Hana Nayaka tidak percaya, jika pria yang menikahinya dua tahun lalu dengan mudah menjatuhkan kata talak hanya karena dia mendatangi kantor tempat suaminya itu bekerja.
Sudah hampir 3 bulan belakangan ini, Adam Husain melewatkan sarapan dengan alasan harus datang ke kantor pagi-pagi sekali karena pekerjaannya sedang banyak dan mendesak.
Braakkk...
Rantang makanan yang dibawa Hana dilempar hingga semua isinya berhamburan.
"Dasar istri tidak berguna sudah miskin, udik, kampungan lagi. Untuk apa kamu datang ke kantor, mau buat aku malu karena punya istri macam kamu."
"Mulai hari ini, Hana Nayaka bukan istriku lagi. Aku jatuhkan talak satu." Ucap Adam lantang.
"Mas... Kamu kenapa tega padaku? Apa salahku?" Tangis Hana pecah di depan lobby perusahaan tempat Adam bekerja sebagai manager keuangan.
Hana pergi dengan membawa luka yang menganga dan dendam membara.
"Aku pasti akan membalasmu, Adam. Kamu lupa siapa aku." Gumamnya.
JANGAN MENABUNG BAB!
SUPAYA CERITA INI BERUMUR PANJANG.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Teman Masa Kecil
"Kamu yakin dia masih ada di Luar Negeri?" Sindir Veronika.
"Tentu saja aku tahu semua tentang dia, karena kami tidak pernah putus komunikasi." Jawab Ariana.
"Kalau begitu acara makan malam minggu depan, ajak kekasih masa kecilmu itu datang." Kami ini mengenalnya." Ucap tegas Nenek Ratna.
"Baik Nenek, saya akan mengundangnya."
Keesokan harinya, dengan penuh percaya diri wanita bernama Meidina Ariane itu mendatangi kediaman keluarga Marva. Ane panggilannya untuk lingkungan yang dianggap keluarga atau orang dekat. Adalah seorang model papan atas, bertubuh tinggi langsing dan sexy. Meskipun mengatakan pada keluarganya dia sudah seorang kekasih, tapi Ane masih bungkam di hadapan media.
Tentu saja Ane tidak berani bicara sembarangan, karena hal sensitif. Apalagi privasi keluarga sangat dijaga.
Tok
Tok
Tok
Pakaian modis yang dikenakan Ane menambah kesan sexy tapi tetap terlihat anggun.
Setelah seorang pembantu membukakan pintu, Ane langsung diminta masuk rumah. Dan kebetulan saat ini mereka semua masih sedang sarapan pagi.
"Siapa yang datang?" Tanya Nyonya Senja, karena tidak biasanya ada tamu datang di jam pagi.
"Katanya teman Den Langit, Nyonya. Saya sudah minta tunggu di ruang tamu." Jawab Bik Ninuk.
"Oh teman Langit yang datang, tumben. Laki-laki kan Bi, suruh masuk saja ikut sarapan bareng kita." Lanjut Nyonya Senja.
"Temanku? Siapa? Kok gak kabari dulu kalau mau datang bertamu." Langit merasa ada yang aneh.
"Ehmmm itu... Teman Den Langit perempuan cantik, yang seorang model." Jawab Bik Ninuk setengah gugup.
"Aku gak punya teman perempuan. Pasti hanya orang ngaku-ngaku." Ucap Langit masih bisa cuek.
"Ya sudah, suruh dia kemari."
Bukan Langit yang menjawab, tapi Hana yang merasa sangat penasaran.
"Sayang, serius aku tidak punya teman perempuan. Kamu tidak perlu memintanya ke sini, kita sedang sarapan lho." Ucap Langit cemas.
"Tak apa, kita akan tahu siapa yang datang setelah ini." Dan benar saja Ane langsung mendekati Langit dengan senyum lebarnya.
"Haiii... Langit apa kabar? Om Angkasa... Tante Senja... apa kabar?" Ane memberi salam pada mereka, melewati Hana yang sedang duduk di samping Langit begitu saja. Padahal tubuh Hana lebih besar diantara mereka, tapi tidak terlihat. Mungkinkah Hana menjadi transparan sekarang?
"Kamu minggir, aku ingin duduk di samping Langit." Ucap Ane.
Hana diusir terang-terangan di hadapan Langit dan orang tuanya. Hana pun berdiri lalu pindah, tanpa suara dengan tatapan datar.
"Kamu tidak sopan Ane, dia..." Tegur Langit tapi dipotong Hana.
"Tidak apa-apa Tuan Langit, saya bisa duduk di kursi yang lain." Jawab Hana dengan suara teramat datar dan dingin.
"Langit kita sudah lama tidak bertemu, bagaimana jika hari ini kamu temani aku jalan-jalan. Tidak masalah kan Om Tante, selama ini aku pikir kamu masih ada di Luar Negeri. Makanya aku tidak pernah berkunjung, apalagi nomer ponsel kamu tidak bisa dihubungi." Ucap manja Ane.
"Langit..." Tegur keras Nyonya Senja.
"Langit, kamu harus memimpin rapat. Maaf ya Ane, Langit punya banyak kesibukan. Jadi tidak punya waktu hanya untuk main-main." Tuan Angkasa ikut bersuara tegas.
"Oh.... Baiklah kalau memang sibuk. Aku akan datang nanti siang, kita makan siang berdua ya." Ucap Ane masih berusaha membujuk.
"Sepertinya Anda sudah sangat ngebet..."
"Apa kalian punya hubungan lebih selain sekedar 'TEMAN'?" Tanya Hana berucap dengan menegaskan kata teman.
"Kamu siapa ikut pembicaraan ini? Bukankah kamu hanya seorang pembantu?" Ucap Ane menatap sinis Hana.
Wajah Langit sudah merah padam, tapi saat ingin membalas ucapan Ane. Hana lebih dulu memberi kode, bahwa dia bisa mengatasinya.
Hana sekarang tidak takut lagi, apalagi setelah dia tahu kebenaran bahwa di dalam pembuluh darahnya mengalir darah keturunan mantan Mafia. Lantas, hal apa yang harus Hana takutkan sekarang. Tidak ada!
Karena ketakutan terbesar Hana adalah kehilangan Langit, kehilangan orang yang disayanginya. Termasuk Ayah kandungnya yang baru saja dipertemukan oleh takdir.
"Aku hanya tamu di sini. Tapi tidak ada salahnya bukan jika aku bertanya seperti itu." Ucap Hana dengan tatapan tajamnya.
"Oh... Iya kamu benar, aku adalah teman masa kecil Langit. Dan kami dulu pernah berjanji akan menjadi pasangan suami istri ketika kami berdua sudah dewasa. Jadi, aku akan menagih janjinya."
Ucap Ane dengan senyum lebar. Sedangkan Langit sudah melotot, bahkan saking terkejutnya sampai bola matanya bagaikan akan lepas dari tempatnya.
"Langit kamu?" Nyonya Senja sangat terkejut, dia bahkan memegang dadanya.
"Tidak, aku tidak akan menikahimu. Itu hanya janji anak kecil, yang bahkan aku lupa pernah mengatakan hal bodoh seperti itu."
Langit marah, dia merasa dijebak. Padahal dia sendiri sudah lupa. Bahkan teman masa kecil saja Langit sama sekali tidak ingat.
"Sebaiknya kamu pulang dulu Ane, kehadiranmu dan pengakuanmu sangat mengejutkan. Saya tidak mau jika Istri saya yang baru keluar dari Rumah Sakit kembali terkena tekanan." Ucap Tuan Angkasa mengusir Ane.
"Oh... Baiklah kalau begitu, tapi minggu depan Nenek mengundang Langit ikut makan malam keluarga kami. Mungkin Nenek ingin membicarakan rencana pernikahan antara saya dan Langit. Om dan Tante juga datang ya, supaya kita semakin dekat. Bukan sebagai aku teman Langit, tapi sebagai aku calon menantu." Ucap Ane penuh percaya diri.
Setelah Ane pergi, suasana meja makan menjadi dingin dan tegang. Tidak ada yang berani bersuara, semua larut dalam pemikirannya sendiri.
"Hana... Ucapan Ane jangan diambil hati, karena tidak akan ada yang akan menikahkan Langit dengannya. Karena hanya kamu menantu kami. Tidak dengan perempuan-perempuan lain." Ucapan lembut Nyonya Senja menenangkan.
"Tapi, aku tidak ingin dicap sebagai orang ketiga diantara mereka. Apalagi..." Hana melirik arah Langit. "Bukankan sebuah janji adalah hutang? Dan hutang wajib untuk dibayar. Seperti saat saya ditagih hutang budi oleh Tuan Angkasa." Lanjutnya.
"Dari hutang budi menjadi cinta, dan kini cintaku harus kembali ku relakan demi hutang janji."
"Dan mungkin mulai hari ini, saya akan pulang ke Markas. Saya akan tinggal bersama Ayah, karena saya tidak ingin menjadi duri dalam hubungan yang sudah lebih dulu terjalin." Ucap Hana. Kemudian meninggalkan meja makan, dan mengemas seluruh barangnya di kamar.
Langit, pria itu terdiam terpaku. Menyesali kedatangan teman masa kecilnya.
Tidak butuh waktu lama lagi, Hana keluar kamar dengan kopernya. Dengan langkah tegas dan mantap, Hana berpamitan dengan semua orang.
"Mungkin, kita memang tidak ditakdirkan untuk menjadi pasangan Mas Langit. Tapi, aku ucapkan terima kasih. Karena sudah membantuku sejauh ini. Sambil menunggu masa iddahku selesai, sebaiknya jangan dulu menemui aku."
"Pergunakan waktu 3 bulan itu, untuk menyelesaikan urusan dengan Ane. Jika memang jodoh, maka kita akan diberikan jalan untuk bersatu. Jika tidak, kita harus ihklas. Mungkin seperti ini suratan takdir yang harus kita berdua jalani. Nyonya Senja... Tuan Angkasa aku pamit, terima kasih banyak bantuannya. Maaf aku tidak bisa membalasnya."
"Hutang budi ini terlalu mahal, tapi aku tidak akan lupa. Jika kalian lah yang membawaku keluar dari bayang masa lalu." Usai mengucapkan kata-kata perpisahan, Hana keluar rumah yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa minggu. Hana mengendarai mobilnya menuju Markas, tanpa sebelumnya memberi kabar ayahnya. Setetes air mata mengiringi kepergiannya.