Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Dari Sini
Pagi itu, sinar matahari menembus lembut dari sela tirai ruang makan, menimbulkan bayangan hangat di permukaan meja kayu tempat dua piring nasi goreng dan secangkir teh melati mengepulkan aroma menenangkan.
Arga duduk berhadapan dengan Alya, mengenakan kemeja putih yang baru saja disetrika. Rambutnya masih sedikit basah, tanda baru selesai mandi, sementara Alya tampak rapi dengan gamis berwarna lembut dan hijab pastel yang menambah aura teduh di wajahnya.
Sarapan itu sederhana, tapi entah kenapa terasa berbeda pagi ini. Ada tawa ringan, ada tatapan penuh makna, ada suasana hangat yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Alya meletakkan sendoknya perlahan. “Mas, hari ini aku rencananya mau ke panti sosial sebentar. Udah lama nggak ke sana.”
Arga berhenti sejenak, menatapnya lembut. “Panti sosial? Di daerah Tebet itu kan ya? Kayak biasa.”
Alya mengangguk. “Iya. Beberapa anak di sana mau aku bantu les baca Qur’an. Terakhir aku janji bakal datang minggu ini.”
Arga menatap istrinya dengan ekspresi sulit dijelaskan, antara kagum dan khawatir. Ia tahu Alya memang punya hati lembut. Sejak awal mengenalnya, istrinya itu selalu memikirkan orang lain lebih dulu daripada dirinya sendiri. Tapi, setelah beberapa waktu lalu Alya sempat kelelahan, Arga jadi lebih berhati-hati.
“Aku ngerti kamu senang di sana,” ujar Arga akhirnya, nadanya lembut tapi tegas. “Tapi aku minta satu hal… jangan terlalu capek, ya? Aku tahu kamu suka bantu orang, tapi kamu juga harus jaga diri.”
Alya tersenyum kecil. “Iya, Mas. Aku janji nggak bakal maksa diri lagi. Cuma mau ngajar sebentar, kok. Setelah itu langsung pulang.”
Arga menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas pelan. “Aku bukannya melarang kamu berkegiatan, Alya. Aku cuma... nggak mau kamu ngerasa harus kerja keras.”
Alya menunduk, mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Kalau soal biaya, kamu nggak perlu khawatir,” lanjut Arga dengan suara lebih dalam. “Aku mampu, Al. Kamu nggak harus repot mikirin uang, apalagi sampai sibuk ngurus donasi sendiri. Aku pengen kamu bisa fokus sama rumah, sama kita.”
Kata-kata “sama kita” membuat pipi Alya memanas. Ada sesuatu di suaranya yang begitu tulus.
“Tapi Mas,” ujarnya pelan, “Aku senang bisa bantu anak-anak di sana. Aku cuma... ngerasa tenang kalau bisa ngelakuin hal itu.”
Arga tersenyum tipis. “Aku tahu. Justru itu aku pengen ngomong sesuatu.”
Alya menatap suaminya, sedikit bingung.
“Gimana kalau aku buatkan kamu panti sosial sendiri aja?” kata Arga santai, tapi dengan nada penuh keyakinan.
Alya membelalakkan mata. “Panti sosial... sendiri?”
Arga mengangguk. “Iya. Aku udah kepikiran dari kemarin, waktu ngelihat kamu cerita soal anak-anak di sana. Aku pikir, kalau kamu punya panti sosial sendiri, kamu bisa bantu lebih banyak orang, tapi tanpa harus bolak-balik terlalu jauh, tanpa kelelahan.”
Ia melanjutkan, “Aku bisa bantu ngatur sistemnya, cari relawan, bahkan bantu legalitasnya. Kamu tinggal fokus di hal yang kamu suka: ngajar, ngasih perhatian ke mereka. Aku tahu kamu punya hati yang besar, Alya.”
Alya terdiam. Matanya bergetar halus. Ia tahu Arga bukan tipe lelaki yang banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar darinya selalu punya makna yang dalam.
“Mas, aku... nggak tahu harus bilang apa,” ucapnya dengan suara lembut. “Aku senang banget, tapi aku juga nggak enak. Mas udah terlalu baik. Aku takut nyusahin.”
Arga tersenyum kecil, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Kamu nggak nyusahin, Alya. Kamu istriku. Apa pun yang bikin kamu bahagia, aku bakal dukung. Lagi pula... dengan begitu, aku juga bisa ikut bantu lewat kamu. Anggap aja ini cara kita berdua untuk berbagi.”
Kata-kata itu menghantam lembut ke hati Alya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.
“Terima kasih, Mas…” ucapnya lirih.
Arga menatapnya dengan senyum lembut. “Jadi, nanti malam atau besok kita bahas ya, kira-kira lokasi yang cocok di mana.”
Alya hanya mengangguk pelan, tapi wajahnya berseri-seri seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah besar.
Suasana sarapan berubah hangat. Mereka melanjutkan makan dengan ringan, diselingi obrolan kecil tentang menu kesukaan, rencana akhir pekan, dan bagaimana Alya ingin mengajarkan anak-anak panti nanti tentang sopan santun dan membaca Al-Qur’an.
---
Setelah piring-piring dibersihkan, Arga duduk di ruang tamu sambil mengenakan jam tangannya. Ia melirik Alya yang sedang menyiapkan tas kerja di meja kecil dekat pintu.
“Oh iya,” ucap Arga sambil menatap istrinya. “Tadi malam kamu bilang soal Mbok Dharmi, kan?”
Alya menoleh. “Iya, Mas. Aku sempat bilang kalau Mbok mungkin lebih cocok di rumah orang tua Mas aja. Soalnya di sini aku bisa ngurus sendiri.”
Arga mengangguk. “Aku udah bilang ke papa. Mbok Dharmi udah kembali ke rumah orang tua. Jadi kamu di sini nggak usah terlalu capek, ya. Kalau butuh bantuan, bilang aja. Aku bisa panggil orang buat bantu bersih-bersih atau belanja.”
Alya tersenyum, lalu menghampiri Arga sambil membawa jaket kerjanya. “Nggak apa-apa, Mas. Aku bisa kok. Lagian ngurus rumah itu bagian dari ibadah juga.”
Arga menatapnya dengan pandangan lembut yang sulit disembunyikan. “Aku tahu. Tapi aku nggak mau kamu kelelahan lagi, itu aja.”
Alya hanya mengangguk kecil. “InsyaAllah aku jagain diri, Mas.”
Arga berdiri, siap berangkat ke kantor. Ia sempat melihat jam tangannya, masih pukul tujuh kurang lima. Tapi kemudian ia teringat sesuatu.
“Oh iya,” katanya sambil menarik napas pelan. “Hari ini aku ada meeting penting sama klien besar. Mungkin... kamu bakal denger nama Dinda disebut di berita atau laporan media nanti.”
Alya berhenti sejenak. Arga buru-buru menambahkan, “Aku cuma pengen bilang duluan biar nggak salah paham. Dinda itu sekarang salah satu arsitek proyek dari perusahaan. Jadi pertemuan nanti murni profesional.”
Alya menatapnya tenang, tanpa sedikit pun nada curiga. “Aku ngerti, Mas. Nggak apa-apa kok. Aku tahu Mas bisa jaga diri dan tahu batasan.”
Arga sempat terdiam beberapa detik, lalu tersenyum kecil. “Kamu percaya banget, ya, sama aku.”
Alya tersenyum lembut. “Kalau nggak percaya, buat apa menikah?”
Jawaban itu membuat Arga menatapnya lama, dalam diam. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya, campuran haru dan rasa bersalah yang samar. Ia tahu, Alya terlalu tulus.
“Terima kasih, Alya,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah tapi hangat.
Alya menggeleng pelan. “Aku yang harusnya terima kasih, Mas.”
---
Arga menatap jam tangannya sekali lagi, lalu mengambil kunci mobil di atas meja. “Aku berangkat dulu, ya.”
Alya mengangguk. “Hati-hati di jalan, Mas.”
Arga berjalan ke arah pintu, tapi belum sempat melangkah keluar, Alya menghampirinya. Ia berdiri di hadapan suaminya, lalu menunduk sedikit, mencium punggung tangan Arga perlahan.
Untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Alya melakukan itu.
Gerakan sederhana, tapi membuat waktu seolah berhenti.
Arga tertegun. Ia menatap tangan yang baru saja dicium itu, lalu menatap Alya. Ada binar lembut di mata istrinya, dan Arga tahu, ini bukan sekadar bentuk sopan santun, tapi juga kasih sayang yang tulus.
Arga menunduk, lalu menyentuh kepala Alya dengan jemarinya, mengusap pelan hijab yang menutupi rambutnya. “Aku berangkat dulu. Nanti aku kabarin ya, kalau udah sampai kantor, aku kabarin juga kalau udah selesai meeting.”
Alya tersenyum. “Iya, Mas. Semangat kerja, ya.”
Arga mengangguk, menatap wajah lembut itu sekali lagi sebelum melangkah keluar.
Mobilnya perlahan meninggalkan halaman rumah, sementara Alya masih berdiri di teras, memandangi kepergian suaminya dengan senyum kecil di bibirnya.
Udara pagi terasa berbeda. Ada kedamaian yang baru tumbuh, seperti sinar matahari yang pelan-pelan menembus kabut tipis di langit.
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣