NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30 Sesuatu Telah Berubah

Di apartemen mewahnya di lantai atas Nalendra Park Residence, suasana malam terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Lampu gantung berwarna emas lembut memantulkan cahaya ke dinding marmer dan sofa abu gelap yang tersusun rapi. Ruangan itu luas, modern, dan mahal—tetapi malam ini, justru terasa sepi.

Marvin berdiri tegak di depan jendela besar yang hampir seluruhnya terbuat dari kaca. Kota Surabaya membentang di bawahnya seperti lautan cahaya, namun tak satu pun cahaya itu bisa menarik perhatiannya. Ponsel di tangannya masih menyala, menampilkan foto seorang pria, Aldo.

Barusan saja ia meminta assistennya ‘Satria’ untuk mencari tahu tentang Aldo dan segala informasinya, ia tidak mau bergerak lambat kalau itu berurusan dengan Liora. Wanita yang sudah beberapa minggu ini mengacak acak hati dan pikirannya.

Foto itu formal—setelan lengkap, senyum tipis profesional—tetapi mata pria itu…

Terlalu intens, terlalu focus, terlalu menghitung. Dan Marvin mengenali tipe orang seperti itu: seseorang yang tidak mengenal batas saat menginginkan sesuatu.

Marvin menatap foto itu untuk waktu lama, tanpa reaksi apa pun. Ketika ia akhirnya mengembuskan napas, embusan itu terasa berat. Bukan marah—lebih seperti seseorang yang baru saja mendapatkan alasan untuk berubah menjadi lebih waspada.

Apalagi ketika nama Liora ikut terseret.

Liora. Perempuan yang tidak pernah memandangnya seperti orang lain memandangnya. Tidak kagum, tidak terintimidasi, tidak mencoba mengambil keuntungan. Liora bersikap padanya seperti… orang biasa.

Kadang menyebalkan, Kadang lucu, Kadang membuat jantungnya berdetak sedikit tidak teratur.

Marvin mengusap lehernya pelan, sesuatu yang hanya ia lakukan saat merasa terganggu secara emosional. Ponselnya masih menampilkan foto Aldo.

Dua detik kemudian, Marvin menekan tombol favorit di daftar kontak. Lalu panggilan terhubung.

“Ya, Pak Marvin?” suara seorang pria terdengar tegas dari seberang.

Marvin tidak langsung berbicara. Ia berjalan menuju minibar, mengisi segelas air, membiarkan keheningan beberapa detik menggantung sebelum ia bicara. Suaranya akhirnya keluar—datar, rendah, dan sangat terkontrol:

“Braga, aku butuh tiga bodyguard malam ini juga.”

“Tentu, Pak. Di mana lokasinya?”

Marvin memandangi kota lagi, matanya mengarah ke gedung-gedung tinggi yang dipenuhi cahaya.

“Apartemen Solo Park, tower B, unit 23-B.”

Braga terdiam sepersekian detik, lalu bertanya pelan, “Kalau boleh tahu itu unit siapa, Pak?”

Marvin menegakkan bahu sedikit, menandakan bahwa pertanyaan itu tidak perlu diperdalam.

“Liora.”

Braga menjawab tanpa ragu, “Siap, Pak.”

Marvin melanjutkan, kini suaranya mengeras sedikit, menunjukkan sisi protektif yang jarang sekali muncul bahkan di depan teman dekatnya.

“Perintahkan mereka untuk berada di radius aman. Tidak terlalu dekat. Tidak terlalu jauh. Jangan sampai Liora sadar.”

“Baik.”

“Dan pastikan pria ini—” Marvin mengirimkan foto Aldo lewat pesan. Saat ikon delivered muncul, matanya menyipit sedikit, bukan marah… tapi waspada. “—tidak mendekati Liora. Sama sekali.”

Braga membaca foto itu. Suaranya terdengar lebih berat, seolah ia langsung mengerti tingkat ancaman.

“Saya paham, Pak.”

“Jika pria itu menghampiri Liora,” lanjut Marvin dengan nada yang lebih dingin, “aku ingin kamu jauhkan dia dari Liora sebelum dia sempat berbicara sepatah kata pun.”

“Perintah diterima.”

Marvin menutup panggilan.

Ia meletakkan gelas air di meja, menyandarkan kedua tangannya ke tepi marmer dapur, dan menunduk sebentar, matanya terpejam.

Ia mengembuskan napas… napas yang tidak ia sadari ia tahan sejak Bhumi menyebut nama Aldo.

Perlahan, ia mengangkat wajah dan kembali menatap jendela. Lampu-lampu kota memantulkan bayangannya di kaca: wajah dingin, berwibawa, tegas, tapi kali ini ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya—takut.

Takut sesuatu terjadi pada Liora, takut seseorang menyakitinya, takut seseorang seperti Aldo memiliki celah untuk masuk ke dunia perempuan itu.

Marvin mengetuk jendela kaca pelan dengan jarinya—bunyi ketukan itu lembut tapi penuh tekad.

“Liora… aku tidak akan biarkan siapa pun menyentuhmu,” gumamnya dengan suara rendah yang nyaris tidak terdengar. “Tidak selagi aku masih di sini.”

Seketika itu pula, ponsel di meja bergetar—Braga mengirim pesan:

Braga: Bodyguard sudah dalam perjalanan, Pak. Perimeter akan aman malam ini.

Marvin menatap layar dengan tatapan yang sedikit melunak… untuk kali pertama malam itu.

Namun hatinya masih bergemuruh. Karena satu hal,  Ia belum pernah menjaga seseorang dari jauh seintens ini. Dan ia tidak pernah menyangka… perempuan yang membuatnya melakukan ini adalah seseorang yang bahkan belum ia sentuh.

**

Bulan mulai sadar perlahan ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui tirai tipis penthouse lantai tiga puluh satu. Cahaya itu hangat, lembut, dan membentuk garis-garis keemasan di seprai putih tempat ia berbaring. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang terlalu jernih… terlalu damai.

Untuk sesaat, ia tidak ingat bagaimana ia bisa berada di sini.

Sampai aroma sesuatu yang familiar—kopi hitam hangat dan roti panggang—mengalir pelan melalui udara, menyelinap ke hidung, dan membuat Bulan benar-benar membuka mata.

Ia terdiam. Langit-langit kamar Bhumi menyambut pandangannya—simpel, elegan, dengan lampu gantung modern dan nuansa beige hangat. Bantal yang ia pakai lebih empuk daripada miliknya sendiri, seprai yang menggulung tubuhnya terasa mahal, dan ruangan ini… terasa terlalu aman.

Terlalu tenang, terlalu menenangkan. Dan anehnya, terlalu nyaman bagi hatinya sendiri.

Ingatan dari malam sebelumnya kembali perlahan: pelukan yang menghangatkannya, air matanya yang pecah tanpa ia bisa tahan, suara Bhumi yang begitu lembut dan dalam, janjinya yang membuat Bulan tidak bisa berkata apa pun.

Dan akhirnya, tidur dalam pelukan laki-laki itu.

Bulan menutup wajahnya dengan kedua tangan, pipinya panas. “Ya Tuhan… aku ketiduran di pelukan Mas Bhumi…”

Ia duduk pelan. Rambut panjangnya jatuh berantakan di bahu, dan ia cepat-cepat merapikannya. Selimut disingkap, dan begitu ia menginjak lantai kayu hangat itu, suara langkah pelan terdengar dari luar kamar.

Ada ketukan lembut.

“Bulan? Kamu sudah bangun?” Suara itu—tenang, rendah, dan entah bagaimana terdengar lebih lembut dari biasanya.

Bulan langsung menegakkan tubuh. “I-iya, Mas. Sudah.”

Pintu terbuka. Dan Bhumi muncul.

Ia mengenakan kaus hitam polos dan celana lounge abu gelap—simple, tapi kehadirannya tetap memenuhi ruangan. Rambutnya sedikit berantakan karena belum sepenuhnya kering setelah mandi pagi. Dan aroma sabun pria yang segar menyelubungi udara.

Tetapi yang membuat Bulan hampir lupa bernapas adalah sorot matanya. Lembut, hangat, dan memandang Bulan seolah ia adalah sesuatu yang harus dijaga dengan dua tangan.

“Kamu tidur nyenyak?” tanyanya pelan.

Bulan mengangguk malu. “Ehm… sepertinya. Maaf, Mas… aku ketiduran.”

Bhumi tersenyum—senyum kecil yang jarang muncul, senyum yang terasa seperti matahari pribadi.

“Nggak apa-apa. Kamu capek,” jawabnya sambil melangkah mendekat. “Dan kamu aman di sini.”

Bulan tidak tahu harus menaruh wajahnya di mana. Sebelum ia sempat mencari respon canggung lainnya, Bhumi mengulurkan tangannya—gerakan yang natural, bukan memaksa.

“Ayo, sarapan dulu. Dari kemarin malam kamu belum makan”

Bulan memandang tangan itu. Lalu memandang wajah Bhumi. Ada sesuatu yang berubah pagi ini.

Ada sesuatu yang lebih lembut, lebih dekat, lebih… intim. Dengan ragu, Bulan meletakkan tangannya di tangan Bhumi.

Dan seketika itu—seolah listrik kecil merambat di sepanjang kulitnya—Bhumi menggenggam tangan Bulan dengan lembut, seolah itu adalah hal paling wajar yang ia lakukan sejak mereka bertemu.

Ketika Bulan melangkah keluar menuju ruang makan, ia tak bisa menahan senyum kecil yang langsung muncul di sudut bibirnya, karena di sana—di meja panjang berlapis kayu gelap—Bhumi benar-benar menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.

Dua piring omelet dengan potongan paprika kecil tersusun rapi, ditemani roti panggang yang terlihat crispy sempurna, semangkuk buah potong segar dengan warna-warna yang cerah, segelas jus jeruk yang masih berembun, dan dua cangkir kopi hitam yang aromanya memenuhi seluruh ruangan dengan kehangatan lembut. Semua tertata sederhana namun penuh perhatian, seperti seseorang yang mencoba keras memulai pagi dengan cara yang paling benar.

Dan dari cara hidangan itu disusun—sedikit miring di beberapa sisi, irisan paprika yang tidak seragam, roti yang tampak baru diangkat dari toaster—Bulan tahu satu hal dengan pasti: Bhumi mengerjakan semuanya sendiri, tanpa memanggil chef pribadi seperti biasanya.Bulan memandangnya tak percaya. “Mas… Mas bikin ini semua?”

Bhumi mengangkat bahu santai. “Aku bisa masak beberapa hal. Tidak sehebat Mama, tapi cukup buat sarapan.”

Bulan duduk perlahan, jantungnya sedikit berdebar. Ia tidak pernah membayangkan ini—disajikan sarapan oleh Bhumi, di penthousenya, setelah tertidur dalam pelukan laki-laki itu.

Bhumi duduk di seberangnya. Dan ketika Bulan hampir meminum jusnya, Bhumi memanggilnya dengan suara rendah yang membuat tubuh Bulan membeku di tempat.

“Sayang… Minum air putih dulu.”

Bulan hampir menjatuhkan gelasnya. Ia menoleh perlahan. “Ma… Mas?”

Bhumi menatapnya polos—tapi bukan polos kebingungan. Polos yakin, polos mantap, seolah kata itu memang seharusnya keluar dari mulutnya sejak lama.

“Kenapa?” ia bertanya sambil menyeruput kopinya. “Nggak boleh aku panggil begitu?”

Bulan memegang gelas jus seperti memegang benda paling rapuh di dunia. “B-bukan begitu… aku cuma… Mas Bhumi biasanya nggak—”

“Ssstt.” Bhumi mencondongkan tubuh sedikit, matanya menatap langsung mata Bulan. “Aku cuma memanggil kamu seperti yang ingin aku panggil.”

Bulan menunduk begitu saja, panas merambat ke pipinya. Ia merasa ingin tenggelam di bawah meja. Dan Bhumi tersenyum, menikmati reaksi itu.

Mereka makan dalam keheningan lembut—keheningan yang bukan canggung, tetapi menenangkan. Setiap kali Bhumi menatap Bulan, Bulan pura-pura fokus ke omeletnya. Setiap kali Bulan menatap Bhumi, laki-laki itu justru balik menatap dengan senyuman kecil di sudut bibirnya. Dan anehnya, Bulan tidak merasa terintimidasi. Ia merasa… dipilih.

Setelah sarapan selesai, Bhumi berdiri lebih dulu.

“Ada banyak hal yang harus kita bicarakan lagi hari ini,” katanya sambil mengambil piring. “Tapi semuanya pelan-pelan saja.”

Bulan mengangguk. “Iya…”

Bhumi mendekat. Ia menyentuh pipi Bulan perlahan, dengan punggung jarinya.

“Tapi sebelum itu…” Ia menatap Bulan dalam-dalam. “Aku senang kamu bangun di sini.”

Dan Bulan benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi. Di dalam dadanya, rasa hangat itu tidak mau pergi. Hari ini— pagi ini— Bulan merasa sesuatu berubah. Dan perubahan itu… tidak menakutkan sama sekali.

*

Bulan masih duduk di meja makan, jarinya memainkan tepi gelas air yang sudah tidak dingin lagi. Suasana penthouse masih dipenuhi aroma sarapan dan wangi the yang disuguhkan Bhumi sangat khas. Cahaya matahari pagi menyita ruangan, memantulkan kilau hangat di lantai marmer dan membuat suasana terasa… terlalu homey, terlalu nyaman.

Bhumi berjalan keluar dari kamarnya. Rambutnya sudah rapi, kemeja putihnya masih setengah dimasukkan ke celana kerja, dan tangan kirinya membawa sebuah paper bag besar berlogo butik mahal. Ia berjalan ke arah Bulan, berhenti tepat di depannya, lalu meletakkan paper bag itu di meja.

Bulan mengerjap. “Mas, ini… apa?”

Bhumi tidak langsung menjawab. Ia menarik kursi di samping Bulan dan duduk, tubuhnya sedikit condong ke depan seperti seseorang yang akan menjelaskan sesuatu yang penting.

“Pergi mandi dulu,” katanya lembut. “Bajumu ada di sini.”

Bulan menatap paper bag itu, lalu menatap Bhumi—samar-samar gugup dan bingung. “Baju… di dalam sini semua?”

“Iya.” Bhumi menatapnya serius. “Dari luar sampai dalam.”

Pipi Bulan langsung memanas sampai ke telinga. “Mas… pilihkan aku… dalamannya juga?”

Bhumi mengangguk pelan. “Tentu.”

Bulan langsung menutup wajah dengan kedua tangannya, separuh malu, separuh ingin tertawa gugup. “Mas… itu… kan…”

“Tidak apa-apa,” potong Bhumi lembut. “Kamu pacar aku.”

Bulan benar-benar ingin tenggelam dalam kursinya. Itu pertama kalinya Bhumi mengatakannya langsung—pacar aku. Sederhana, tapi terasa seperti dunia Bulan berubah untuk sesaat.

Bhumi bangkit, mengusap lembut puncak kepala Bulan. “Ayo. Mandi. Sarapan sudah selesai. Jam delapan aku antar kamu ke kantor.”

Bulan menatapnya dengan mata membesar. “Mas… antar aku? Bukannya kantor Mas cuma… turun lift doang?”

Bhumi mengangkat alis. “Terus kenapa?”

“Ya… Mas repot-repot banget…”

Bhumi menarik napas pendek, lalu menunduk sedikit agar wajahnya sejajar dengan Bulan.

“Aku mau antar kamu,” katanya tegas, tapi lembut. “Mulai sekarang… aku yang antar jemput kamu.”

“Tapi sebentar lagi kan, aku jadi pengangguran, Mas”

Tangan Bhumi mengusap pipi Bulan “Gak papa, kamu bisa jadi konsultan IT di Arjuno Grup” ucapnya santai.

Bulan terdiam. Dada kanannya terasa aneh—hangat, terlalu hangat, memicu denyut lembut yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa diperhatikan, rasa dijaga, rasa dicintai. Itu baru pertama kali ia merasakannya dari seorang pria.

Dan pria itu… Bhumi.

*

Bulan melangkah masuk ke kamar mandi penthouse yang dipenuhi aroma wangi lembut, cahaya putih hangat memantul di dinding marmernya. Ia membuka paper bag perlahan, dan seketika menemukan isinya tersusun rapi, blouse satin warna ivory yang jatuh mulus, blazer soft grey dengan potongan yang tampak sempurna untuk tubuhnya, rok span hitam yang elegan, sepasang stocking tipis, serta lingerie bernada nude yang lembut dan sangat cantik. Begitu menyadari detail-detail itu, Bulan menggigit bibirnya, pipinya memanas tanpa bisa ia kendalikan.

“Mas Bhumi… gimana bisa milih ini semua…” gumamnya pelan, malu tapi senang.

Di cermin, wajahnya terlihat berbeda, ia terlihat lebih lembut, lebih hidup, dan lebih… berbunga. Ia mulai mengenakan semuanya. Ukurannya perfect, potongannya elegan, dan semuanya terasa nyaman. Mas Bhumi-nya benar-benar memperhatikan setiap detailnya.

Begitu Bulan keluar dari kamar mandi, Bhumi yang sedang memakai jam tangan berhenti dan menatapnya. Dari atas sampai bawah. Tanpa menyembunyikan kekaguman.

“Kamu cantik sekali,” ucapnya pelan. “Bagus.”

Bulan benar-benar ingin sembunyi di balik sofa.

Setelah itu, mereka turun ke basement penthouse. Mobil BMW seri 7 milik Bhumi sudah menunggu dengan mesin menyala. Begitu Bulan duduk di kursi penumpang, Bhumi menutup pintu untuknya lalu masuk ke sisi kemudi. Mobil melaju perlahan keluar dari gedung.

Beberapa detik setelah mobil mereka melaju di jalan raya pagi itu, Bhumi tiba-tiba mengulurkan tangan kirinya—tanpa perlu menatap Bulan atau mengucapkan apa pun—dan menggenggam tangan kanan Bulan dengan cara yang begitu natural, seolah itu refleks yang sudah ia lakukan bertahun-tahun.

Ibu jarinya bergerak pelan di punggung tangan Bulan, mengusapnya dengan ritme kecil yang terus berulang, menghadirkan kehangatan yang merembes naik ke lengan Bulan; sebuah sentuhan yang lembut, posesif, dan romantis dalam cara yang dewasa serta membuat jantung Bulan bergetar pelan.

Bulan meliriknya, pipinya memanas lagi. “Mas… nyetirnya gimana kalau tangan Mas cuma satu?”

Bhumi melirik balik, tatapannya sedikit jahil. “Aku bisa nyetir dengan satu tangan.”

“Well, iya… tapi…”

“Aku cuma butuh satu tangan,” potong Bhumi dengan suara rendah. “Yang tangan kanan aku buat genggam tangan kamu.”

Bulan langsung menggigit bibir, berusaha keras menahan tawa malu. “Mas Bhumi itu… posesif banget dari pagi.”

Bhumi tersenyum kecil. “Karena pacarku ini manis sekali pagi ini.”

“Mas!” Bulan menutup wajah dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap ditahan Bhumi.

Bhumi menunduk sedikit, suara rendahnya membuat bulu kuduk Bulan merinding lembut.

“Sayang…”

Bulan menoleh. “Mhm?”

“Aku nggak mau kamu jalan sendirian lagi. Mulai sekarang, kamu sama aku.”

Dan Bulan tidak punya kekuatan untuk membantah itu. Ia hanya tertawa kecil, menggeleng, tapi hatinya meleleh seluruhnya. Bulan menyakini bila Lintang tahu tentang keadaannya saat ini yang sudah punya pacar pasti dia akan selalu menggodanya.

Mobil Bhumi sudah berhenti tepat didepan gedung Global Tekhnologi, Bhumi menghentikan mobil tepat di pintu utama. Beberapa karyawan mulai berdatangan, sebagian melihat mobil mewah itu tanpa tahu apa yang terjadi.

Sebelum Bulan turun, Bhumi menarik tangan Bulan ke bibirnya dan mengecup punggung tangan itu perlahan.

Bulan membeku seperti es. “Mas…”

“Ada apa?” Bhumi bertanya lembut. “Pamit dulu dong.”

“Ini… di depan kantor…”

Bhumi tersenyum, tatapannya lembut tapi dalam. “Justru itu.”

Dan Bulan benar-benar jatuh cinta sekali lagi.

**

tbc

1
Anonymous
tuh kan dibales
Anonymous
buset liora/Facepalm/
Al_yaa
di bab ini marvin menang banyak, bhumi malah makin sweet .. lama lama ku gulung juga nih dunia pernovelan
Al_yaa
yaelah marv, menang banyak luuu /Grin/
Al_yaa
hayolo lioraa 🤭
Bia_
hayolo hayolo Liora
Bia_
heh Liora Jangan binal ya kamu/Facepalm/
Bia_
duh gusti /Grin/
Bia_
Jangan ditanya atuh bapak Selama masih ada 2 Curut mereka Pasti out
Bia_
liora Sebenernya ngerti tapi kek masih lugu aja nih
Al_yaa
di bab ini si marvin pemenangnya
Al_yaa
/Angry//Hey//Hey/
Al_yaa
marvin jan langsung diulti gitu apahhh
Al_yaa
omigat omigat lioraaaa/Facepalm/
KaosKaki
ya Allah, si Marvin mahhhh 😍
KaosKaki
/Angry//Awkward/
Al_yaa
bab ini bikin melting ihh, mauu satu yang kaya bhumi 😍
Al_yaa
padahal, liora juga mau ngomel tuhh ehh dikasi vitamin baby sama marvin malah meleleh diaa, jadi lupa deh mau ngomelnya
Anonymous
disuguhin yang manis manis dulu ya thorrr
Al_yaa
bab ini banyak ke uwuan /Smile//Hey//Grin/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!