NovelToon NovelToon
Dunia Larashati

Dunia Larashati

Status: sedang berlangsung
Genre:Mata Batin / Pihak Ketiga / Tumbal / Kutukan / Spiritual / Iblis
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Adiwibowo Zhen

perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka kecil di terik siang

“Nur, aku langsung pulang, ya…”

Suara Larasati lirih, nyaris tenggelam oleh desir angin siang yang menampar wajah mereka. Matanya sembab, pipinya masih basah, langkahnya berat.

Nur menunduk. “Iya, Laras… aku juga mau pulang. Sakit, ya, rasanya… diusir kayak gitu.”

Nada suaranya bergetar, seperti daun kering yang hampir patah ditiup angin.

Larasati mengangguk pelan. “Iya, Nur… jahat sekali mbak Kus itu,” katanya dengan suara serak, menahan sisa air mata yang belum sempat jatuh.

Mereka berdua berjalan menyusuri jalan tanah yang memanjang di antara pohon jambu dan pagar bambu.

Langit begitu terang, tapi hati dua anak kecil itu kelam , seolah sinar matahari enggan menyentuh wajah mereka.

Burung-burung di ranting atas pun diam, dan suara serangga di bawah rumpun pisang terdengar lebih nyaring dari biasanya.

Langkah mereka berpisah di simpang kecil yang membelah kampung.

Nur menoleh sebentar, tersenyum kaku, lalu berlari kecil ke arah utara.

Larasati hanya berdiri menatap punggung temannya menjauh, lalu berbalik arah pulang, dengan bahu kecil yang menunduk.

Rumah Larasati tampak sunyi saat ia tiba.

Udara panas membuat genteng rumah menguapkan aroma tanah liat yang khas, bercampur bau anyir air sumur dari belakang rumah.

Tanpa berkata apa-apa, Larasati menutup pintu perlahan dan berlari ke kamarnya. Ia rebah di atas kasur tipis, menelungkup, lalu menangis , pelan, tapi lama.

Isakannya seperti degup kecil yang terputus-putus, mengisi kamar sederhana itu dengan kesedihan yang tak bisa ia pahami.

Di luar, dari warung kecil di depan rumah ''Yati, ibunya, memperhatikan dari kejauhan.

Ia baru saja selesai menata toples-toples berisi kue kering ketika melihat Larasati lewat dengan wajah murung.

Biasanya gadis kecil itu pulang sambil berlari, membawa bunga liar atau batu aneh yang ia temukan di jalan, lalu bercerita panjang tentang hal-hal yang bahkan orang dewasa tak sempat pikirkan. Tapi kali ini tidak.

“Laras?” gumam Yati, dahi berkerut.

Ia memperhatikan dari jendela warung, tapi Larasati tak menoleh.

Anaknya masuk rumah tanpa suara, dan itu sudah cukup membuat naluri seorang ibu bergetar.

“Kenapa anak itu murung begitu?” bisiknya pelan, sambil menghela napas. “Pagi tadi masih ketawa-tawa… perasaan pas berangkat main, senyumnya lebar sekali.”

Yati menatap langit sebentar ,cahaya matahari terasa menyilaukan mata, seperti ikut menyembunyikan sesuatu. Ia menutup warungnya, berjalan masuk ke rumah, dan perlahan membuka pintu kamar anaknya.

Larasati masih menelungkup, bahunya berguncang.

Yati duduk di tepi ranjang, tangannya yang kasar karena sering mencuci piring mengelus rambut anaknya.

“Laras, Nak…” panggilnya lembut. “Kenapa menangis, sayang?”

Larasati menggigit bibir, lalu menoleh perlahan.

Wajahnya basah, hidungnya merah. Ia mencoba bicara, tapi suaranya pecah di tengah kalimat.

“Ibu… tadi aku sama Nur main ke rumah Mbah Dalisah…” ia berhenti sejenak, menelan isaknya, “tapi… kami diusir, Bu… sama pembantunya Mbah, Mbak Kus. Dia marah-marah… katanya aku anak pencuri…”

Mata Yati langsung berkaca-kaca. Ia terdiam, membiarkan anaknya melanjutkan.

“Dia bilang aku ini anak seorang pencuri, yang suka ngambil barang orang kaya… katanya aku nggak pantas main di rumah itu…”

Suara Larasati melemah, seperti habis tenaga. Ia memeluk ibunya erat-erat, seolah ingin bersembunyi di dada yang pernah jadi tempat paling aman di dunia.

Yati menatap langit-langit kamar. Di dadanya, ada campuran antara sedih, marah, dan pasrah yang menekan seperti batu besar.

Tangannya membelai punggung anaknya pelan.

“Yang sabar ya, Nak…” katanya akhirnya, dengan suara berat. “Mbak Kus memang begitu orangnya.

Kasar, mulutnya pedas… suka merendahkan orang yang dia anggap kecil. Tapi kamu jangan percaya omongannya.”

Mungkin ini semua kesalahan ibumu nak ,yati berkata sambil menatap langit langit kamar seolah mengingat masa lalu.

Memangnya inu slah apa ,larashati bertanya sambil masih terisak.

"Dulu, Ibu sangat kasihan pada Mbak Kus. Dia perawan tua yang terasing, tinggal di gudang lesung milik Mbah Dalisah.

Melihatnya seperti itu, Ibu dengan tulus menyarankan untuk bekerja di rumah Mbah Dalisah.

Meskipun Mbah Sirod, suami Mbah Dalisah, tidak setuju, Ibu tetap bersikeras. ‘Dia membutuhkan bantuan,’ kata Ibu, ‘siapa lagi yang akan mengasihinya jika bukan kita?’"

Yati, menghela napas, seolah menenggelamkan kenangan pahit itu di dalam pikirannya.

"Dan akhirnya, Mbah Sirod pun menyerah. Mbak Kus mulai bekerja di dapur, bersih-bersih, bahkan Mbah Sirod mencarikannya suami.

Namun, semua itu tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, kami melihat sosoknya berubah.

Dia mulai memfitnah Ibu dan mencuri uang dagangan di toko Mbah Dalisah."

Yati ,kepalanya terangguk pelan, seolah mematuhi irama ingatan yang menyakitkan.

"Ibu akhirnya membuka warung sendiri. Sebelum itu, Ibu bekerja di toko Mbah Dalisah, sementara Bapak menjadi supir di rumah Mbah Suharti.

Namun, setelah Mbak Kus mendapatkan kepercayaan Mbah Dalisah, dia mulai ikut ke toko setiap pagi.

Pulang ke rumah untuk mengurus rumah, lalu sore kembali ke toko untuk menghitung uang. Kerjaan Ibu, sekarang semua dikerjakan oleh Mbak Kus, dan ironisnya, dia lah yang sering mencuri uang."

Yati,melihat kegundahan yang terpantul di wajah anaknya, ia melanjutkan, suaranya menurun ke nada yang lebih rendah, lebih intim.

"Tapi semua itu tidak dipedulikan oleh Mbah Dalisah. Ibu yang selalu membawa uang untuk laporan malah dituduh.

Pak Samin, supir pribadi Mbah Sirod, membela Ibu ketika dia melihat bagaimana Ibu selalu membawa pulang uang tanpa mencuri sedikit pun.

Dia tahu Ibu tidak bersalah. Sementara Mbak Kus yang mengurus pembukuan di kasir selalu saja bisa menutupi kesalahannya."

Raut wajah Yati, kini dipenuhi dengan ketidakadilan yang mendalam.

"Kegundahan memuncak saat Mbok Yam, nenekmu, marah besar anaknya di tuduh mencuri. Hubungan mereka semakin retak, dan hingga saat ini, Mbok Yam dan Mbah Dalisah tidak bertegur sapa.

Mereka berdua bersumpah di hadapan sepuluh santri yang sedang membaca surat Yasin, diawali dengan suara lirih namun nyaring dari Mbok Yam."

Menggenggam tangan larashati, Yati ,melanjutkan ceritanya dengan pelan.

"‘Jika anaku, Yati, mencuri, maka biarlah kakinya patah,’ ucap Mbok Yam dengan penuh keyakinan, ‘Namun jika dia tidak mencuri, maka yang mencurilah yang akan mendapat azab!’ Sumpah itu disaksikan oleh warga sekitar dan para santri desa. Setelah seminggu, tak disangka, anak Mbak Kus, kakinya patah saat bermain di gudang padi. Kejatuhan karung padi yang terjatuh!"

Permukaan wajah Yati, berubah, seolah menampung rasa empati, juga kepedihan atas ketidakadilan.

"Mungkin Mbah Sirod sudah tahu bahwa Mbak Kus jahat, dan karena alasan itulah dia menolak awalnya. Sayangnya, Ibu tak mau mendengarkan.

Nasi sudah jadi bubur, Nak. Tuhan Mahatahu, dan saya yakin, mereka pada akhir akan mendapatkan azab mereka sendiri."Yati, dengan mata berkaca kaca dan nada lirih

Yati menghela napas panjang. Airmatanya menetes, tapi ia cepat mengusapnya sebelum Larasati sempat melihat.

“Ibu tahu kamu bukan anak pencuri dan ibu juga bukan pencuri. Ibu percaya. Dan kalau orang lain nggak percaya, biarlah… yang penting kamu tetap baik, ya, Nak.”

Larasati diam, mendengarkan semua cerita dengan sungguh sungguh ,tapi matanya menatap ibunya dengan lembut , di sana ada cahaya kecil yang tersisa, cahaya dari kepercayaan seorang anak yang tak sepenuhnya padam.

Yati tersenyum samar, lalu mendekap anaknya erat, seperti ingin memindahkan seluruh rasa aman yang masih tersisa di dunia ke tubuh kecil itu.

Di luar kamar, matahari masih terik, tapi terasa tak lagi menyilaukan.

Angin sore mulai datang dari arah sawah, membawa aroma jerami dan suara burung yang pulang.

Di kejauhan, lonceng sapi berdenting , irama sederhana dari kampung yang seolah tak peduli ada dua hati kecil yang baru saja belajar tentang kerasnya dunia.

Namun di balik itu semua, di hati Larasati yang masih lembut, tumbuh sesuatu yang baru ,bukan kebencian, tapi kesadaran.

Bahwa tidak semua senyum berarti baik, dan tidak semua kejahatan berteriak lantang.

Beberapa di antaranya berbisik pelan… lewat kata-kata yang menusuk lebih dalam daripada pisau.

Dan di antara pelukan ibunya, Larasati memejamkan mata.

Hatinya masih sakit, tapi ia tahu , air mata hari ini akan menjadi kekuatan yang diam-diam tumbuh, menunggu waktunya sendiri untuk berubah menjadi sesuatu yang lebih besar.

1
penguasa univers
menyedihkan
Aura Angle
wuih ad hot hotnya
Ninik Listiyani
/Sweat//Sweat//Sweat/
Ninik Listiyani
ad y orang kaya Suharti kejam
Ninik Listiyani
kisahnya kya beneran terjadi
Ninik Listiyani
lanjutkan menulisnya
Ninik Listiyani
penasaran untuk cerita selanjutnya
penguasa univers
tak menyangka ,tapi masuk akal 🤭
penguasa univers
💪
cakrawala
terimakasih suportnya/Pray/
penguasa univers
seperti itukah hasil dari kehidupan manusia yg di tumbalkan ?
Ninik Listiyani
makin seru sepertinya. akan jadi wanita tangguh👍
Ninik Listiyani
semangat nulisnya kk aku akan jadi pembaca setiamu please jangan berhenti di tengah jalan
Ninik Listiyani
sungguh tragis💪
Ninik Listiyani
berkaca kaca
Ninik Listiyani
kisah yg bagus sepertinya mengerikan penderitaanya
Ninik Listiyani
kasihan sekali 🤣
Ninik Listiyani
semangat aku suka 🤣kisahnya
Ninik Listiyani
membuat terharu kisahnya🤣
Ninik Listiyani
mengharukan🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!