Nurma Zakiyah adalah seorang siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ceria, namun hidupnya seketika dilanda tragedi. Sang ayah terbaring sekarat di rumah sakit, dan permintaan terakhirnya sungguh mengejutkan yakni Nurma harus menikah dengan pria yang sudah dipilihnya. Pria itu tak lain adalah Satria galih prakoso , guru matematikanya yang kharismatik, dewasa, dan terpandang.
Demi menenangkan hati ayahnya di ujung hidup, Nurma yang masih belia dan lugu, dengan berat hati menyetujui pernikahan paksa tersebut. Ia mengorbankan masa remajanya, impian kuliahnya, dan kebebasannya demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah.
Di sekolah, mereka harus berpura-pura menjadi guru dan murid biasa, menyembunyikan status pernikahan mereka dari teman-teman dan rekan sejawat.
Bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Nurma dan Satria?
Mampukah mereka membangun ikatan batin dari sebuah pernikahan yang didasari keterpaksaan, di tengah perbedaan dunia, harapan, dan usia, bisakah benih-benih cinta tumbuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan pahit untuk Nurma
Saat Nurma tersadar, bau amis garam, debu, dan karat menyeruak ke hidungnya. Kepalanya berdenyut hebat. Ia mengerang pelan, mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, namun terhenti oleh tali nilon tebal yang mengikat pergelangan tangan dan pergelangan kakinya ke sandaran kursi kayu yang dingin. Ia terduduk di tengah ruangan besar, gelap, dan kosong—sebuah gudang tua di pelabuhan lama.
Cahaya lampu neon yang berkedip-kedip di kejauhan menyorot sesosok pria berbadan besar yang berdiri tegak di hadapannya. Pria itu mengenakan setelan jas mahal yang kontras dengan lingkungan kumuh tersebut, memegang sebatang cerutu. Dialah Tuan Douglas, sosok yang selama ini telah diam-diam mengintainya.
Nurma mulai menangis, rasa takut mencekiknya. "Tolong... tolong lepaskan saya! Siapa Anda? Apa yang Anda inginkan dari saya?" pintanya dengan suara parau, air mata mulai membasahi pipinya.
Douglas hanya menatapnya dengan senyum sinis. Ia menghisap cerutunya dalam-dalam, lalu mengembuskan asap tebal yang membuat Nurma terbatuk. Tawa besar dan bergemuruh kemudian meledak dari dadanya, bergema di seluruh gudang.
"Lepaskan kamu? Tentu tidak, calon istriku," ucap Douglas, suaranya berat dan kasar. Ia maju selangkah, mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya yang dipenuhi janggut tipis berada beberapa inci dari wajah Nurma.
"Dengar baik-baik, Nyonya Nurma. Mulai saat ini, kamu adalah milikku. Calon istriku yang keempat."
Wajah Nurma pucat pasi. "Istri? Tidak! Saya sudah menikah! Saya tidak mau!" Ia berontak, membuat kursi itu bergoyang.
Douglas menampar sandaran kursi dengan keras, menghentikan gerakan Nurma. Ekspresi di matanya berubah dingin dan mengancam.
"Itu kesalahan yang harus kamu perbaiki, manis. Dan ini..." Ia menjentikkan jarinya. Salah satu anak buahnya yang bertubuh besar di belakang segera menyalakan layar tablet. "...adalah peringatan mu."
Layar itu menampilkan foto yang sangat jelas: Ibu Nurma, sedang berjalan santai di sekitar area toko milik Bude Minah, sama sekali tidak menyadari bahwa ia sedang difoto. Di bawah foto itu, tertera sebuah pesan singkat: Satu kali kamu coba lari, satu kali kamu coba menghubungi suamimu itu, ibumu akan mati di tempat. Paham?
Nurma tersentak, air matanya tumpah deras, kali ini bukan karena takut pada dirinya sendiri, melainkan pada keselamatan ibunya.
"Ibu... Jangan sentuh Ibu saya! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Anda melakukan ini? Kenapa Anda menginginkan saya?!"
Douglas kembali ke kursi di belakang meja besi dan duduk dengan santai, menatap Nurma seperti melihat barang berharga.
"Sederhana saja. Ayahmu, mendiang Prasetyo, adalah seorang pria ambisius dengan utang yang sangat besar. Satu tahun lalu, ia meminjam dariku sejumlah uang yang sangat besar untuk usahanya yang gagal, tepatnya lima puluh miliar rupiah."
Nurma menggelengkan kepala, tidak percaya.
"Ayah tidak mungkin! Beliau bukan orang seperti itu!"
"Oh, dia adalah orang seperti itu," balas Douglas sambil tersenyum keji. "Usahanya bangkrut, dan dia tidak sanggup membayar. Dia memohon dan berlutut, menawarkan apa pun. Dan yang ia tawarkan sebagai jaminan pelunasan utang adalah... dirimu."
Ia kemudian melemparkan map cokelat tua ke pangkuan Nurma. Nurma kesulitan membukanya dengan tangan terikat, tetapi Douglas menggeram, "Lihat!" memaksa Nurma menggunakan giginya untuk membuka map itu. Di dalamnya terdapat sebuah surat perjanjian yang ditandatangani oleh ayahnya, jelas dan sah, dengan namanya, Nurma Putri Prasetyo, tertulis sebagai 'Jaminan Pelunasan'.
"Masih belum percaya? Dengarkan ini," kata Douglas, memutar rekaman suara dari ponselnya.
Suara mendiang Prasetyo terdengar lirih, dipenuhi keputusasaan.
"Tuan Douglas, tolong, berikan saya waktu. Atau ambil saja semua aset saya. Kecuali... kecuali jika Anda mau menerima Nurma. Dia adalah yang paling berharga yang saya miliki. Saya jamin dia akan menjadi istri yang baik."
Mendengar suara ayahnya sendiri mengakui perbuatan keji itu, Nurma meraung. Tangisnya berubah menjadi histeria. Ia membenturkan kepalanya ke belakang kursi, ingin lari dari kenyataan itu.
"Ayah... kenapa..." Nurma terisak, tubuhnya bergetar hebat.
Douglas mengambil kesempatan itu. Ia berdiri lagi dan mencengkeram dagu Nurma, memaksa mata gadis itu untuk bertatapan dengannya.
"Ayahmu sudah mati. Dan utangnya kini jatuh padamu. Kamu adalah asetku, Nurma. Jika ada satu saja orang bodoh yang mencoba membantumu, termasuk guru matematika profesional mu itu, Satria Galih Prakoso..." Ia menyebut nama Satria dengan nada mengejek. "...mereka akan ku bunuh tanpa sisa."
"Aku hanya ingin kamu menjadi istriku. Kamu akan hidup dalam kemewahan, Nurma. Semua yang kamu butuhkan akan terpenuhi. Jangan melawan, dan ibumu akan aman.
Sedangkan Suamimu itu... Ia akan mati perlahan-lahan. Pilihlah," Douglas mengancam dengan mata menyala.
Mengingat senyum ibunya, dan membayangkan Satria terluka, rasa takut yang tak tertahankan menjalari seluruh tubuh Nurma. Ia tidak punya pilihan.
"Baik," bisik Nurma, suaranya pecah dan tanpa daya. "Saya akan ikut dengan Anda. Tapi... jangan sentuh Ibu. Dan... dan jangan sakiti dia," katanya, merujuk pada Satria. "Tolong, biarkan dia hidup."
Douglas tersenyum puas, senyum kemenangan seorang pemburu. Ia melepaskan dagu Nurma. "Pilihan yang sangat bijak, Nyonya Douglas.
.
.
Raungan mesin motor sport Satria membelah jalanan kota yang padat. Kecepatan luar biasa yang ia gunakan bukan hanya didorong oleh adrenalin, tetapi juga oleh disiplin militer yang tertanam kuat dalam dirinya. Di balik seragam guru matematika yang rapi, berdiri Kapten Satria Galih Prakoso, seorang perwira intelijen tempur dari kesatuan elit TNI Angkatan Darat, identitas yang ia sembunyikan rapat-rapat, bahkan dari Nurma sendiri yang hanya tahu bahwa dirinya cuma seorang perwira biasa, demi janji perlindungan.
Sambil melaju kencang, Satria menarik earpiece kecil berwarna kulit dari saku helmnya dan memasangnya. Ini bukan komunikasi biasa; ini adalah jalur ke ‘Bayangan’, tim khusus yang ia pimpin, yang hanya merespons perintahnya.
"Alpha-One calling Bayangan-Tiga," ujarnya singkat, suaranya tenang, mengabaikan angin yang menerpa.
Hampir seketika, suara yang tegas menjawab.
"Bayangan-Tiga merespons, Komandan. Laporkan status."
"Lokasi target dikonfirmasi: Gudang Tua, Pelabuhan Lama. Koordinat sudah dikirimkan oleh Bayangan-Dua," lapor Satria. "Target prioritas: Nurma. Konfirmasi intelijen: Ada empat sampai enam target fisik di lokasi, bersenjata ringan, dipimpin oleh Douglas."
Di ujung telepon, Letnan Sakti, tangan kanan Satria di kesatuan itu, segera mencerna informasi. "Siap, Komandan. Tim 'Silent' sudah bergerak dari titik terdekat. Estimasi tiba di lokasi dalam tujuh menit. Apa perintah pelibatan?"
"Tidak ada negosiasi. Prioritas adalah menyelamatkan Nurma tanpa cedera. Gunakan manuver penyerangan senyap, Sakti" perintah Satria, nadanya kian dingin.
"Aku tidak ingin ada laporan resmi. Ini operasi pribadi. Setelah target diamankan, gudang itu harus dibersihkan—semua bukti dan personel Douglas dilumpuhkan dan diinterogasi."
"Dimengerti, Komandan. Silent akan melakukan pengepungan perimeter dan mengidentifikasi titik masuk aman. Kami akan menunggu perintah pelibatan Anda," Sakti memastikan.
Satria tahu betul apa yang dipertaruhkan. Douglas adalah seorang mafia kelas kakap yang memiliki jaringan internasional. Fakta bahwa Douglas berani menyebut dirinya calon suami Nurma menunjukkan ia telah mengabaikan semua batas.
Bersambung...