Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Kedatangan Sangkara dan pak Tomi membuat kakek Saputra terkejut. Dia yang tengah sibuk mengurus berkas yang terbengkalai ulah kedua anaknya, malah membentak orang yang masuk ke dalam ruangannya. Namun, setelah melihat siapa yang datang, dia terkejut untuk sesaat lalu tersenyum lebar. Dia bangkit dan menyambut kedatangan mereka.
“Sangkara!!! Pak Tomi!!! Selamat datang!!!” seru kakek Herman. Dia seolah tidak percaya dengan kedatangan cucunya yang baru beberapa waktu lalu dia temui.
“Siang menjelang sore kakek. Apa kabar?” sapa Sangkara menyalami kakek Herman yang berada di depannya. Melihat kakeknya seperti ini, dia langsung mengingat sosok abahnya. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, sang kakek sangat mirip dengan abahnya.
“Sehat, Kara. Kakek sehat, dan semoga selalu tetap sehat agar bisa mengalihkan semuanya ini kepada kamu!” sahut kakek Herman memukul-mukul pundak Sangkara pelan.
Bibir Sangkara tersenyum lebar, “aku udah siap kok kek, kalau kakek mau mengalihkan apa yang seharusnya milik aku langsung ke aku sekarang atau besok ataupun lusa nanti. Memang aku belum sepenuhnya mengerti tentang perusahaan ini. Tapi aku akan mempelajarinya, dan rasanya tidak akan susah karena sebelumnya aku sudah pernah memimpin sebuah perusahaan walau tidak begitu lama.”
Dahi kakek Herman mengernyit, “oh ya? Perusahaan apa? Dan dimana?”
Sangkara tidak bisa menjawab, dia memilih untuk duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan itu. Dan di susul oleh kakek Herman dan pak Tomi.
“Kakek kayaknya meragukan kemampuan aku ya? Tapi tenang aja, walaupun aku kerja di luar negri tapi aku juga mengenyam pendidikan kok. Aku lulusan salah satu perguruan tinggi yang ada Barca!”
“Barca??”
“Autonomous University of Barcelona,” timpal Sangkara kembali. Dia lalu menunjukkan foto-fotonya kepada kakek Herman. Seketika saat itu juga sikap dan sifat Sangkara langsung berubah. Dia bercerita banyak hal kepada kakek Herman, layaknya dia ingin bercerita kepada abahnya. Dia menemukan sosok abahnya di dalam diri kakek Herman. Membuat dirinya nyaman dan ingin terus berada di sisi laki-laki tua itu.
Kakek Herman pun menanggapi Sangkara dengan bangganya. Bahkan air matanya mengalir saat Sangkara menceritakan semuanya kepada dirinya. Dia benar-benar merindukan cucunya dan terutama anaknya yang telah tiada.
Bukannya tidak tahu, Sangkara tahu jika kakeknya menangis. Dia berusaha kuat untuk tidak terpancing, namun pertahanannya runtuh. Untuk pertama kalinya dia menangis layaknya seorang anak yang kehilangan orangtuanya. Dalam tangisnya, dia seolah mengadu kepada sang kakek tentang bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah, ibu dan adek. Bagaimana dia merasakan kesepian dan juga kesedihan mendalam.
Tujuan Sangkara ke perusahaan milik keluarga abahnya berubah total. Dia yang hanya ingin menyapa dan memberikan suatu kesan pada Johan serta Sarah. Malah meluapkan semua yang dia tahan selama ini kepada kakeknya.
Pak Tomi yang melihat dua laki-laki beda generasi ikut menangis pula. Dia juga ikut merasakan kesedihan yang di rasakan oleh mereka.
“Kakek… Kakek harus tetap hidup! Kakek harus tetap sehat! Aku tidak mau kehilangan lagi! Aku janji akan menjaga dan melindungi kakek. Sudah cukup aku kehilangan abah, emak dan Rara. Jika kakek menghilang juga, aku bisa jadi gila!”
Kakek Herman menganggukkan kepalanya. Dia menarik tubuh cucunya kedalam pelukkan. Untuk sesaat mereka berdua meluapkan semuanya melalui pelukkan hangat itu.
“Eheeem, maaf saya harus ngapain ini ya? Saya mau memeluk, tapi tidak ada lawannya? Apakah saya harus meluk bantal sofa saja?” celetuk pak Tomi dengan nada menggoda.
Kakek dan cucu itu melepaskan pelukkannya. Mereka tertawa pelan sambil mengusap sisa air mata mereka yang ada di pipi.
“Maaf, pak Tomi. Maafkan kita. Kita terbawa suasana. Pak Tomi tahu sendiri kan?”
Kepala pak Tomi mengangguk-angguk, “santai, pak Herman. Saya sangat paham. Hanya saja Sangkara sangat berubah jika berada di dekat pak Herman ya?”
“Ah, masa iya? Perasaan, saya sama saja pak!” timpal Sangkara kembali pada mode biasanya.
Bibir kakek Herman tersenyum, “Sangkara dimata saya tidak pernah berubah, pak. Dia tetap cucu kecil saya yang imut dan tetap anak laki-laki kecil yang menggemaskan bagi Adi.”
“Kecil? Bukannya kita bertemu baru kemaren, kek?”
“Kemaren? Lalu yang di foto siapa?” Kakek Herman menunjukkan ponselnya kepada Sangkara. Dimana foto dirinya masa kecil di jadikan wallpaper ponsel kakeknya.
“Jadi, kita pernah ketemu sebelumnya ya kek?”
Kakek Herman mengangguk, “iya, Kara. Bagaimana kami bisa buat pengalihan kuasa kalau kamu tidak ada. Memang saat itu kamu belum bisa tanda tangan. Tapi, sidik jari kamu di butuhkan.”
Sangkara mengangguk-angguk, walau dirinya tidak terlalu paham. Dan pada akhirnya pak Tomi selaku kuasa hukum abahnya menjelaskan kepada Sangkara mengenai suara kuasa yang tengah dia pegang. Dia jelaskan secara terperinci dan sebisa mungkin tidak ada yang dia lewatkan.
Walau perbincangan singkat itu belum menemukan titik akhir, tapi sudah ada bayangan yang akan terjadi ke depannya. Dan itu membuat orang yang sejak menguping di depan pintu merasa tidak terima. Keberadaannya di perusahaan itu, bakal terancam. Kemungkinan terburuk akan di depak.
“Sialaaaan! Tidak bisa aku biarkan! Aku harus cari Sarah, dan membuat rencana kedepannya!” gumam Johan yang sejak tadi menguping. Mulai dari papanya berpelukkan dengan Sangkara hingga mereka membicarakan semua tentang pengalihan perusahaan dan lainnya.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Sangkara menghela napas panjang ketika tiba di rumah Ello. Ternyata tidak semudah itu untuk mengambil alih perusahaan itu dengan cepat. Harus butuh waktu dan proses yang panjang.
“Lo kenapa?” tanya Ello keluar dari dalam kamarnya.
“Capeeek juga, bang! Ternyata gak mudah yaaa?”
“Lah lo pikir mudah? Semuanya butuh proses Sangkara!”
Sangkara terkekeh pelan, “iya, sih! Oh ya, gue tadi temui buku di kamar om Adit! Tapi, belum gue lihat. Tapi buku itu memang abah suruh cari.”
“Mana bukunya?” seru Ello penasaran.
Sangkara mengeluarkan buku yang telah usang kepada Ello. Oleh Ello buku tersebut di buka perlahan. Pada lembar pertama buktu tersebut identitas Naya, emaknya Sangkara. Lembar berikutnya berisi catatan harian mengenai bagaimana dia jatuh cinta ke pada Adi. Dan pada pertengahan, tulisan pada buku tersebut berbeda. Bukan seperti tulisan pada lembar-lembar awal. Cara penulisan sangat berbeda, dan kata-katanya sangat sulit di pahami. Seolah berisi kode-kode yang harus di pecahkan.
“Maksudnya apa ini?” gumam Ello menatap Sangkara bingung.
“Gue juga gak tahu, bang! Tapi coba lo liat di baliknya?”
Ello membalikkan lembaran itu lagi, dahi semakin mengernyit bingung. Yang tertulis disana kombinasi huruf dan angka. Sangat sulit untuk di pahami.
“Eh, bang! Gue tahu kayaknya!” seru Sangkara bangkit dari tempat duduknya, berlari masuk ke dalam kamar. Dia berniat mengambil buku yang dulu pernah abahnya kasih sebelum dia berangkat ke luar negeri.
Semangat untuk authornya... 💪💪