Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan yang mengubah
Brum! Brum!
Suara motor sport Xavier menggema memasuki halaman Noctura Academy. Seketika, sekelompok siswi yang memang menunggunya langsung histeris. Walau nilai akademiknya tak pernah menonjol, wajah dingin nan rupawan Xavier selalu berhasil membuat banyak hati tergoda. Apalagi statusnya sebagai pewaris keluarga terpandang—cukup alasan untuk menjadikannya pusat perhatian.
Namun kali ini, pandangannya yang munculnya sukses membuat mereka terdiam sejenak, sebelum riuh kembali dengan kejutan. Xavier, yang dikenal paling anti dekat dengan lawan jenis, justru terlihat membonceng seorang gadis.
"Eh, itu... bukan Xavier?" ucap seorang siswi sambil menunjuk motor sport hitam yang baru saja berhenti di depan gerbang.
"Ya ampun! Dia bawa cewek di boncengannya!" seru yang lain, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Serius? Selama ini Xavier nggak pernah peduli sama cewek mana pun, apalagi sambil boncengan gini!" tambah siswi lain, suaranya hampir melengking.
"Siapa sih cewek itu? Kok bisa-bisanya duduk manis di belakang Xavier?" bisik seseorang dengan nada penuh iri, matanya menelusuri sosok Calista dari atas sampai bawah.
Xavier menghentikan motornya di daerah parkiran sekolah. Calista ikut turun, lalu mulai berusaha membuka helmnya. Seperti sebelumnya, ia kembali kerepotan.
"Aku bisa kok," ucapnya cepat, menahan tangan Xavier yang ingin membantu. Ia mencoba lagi dengan penuh usaha, tapi tetap saja tidak berhasil.
Xavier mendengus malas, lalu tanpa basa-basi langsung membuka helm Calista. "Dasar anak kecil," ujarnya ketus.
Bibir Calista langsung manyun. "Jangan panggil aku anak kecil! Aku udah gede!" semprot Calista ketus, lalu segera berbalik.
Xavier hanya mendengus pelan melihat sikap ngambek gadis itu. Ia memasukkan kunci motor ke saku celana, melangkah santai mengikuti dari belakang.
Sementara itu, beberapa pasang mata sudah memperhatikan mereka sejak tadi. Bisik-bisik mulai terdengar di area parkiran, semakin lama semakin ramai.
"Itu... bukannya Calista? Murid baru itu, kan?"
"Ya ampun! Seriusan?!"
"Xavier mau bonceng cewek sepolos itu?!"
"Eh, tapi... kok vibenya malah kayak kakak sama adik ya?"
"Bukan! Lihat deh, lebih mirip bocah lagi berantem!"
Calista yang berjalan di depan bisa merasakan tatapan menusuk dari para siswi, membuat langkahnya kaku. Ia menunduk, berusaha tak peduli, tapi jantungnya berdebar tak karuan.
Xavier, di sisi lain, tetap ekspresi datar seakan tidak peduli sama sekali. Justru sikap cueknya itu membuat suasana makin panas di antara fans fanatiknya. Salah satu dari mereka bahkan berbisik keras. "Nggak salah lagi, pasti si cewek polos itu nyari perhatian!"
Calista berhenti sejenak, hendak menoleh, tapi urung. Ia menelan ludah, lalu mempercepat langkahnya menuju kelas.
Sementara, Xavier hanya menatap dingin ke arah kerumunan siswi yang sibuk berbisik. Tatapan matanya cukup membuat mereka langsung terdiam dan saling berpandangan, tidak berani lagi bersuara keras-keras.
Di dalam kelas, Calista hanya terdiam. Suara-suara fans fanatik Xavier terus terngiang di kepalanya, membuat hatinya gelisah. Ia berusaha menepis pikiran itu, tapi bayangan tatapan tajam para siswi tadi tak mau hilang.
Pelan-pelan ia melirik ke arah Xavier. Cowok yang duduk santai, wajahnya datar, seolah tak terjadi apa-apa.
"Lo nggak usah ambil pusing omongan tadi," ucap Xavier dingin tanpa menoleh sedikit pun.
Calista menghela napas, lalu menunduk. "Tapi fans kamu salah sangka sama aku, Vier. Mereka natap aku kayak... kayak aku udah ngerebut sesuatu dari mereka." Nada suaranya kesal, tapi di ujung kalimat terdengar gentar. Ia menggigit bibirnya, suaranya semakin pelan. "Aku takut... kalau mereka sampai ngebully aku."
Tangannya bergetar di atas meja, seolah berusaha menahan ingatan pahit tentang masa lalunya.
Xavier mendadak menghentikan gamenya. Ia menoleh, menatap Calista yang jelas-jelas ketakutan. Mata gadis itu berkilat, hampir berkaca-kaca.
"Kalau ada yang berani ganggu lo..." suara Xavier dalam, tenang, tapi tegas, "bilang sama gue!"
Calista spontan menoleh. Tatapan matanya basah, penuh ragu, tapi ada juga secercah harapan. "Serius?" tanyanya dengan suara bergetar.
Xavier menatap balik, datar tapi pasti. "Hmm. Jadi lo tenang aja." ia menepuk bahu Calista singkat, lalu kembali memainkan gamenya seakan hal itu bukan masalah besar baginya.
Calista hanya terdiam, tapi hatinya yang tadi diliputi ketakutan kini perlahan merasa sedikit lebih aman.
Bel tanda pelajaran akhirnya berbunyi, Ibu Mawar masuk kelas dengan senyum khasnya. "Selamat pagi, anak-anak." sapanya hangat.
"Pagi, Bu," jawab murid-murid serempak.
"Hari ini Ibu ada info penting untuk kalian," lanjut Ibu Mawar sambil mengeluarkan selembar kertas dan map. Ia membacanya sebentar, lalu kembali menatap murid-murid. "Ujian tinggal beberapa bulan lagi. Kalian sudah tahu peraturan sekolah. Kalau mau ikut ujian, harus dapat nilai ulangan terbaik lebih dulu. Paham?"
"Paham, Bu."
Ibu Mawar lalu menghela napas. "Sejauh ini, nilai Xavier yang paling rendah di kelas ini." Tatapan jatuh ke arah Xavier yang hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi. "Besok ada ulangan penentu. Kalau kamu gagal, kamu nggak bisa ikut ujian. Jadi, Ibu harap kamu belajar bersungguh-sungguh."
Xavier tetap diam, sama sekali tidak bergerak oleh ucapan gurunya.
Ibu Mawar melanjutkan materi pelajaran, sementara Calista melirik Xavier dengan resah. Ia mendekat, lalu berbisik pelan, "Vier..."
Xavier menoleh sekilas, menaikkan alisnya. "Hmm?"
"Aku mau bantu kamu belajar."
"Gak usah," potong Xavier cepat.
Calista tidak menyerah. "Xavier, aku tahu kamu bisa. Kamu cuma butuh dorongan. Kamu nggak bodoh kayak yang orang-orang bilang. Kamu punya bakat." Tatapannya lurus, serius, membuat Xavier sedikit terdiam. "Ayo tunjukkan kalau kamu bisa. Biar orang-orang lihat siapa kamu sebenarnya."
Xavier terdiam. Kata-kata itu menancap lebih dalam daripada yang ia kira. Selama ini, semua orang hanya memandangnya sebelah mata—anak bermasalah, pemalas, bodoh. Tapi gadis ini... justru menantangnya untuk membuktikan sebaliknya.
Jantung Xavier berdegup kencang, tapi wajahnya tetap dingin. Ia menutupi kegugupan itu dengan seringai tipis.
"Berani banget lo ngomong gitu ke gue," ujarnya pelan, setengah mengejek tapi juga berat.
Calista menatapnya lebih dalam, tidak gentar. "Aku serius, Vier. Kalau kamu mau, aku akan bantu. Kita belajar bareng. Aku nggak akan ninggalin kamu."
Ada hening beberapa detik. Xavier menatap Calista lama, mencoba mencari kebohongan di balik tatapannya. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak menemukannya.
"Please... ayo tunjukin kalau kamu bisa. Tunjukin ke orang-orang yang selalu merendahin kamu, kalau mereka salah." Suara Calista melembut, tapi sarat keyakinan.
Bayangan Ayahnya yang selalu merendahkannya tiba-tiba muncul di kepala Xavier. Rahangnya mengeras. Lalu dengan suara singkat, ia menjawab, "Oke."
Jawaban itu membuat senyum Calista mengembang puas. "Aku tunggu kamu di perpustakaan kota sepulang sekolah."