Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#2
Happy Reading...
.
.
.
Malam itu, hujan turun lagi.
Selalu hujan, seolah langit tak pernah bosan mengingatkan Raka pada malam ketika Nayla pergi. Setiap tetes air yang jatuh di atap rumahnya seolah tidak mau kalah dengan air mata yang keluar dari kedua matanya.
Di ruang tamu yang temaram, Raka duduk sendirian. Buku harian Nayla masih tergenggam erat di tangannya. Sedikit lusuh, dengan beberapa halaman yang kini basah oleh air mata.
Setelah membaca setiap kalimat di dalamnya, sesuatu di dalam dirinya patah. ia semakin merasa bersalah.
Selama ini ia mengira ia mengenal Nayla sepenuhnya, perempuan lembut yang selalu tersenyum. Perempuan yang selalu menatapnya dengan tatapan penuh kasih meski tubuhnya terus melemah. Ia pikir, ia tahu segalanya. Tentang rasa sakit Nayla.. Tentang masa lalunya.. Tentang kesepiannya.
Tapi ternyata… ia tidak tahu apa-apa.
“Nayla…” suaranya serak, hampir tak terdengar di antara suara hujan. “Kamu kenapa menyembunyikan semuanya dariku? Semua luka, semua ketakutan itu…”
Raka memejamkan kedua matanya. Di kepalanya, muncul bayangan saat Nayla masih hidup.. Wajah yang selalu tersenyum saat menyambut lepulangannya. Wajah yang sering menatap langit senja sambil tersenyum kecil.
“Kamu tahu, mas… kadang aku ingin terlahir di tempat lain. Di keluarga yang tidak menganggap kelemahan itu adalah sebuah kesalahan.”
Waktu itu Raka hanya tertawa kecil, mengira jika istrinya itu hanya asal berbicara. Tapi ternyata kata-kata itu bukan keluhan biasa. Itu adalah serpihan dari luka yang ia simpan dalam diam. Dan sekarang setelah kepergian Nayla, Raka baru mengerti maksud dari ucapan itu.
“Aku tidak punya siapa-siapa selain kamu.”
Waktu itu, kalimat itu terdengar manis di telinga Raka. Tapi kini, kalimat itu seperti pisau yang menembus dada ke dalam dadanya. Ia menatap buku harian itu lagi. Tulisan Nayla di halaman terakhir masih teringat jelas di dalam ingatannya.
“Aku tidak ingin mereka tahu aku masih hidup. Mereka sudah menghapusku dari dunia mereka, jadi biarlah aku pergi tanpa jejak.”
Raka menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia menggenggam rambutnya kuat- kuat untuk menyalurkan segala
“Bodoh… aku bodoh sekali... Aku bodoh..." Ucapnya berulang- ulang. Suaranya bergetar, bukan karena marah pada Nayla, tapi pada dirinya sendiri. Karena bagaimana bisa ia hidup serumah dengan seseorang yang begitu ia cintai… tapi ia tak pernah benar-benar mengenalnya?
Raka memukul meja, keras, sampai Jingga yang sedang tidur di kamar terbangun dan menangis.
Ia langsung berdiri, menahan napasnya. “Ssst… jangan menangis, Nak. Maafkan Papa.” Ucapnya sambil mengangkat bayi itu lalu mengusap punggungnya. menimangnya lembut, sementara air matanya masih menetes di kedua pipinya.
Raka memeluk Jingga sedikit erat. “Papa janji, tidak akan biarkan siapapun menyakiti kamu seperti mereka menyakiti Ibu.”
Tangannya gemetar tapi suaranya tegas, dingin dan penuh dengan kemarahan yang membuat rasa ingin balas dendam yang semakin besar di hatinya.
“Dunia sudah terlalu kejam untuk ibumu. Sekarang biar Papa yang ganti menanganinya.”
Ia menatap keluar jendela, ke arah kegelapan yang menyelimuti malam.
.
.
.
Bayangan masa lalu berputar di kepalanya, menciptakan campuran antara cinta, kehilangan dan kemarahan. Setiap kali ia menutup mata, wajah pucar Nayla selalu muncul, membuatnya semakin penasaran dengan nama yang terus terngiang sejak ia membacanya di buku harian itu.
Naira.
Raka menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Wajahnya pucat, matanya merah, seperti seseorang yang kehilangan arah. “Aku bahkan tak tahu seperti apa rupa Naira sekarang…” gumamnya. “Tapi aku tahu, dia hidup bahagia. Dia yang selalu kuat. Dia yang selalu dibanggakan.”
Ia mengepalkan tangan, kuku-kukunya menekan kulit sampai perih.
“Sedangkan Naylaku? Dia harus hidup dalam bayangan. Naylaku dibuang. Naylaku yang tersakiti, lalu mati sendirian. Tidak adil. Ini tidak adil sama sekali.”
Ia berjalan ke meja, mengambil foto pernikahan mereka, menatap wajah Nayla dengan tatapan penuh luka. “Kau terlalu baik untuk dunia ini, Nayla,” suaranya bergetar. “Terlalu baik untuk orang-orang yang bahkan tidak pantas menyebutmu keluarga.”
Air mata menetes lagi dan kali ini jatuh tepat di atas kaca bingkai foto pernikahan mereka. “Kalau saja aku tahu lebih cepat… kalau saja aku bisa melindungimu lebih lama…”
Tapi penyesalan tidak pernah bisa memutar waktu. Yang tersisa hanyalah amarah yang menyesakkan dada. Amarah pada dunia, pada takdir dan pada dirinya sendiri.
Raka memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu berbisik lirih. “Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan nanti… tapi aku tahu satu hal. Aku tidak akan biarkan mereka melupakanmu begitu saja. Aku akan membalas mereka semua..”
Ia memandang Jingga yang kini kembali terlelap di pelukannya.
“Anak kita akan tumbuh tanpa kebencian, Nayla. Tapi biarkan aku yang menanggung dendamnya.”
Sekali lagi petir menyambar, menerangi wajahnya yang kini mulai kehilangan cahaya kelembutan yang dulu selalu ada di sana.
Yang tersisa hanyalah keteguhan untuk membalaskan dendam dan mata yang menyimpan badai. Raka menutup lampu ruang tamu, berjalan menuju kamar sambil memeluk Jingga erat.
Namun di dalam dadanya, ada sesuatu yang tumbuh — sebuah amarah yang pelan-pelan berubah menjadi tekad.
Tekad untuk mencari kebenaran.
Untuk mencari Naira. Dan ia berharap malam ini adalah malam terakhir Raka menangis karena kehilangan.
Setelah malam ini, ia tidak ingin lagi hidup dalam kedukaan. Ia mulai berubah menjadi seseorang yang bahkan Nayla pun tak akan kenal. Seseorang yang akan menuntut dunia untuk membayar lunas setiap air mata yang pernah jatuh dari mata istrinya.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak yaaa...