeda 180 derajat.

"Apakah kau mengingat banyak dari mimpimu?" tanya Pratama pelan.

Caroline menggeleng. "Tidak secara detail. Hanya perasaannya. Kesulitan mencari makan, merasa sendirian, dan sup jagung itu." Ia menatap tangannya yang memegang roti.

"Kurasa semenjak bangun tadi, aku merasakan emosiku sedang kurang stabil."

“Tapi menurutku tidak seburuk sebelumnya. Ada perasaan damai, tapi aku juga agak kesal karena rasanya terlalu cepat,” jujurnya lagi.

Caroline menghela napas, seolah menimbang-nimbang. "Itu semua terasa sangat nyata, dalam mimpi itu. Apakah… kita memang pernah seperti itu?"

Pratama menatap mata Caroline, melihat keraguan dan kerinduan yang mendalam. "Ya, pernah. Namun untuk cerita keduamu, aku belum pernah mendengarnya. Mungkin pikiranmu mencoba menghubungkan kembali apa yang hilang. Mimpi itu adalah caranya untuk memperkenalkanmu kembali pada perasaan-perasaan itu. Rasanya... seperti pemanasan."

Caroline memiringkan kepalanya. "Pemanasan?"

"Ya. Sebelum kau bisa merasakannya sepenuhnya di kehidupan nyata. Seperti otot yang harus dipanaskan sebelum berlari."

Pratama mencoba menjelaskan dengan analogi yang bisa dimengerti Caroline.

"Beberapa ada yang sama, ada juga yang berbeda. Tetapi aku akui ingatanmu bagus karena biasanya orang sulit mengingat mimpi yang baru ia alami."

Caroline terdiam, memikirkan penjelasan itu. Ia menyeka sedikit selai yang tersisa di sudut bibirnya dengan jari, lalu menjilatnya. "Jadi jika aku bisa merasakannya dalam mimpi, artinya aku juga bisa merasakannya dalam kenyataan?"

"Tepat sekali." Pratama mengangguk, sorot matanya penuh harapan.

Pratama tersenyum, senyum yang tulus dan menenangkan. "Kita akan bekerja untuk itu, Lin. Kita akan belajar bersama. Aku sudah menelepon dokter tadi." Ia meraih tangan

Caroline lagi. "Konsultasi pertama kita dengan dokter... dia akan datang hari ini. Pukul tiga sore."

Mata Caroline sedikit melebar. "Hari ini? Begitu cepat?"

"Semakin cepat kita mulai, semakin cepat kau bisa pulih, Lin," jawab Pratama lembut, mengusap punggung tangan Caroline dengan ibu jarinya. "Mungkin terasa terburu-buru, tapi lebih baik segera dilakukan. Ada aku, ada dokter, ada Frans dan pelayan lain disini. Kita semua akan membantumu."

"Baiklah," kata Caroline, mengangguk pelan.

"Aku akan... mencobanya."

Pratama tersenyum. "Oke. Percayalah padaku." Ia memberikan semangat dengan meremas telapak tangan Caroline. Perempuan itu mengangguk dengan tekad di matanya.

“Jangan kecewakan aku lagi, kali ini aku mencoba percaya padamu.”

"Tidak akan, Lin," janjinya, suaranya mantap.

"Aku tidak akan menghancurkannya lagi."

Ucapan itu ia simpan dalam hatinya.

Melihat Caroline yang tampak tenang, bahkan setelah mengalami mimpi yang begitu intens, membuat Pratama merasa campur aduk. Ada kelegaan karena istrinya tidak lagi histeris atau menarik diri, namun juga kekhawatiran karena ketenangannya yang nyaris tanpa emosi.

Setelah sarapan, suasana di rumah terasa lebih ringan. Caroline masih sesekali terpaku, terlihat tenggelam dalam pikirannya, namun ia tidak lagi menunjukkan tanda-tanda panik atau ketakutan. Ia bahkan membantu Bu Ninik menata meja makan, gerakannya lebih luwes dan terarah.

Terkadang ia berbicara dengan Pak Jackie, atau siapapun yang berada di dekatnya. Para pelayan merasa senang karena kini Nyonya-nya lebih aktif dan mau berbicara banyak.

Pratama memanfaatkan waktu luangnya untuk menyiapkan diri menghadapi sesi konsultasi nanti sore. Ia membaca kembali beberapa literatur tentang amnesia dan terapi trauma, mencoba memahami lebih jauh proses yang akan dijalani Caroline. Ia juga menyiapkan catatan kecil tentang insiden yang ada dan bagaimana hal itu mempengaruhi Caroline, agar bisa dijelaskan dengan jelas kepada dokter.

Sekitar pukul dua siang, Frans datang ke ruang kerja Pratama. "Pak, bensin mobil sudah diisi penuh. Apakah ada yang perlu saya siapkan lagi?"

"Tidak, Frans, terima kasih," jawab Pratama.

"Pastikan rumah ini dijaga baik selagi aku dan Caroline di luar. Juga lakukan beberapa pesan istriku tadi pagi."

"Baik, akan saya kerjakan." Frans membungkuk dan pergi.

Suasana yang sedikit penuh berubah menjadi hening. Buku bacaannya tidak lagi menarik karena dijeda oleh asistennya. Pram memutuskan keluar dari ruangan kerjanya dan mencari sosok istrinya. Tidak ada di ruang tamu ataupun halaman belakang. Lelaki itu menaiki tangga dan sampai di depan kamar.

Membuka kamarnya, Caroline sedang duduk di tepi ranjang, terlihat tenang membaca sebuah buku. Ia mengangkat pandangannya saat Pratama masuk.

"Sebentar lagi kita akan ke rumah sakit? Sudah siap untuk nanti?"

Caroline menutup bukunya. "Sedikit takut dan agak tidak siap, sebenarnya. Tapi aku juga ingin tahu apa yang menanti disana."

Pratama tersenyum. Penasaran itu menunjukkan kemajuan. "Itu sudah cukup.” Ia duduk di samping Caroline, menggenggam tangannya. "Jika nanti kau merasa bahwa kau tidak dapat menahannya, katakan pada kami."

Caroline mengangguk. Tatapannya kini lebih mantap. "Aku akan mencoba yang terbaik."

Pratama mengelus punggung tangan

Caroline. "En, tapi jangan sampai tertekan." Dia menahan pandangannya pada sang istri, sebelum memajukan wajah dan mencium pangkal hidungnya. Kemudian mengalihkan pandangan secepat mungkin, namun jika dilihat lebih baik, anda akan menemukan cuping telinganya yang merona.

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!