Fatharani Hasya Athalia, atau biasa disapa Hasya oleh teman-temannya itu harus terjebak dengan seorang pria di sebuah lift Mall yang tiba-tiba mati.
Hasya yang terlalu panik, mencari perlindungan dan dengan beraninya dia memeluk pria tersebut.
Namun, tanpa diketahuinya, ternyata pria tersebut adalah seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Hasya sendiri bekerja subagai Office Girl di perusahaan tersebut.
Pada suatu hari, Hasya tidak sengaja melihat nenek tua yang dijambret oleh pemotor saat dirinya akan pergi bekerja. Karena dari perangai dan sifatnya itu, nenek tua tersebut menyukai Hasya sampai meminta Hasya untuk selalu datang ke rumahnya saat weekend tiba.
Dari sanalah, nenek tua tersebut ingin menjodohkan cucu laki-lakinya dengan Hasya.
Akankah Hasya menerima pinangan itu? Sedangkan, cucu dari nenek tua tersebut sedang menjalin kasih bahkan sebentar lagi mereka akan bertunangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Walaupun gak boleh, aku tetap memaksa. Dan kita akan menikah dalam satu bulan lagi." Hasya semakin membulatkan matanya. Apa yang didengarnya tidak salah?
"Ini, mungkin ini tidak seberapa." Bara mengeluarkan kotak kecil berbentuk hati dari saku celananya. "Tapi, ini sebagai tanda keseriusan aku untuk menjalin hubungan baik sama kamu." Hasya bergeming, dia terpaku menatap wajah tampan Bara. Bahkan ia tidak menyadari saat Bara sudah memakaikan sebuah cincin ke jari manisnya.
"Aku akan jujur, kalau saat pertama kali bertemu denganmu, hatiku langsung bergetar. Itu sangat berbeda saat bertemu dengan cewek-cewek lain termasuk mantanku. Kamu spesial dihatiku."
Uhuk! Hasya terbatuk mendengar ucapan Bara. Bara segera mengambil jus yang ada di depannya, kemudian ia meminta Hasya untuk meminumnya.
"Eh, gak usah, Tuan. Sa-saya..." Hasya menjadi gugup dan sulit untuk berpikir.
"Ini untuk kamu." Bara memang sengaja memesan dua jus dan dua makanan.
"Emm..." Hasya terlihat ragu.
"Ayo! Tanganku pegal."
"Saya gak meminta!" Hasya langsung mengambil jus itu dan meminumnya sampai setengahnya.
"Siap, ya. Saya akan menikahi kamu dalam waktu satu bulan ini. Saya dan nenek yang akan membereskan keluarga kamu. Kamu jangan mengkhawatirkan hal itu."
Sebenarnya Bara, lebih tepatnya Arsen sudah mencaritahu tentang kehidupan Hasya. Tidak ada yang tidak shock saat Arsen membawa berita itu kepada Bara dan Belinda. Mereka memutuskan untuk mempercepat pernikahan Bara dan Hasya, setidaknya Hasya aman berada di keluarga Nugraha.
Bukan lolos, tapi setelah dia menginap di rumah Belinda dulu, Haikal berhasil menemui Hasya. Hasya bisa lolos dengan menyerahkan tabungannya kepada Haikal. Hasya bukan hanya tidak ingin menikah dengan orang yang dijodohkan oleh kedua orang tuanya, tapi dia gak mau karena orang itu sudah beristri dua dan Hasya akan dijadikan istri ketiganya.
Dengan dalih menyelamatkan Hasya, Haikal meminta Hasya membayarnya supaya dia tidak memberitahu ayahnya di mana dia tinggal. Karena selama ini yang tahu tempat kos Hasya hanya Haikal. Kenapa begitu? Ya, karena orang tuanya sudah tidak mau peduli lagi kepada Hasya. Sejak Hasya keluar dari rumah pun, mereka seperti membuang kotoran yang tidak perlu diingat lagi.
"Aku gak pernah bermimpi untuk ini." gumam Hasya. "Apalagi dia sempurna banget di mata perempuan." Hasya bergumam.
"Sesempurnanya aku di mata siapa pun, aku tetaplah manusia biasa yang banyak kekurangannya. Bahkan, aku masih harus belajar banyak hal. Begitupun di dalam hubungan, tidak ada lelaki atau perempuan yang sempurna. Yang menyempurnakan hanyalah saat kita menerima dan melengkapi pasangan kita. Jangan berharap lebih kepada manusia. Karena, jika itu kamu lakukan, maka kamu akan kecewa saat apa yang kamu lihat itu tidak sesuai dengan harapan kamu."
"Termasuk sama orang tua kita?"
Deg!
Bara tersentak. Apa sekarang waktunya dia mengulik, ah... Lebih tepatnya dia beryanya beberapa hal saja, jika Hasya terbuka, itu lebih baik. Tapi jika Hasya sudah merasa tidak nyaman lebih baik sudahi saja.
"Emm... Untuk rasa kecewa boleh saja, itu hal wajar. Tapi, tidak mengarah ke durhaka, ya. Kita tetap patuh kepada orang tua..."
"Lalu bagaimana dengan orang tua... Em... Itu." Hasya langsung terdiam, dia sepertinya tersadar apa yang akan ditanyakan kepada Bara. Dia tidak ingin Bara mengetahuinya.
Melihat itu, Bara memandang lemah, dia sudah berharap untuk Hasya bercerita. Tapi kembali lagi, seperti apa yang sudah diucapkannya tadi kepada Hasya, dia tidak boleh berharap lebih.
"Mungkin, gini aja. Kita serahkan semua permasalahan kita kepada Tuhan dan kita juga cukup bergantung pada Tuhan bukan pada manusia." ucap Bara.
Hasya mengangguk, kemudian ia menunduk sebentar dan mengusap wajahnya. Setelah itu, ia kembali menatap Bara. "Aku kembali bekerja, ya. Soalnya sebentar lagi tutup."
"Makan ini dulu." Bara menunjuk makanan yang sudah dipesannya. "Sini aku suapi." Bara mengambil garpu-nya, lalu ia menyuapi Hasya.
"Aku kaya anak kecil."
"Kamu memang masih bocil."
"Enak saja!" Hasya tidak terima dibilang masih bocil karena dirinya merasa sudah dewasa.
"Di umur kamu sekarang ini, masih termasuk bocil." Bara menyuapi Hasya sampai habis.
"Aku antar pulang, ya?"
"Jangan!" Hasya tidak ingin teman satu kos-nya heboh. Tapi sebenarnya jam sepuluh rata-rata sudah masuk ke kamar masing-masing.
"Aku hanya ingin memastikan calon istriku pulang dalam keadaan selamat." Bara tidak ingin dibantah.
Blush
Wajah Hasya memerah, Bara terkekeh melihatnya.
"Kenapa begini? Apa aku juga menyukai Tuan Bara? Ah... Gak mungkin, Hasya! Kamu jangan terpancing, takutnya dia hanya PHP. Lagian istimewa kamu itu apa, sih?" Hasya mengomel sendiri di dalam hatinya.
"Suapin aku dong, biar kita cepat pulang." Ucap Bara.
Hasya membulatkan matanya sambil menatap Bara, "Ayo. Sebentar lagi tutup." Bara menyerahkan sendoknya kepada Hasya, kemudian ia mengangguk dan tersenyum saat melihat Hasya ragu.
Hasya mulai menyuapi Bara dengan tangan bergetar, matanya tidak lepas dari wajah Bara yang bersinar.
Karena gereget melihat tangan Hasya yang gemetar, Bara memegang tangan Hasya yang sedang memegang sendok untuk menyuapinya. "Ini lebih benar." ucapnya.
"Kan, bisa sendiri, kenapa harus pakai tangan aku juga?"
"Rasanya beda."
"Gk usah gombal, Tuan."
"Memang beda, ada manis-manisnya." Bara terkekeh.
"Tuan kira, air mineral?"
"Lebih dari itu? Karena..."
"Stop-stop! Gak akan ada habisnya." Hasya menyudahi perdebatannya, karena waktu juga sudah menunjukan pukul dua puluh satu lewat tiga puluh. Hasya harus segera membereskan restorannya.
"Oke! Aku tunggu di luar." Hasya tidak menjawab lagi. Dia langsung menunggalkan Bara.
***
"Nanti kalau sudah menikah tidak usah bekerja di sini lagi." Ucap Bara. Keduanya sudah berada di lift untuk turun. Dan keberulan di dalam lif itu hanya ada mereka berdua. Hasya berdiri bersebrangan debgan Bara.
"Jangan melarang aku bekerja, dong. Aku sudah terbiasa bekerja."
"Kamu hanya diperbolehkan ikut ke kantor dan diam di ruanganku seperti biasa. Bukan menjadi OG, tapi menjadi Nyonya Bara.
Hasya terbelalak, ia membulatkan matanya. Dan tiba-tiba lift itu kembali mati.
"Aaaa! Gak mau! Tolong!" Hasya langsung menutup telinganya dengan kedua tangannya.
"Jangan takut, sini!" Bara kembali memeluk Hasya dan keduanya merasakan hal yang sama seperti pertama kali mereka bertemu.
"Apa ini gak salah?" Hasya teringat kembali ke kejadian dulu.
"Jadi benar dia orangnya? Berarti gue gak salah memutuskan untuk menikahinya. Karena, gue juga harus bertanggung jawab karena hanya dia cewek yang gue sentuh." ucap Bara di dalam hatinya. Ia langsung membalas memeluk Hasya yang sudah menggigil.
"Kamu ada trauma?" Bara mencoba bertanya.
"Dulu, aku sering dikurung di gudang." jawab Hasya. Bibirnya kembali bergetar hebat, begitu pun dengan tubuhnya, dia mengertakan pelukannya.
"Jangan takut lagi, ada saya." Bara langsung meng-klik tombol lift ke bagian basement, karena mobilnya ada di sana.
"Aku takut! Jangan dipukul, rambut aku sakit. Tolong!" Hasya mulai meracau.
"Kamu aman bersama aku. Tenang, ya. Sebentar lagi sampai." Bara mengusap punggung Hasya. Getaran tubuhnya semakin hebat, mungkin karena lamanya dia berada di tempat gelap.
Ting
Pintu lift terbuka, tapi keadaan basement tetap gelap karena sepertinya mati lampunya belum teratasi.
"Mallnya kekurangan alat bantu listrik kayaknya." dumel Bara. Dia langsung menggendong Hasya dan menyalakan mobilnya. Beruntung mobilnya terparkir tidk jauh dari sana.
"Jangan takut lagi, ini sudah terang." Bara mendudukan Hasya di samping kemudi, kemudian ia menyalakan lampu mobilnya. Setelah itu ia pun masuk dan duduk di balik kemudi.
"Minum dulu." Bara memberikan air mineral yang sudah ia buka tutupnya kepada Hasya.
Hasya hanya menerimanya tanpa kata. Tangannya masi memeluk dirinya dengan dagu yang ditaruh di lututnya.
"Ayo minum dulu, kita pulang sekarang." ucap Bara lagi.
Hasya pun tersadar dan dia langsung menurunkan kakinya yang tadi dia lipat. "Bagaimana? Sudah baikan?" tanya Bara.
Hasya mengangguk. "Terimakasih." jawabnya.
"Gak harus berterimakasih."
Melihat Hasya sudah baik-baik saja, Bara pun mulai melajukan mobilnya meninggalkan mall yang gelap gulita dengan suara riuh di dalamnya.
Sesampainya di kos-an Hasya. Bara menunggu Hasya sampai benar-benar masuk dan pintu gerbang kos-nya terlihat aman. Setelah itu, barulah Bara pulang ke apartemennya.
***
"Bos! Hasya gak masuk."
Bersambung