ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Kelvin, seorang pria dengan paket lengkap yang orang-orang sering banggakan—tampan, atletis, pintar, ramah, dan punya senyuman yang entah kenapa selalu terlihat seperti ada efek lens flare. Dia versi laki-lakinya Aluna Sena, singkatnya: orang yang seharusnya kuhindari.
Tapi tidak. Entah bagaimana, aku sekarang malah duduk di depannya. Di kantin. Berdua.
Dan aku bahkan tidak paham bagaimana aku bisa terjebak dalam situasi seperti ini.
Di meja kami, suara gemerisik kantin, suara kursi digeser, mangkuk yang dibentur, serta tawa-tawa liar para siswa terdengar seperti dunia lain. Tapi di depanku hanya ada Kelvin yang menatapku dengan senyuman andalannya—yang biasanya dipakai untuk menghancurkan hati perempuan secara damai.
“Apa yang kau inginkan dariku?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Tidak ada. Aku hanya ingin makan siang bersamamu,” katanya dengan senyum yang… ck, senyum standar Kelvin. Senyum yang bisa bikin cewek-cewek pingsan. Senyum yang membuatku kepingin—kalau bisa—menonjok kepalanya.
Aku mengerutkan kening.
Serius, apa dia ini bodoh atau pura-pura bodoh?
“Tidak usah bertele-tele. Langsung saja ke intinya.”
Kelvin menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap makanan. Ia meletakkan sendoknya, menatapku dengan ekspresi serius namun… entah kenapa tetap seperti cahaya halo di belakang kepalanya.
“Kalau begitu…” ia menarik napas.
“Mari berteman.”
…
Aku terdiam.
Tentu saja aku terdiam.
Teman? Dia? Dan aku?
Apa dia mabuk? Atau mungkin kepalanya kebentur mistar gawang tadi pagi? Kenapa wajahnya masih senyum bahagia begitu?
Apa aku perlu kabur? Atau kutonjok lalu kabur?
Tidak. Kalau aku nekat begitu aku pasti kena skor. Jejak pahlawanku hilang sebelum sempat dimulai.
Aku menghela nafas panjang, mencoba menahan kesal.
“Tidak.”
“Eh? Ke-kenapa?” Kelvin melongo seperti anak kucing yang disiram air.
“Tidak ada alasan khusus,” jawabku sambil berdiri. “Aku hanya tidak ingin berteman dengan siapa pun.”
Aku pergi meninggalkan Kelvin yang masih membeku seperti patung batu. Di lorong, aku berjalan sambil mengusap wajah.
Dia menyerah begitu saja? Semudah itu?
Oh, tentu saja. Dia cuma ingin menjadikanku bagian dari koleksi teman-temannya yang ribuan itu. Seakan-akan dengan begitu dia bisa bilang ke semua orang: “Hei, jangan ganggu Arya, dia temanku!” dan terlihat seperti pahlawan.
Terserah. Yang jelas, akhir-akhir ini aku malah berhubungan dengan tiga orang paling populer di sekolah. Dan semuanya berawal dari ide paling bodoh, yaitu menembak Aluna Sena.
Aku menatap langit-langit lorong, langkahku melambat tanpa sadar.
“Hah… semoga tidak terjadi hal sial lagi hari ini.”
Tentu saja aku salah.
Tentu saja.
Semesta tidak pernah berpihak padaku.
Beberapa Jam Kemudian
Jam terakhir. Pelajaran fisika.
Ruangan sudah terasa seperti zona perang sejak lima menit sebelum bel berbunyi.
Bu Rahma berdiri di depan kelas sambil membawa setumpuk kertas. Ekspresinya… oh, aku mengenal ekspresi itu. Ekspresi khas guru yang akan menjatuhkan “bom tugas” dengan kalimat menenangkan yang tidak menenangkan sama sekali.
“Baiklah,” katanya sambil membenarkan kacamatanya, “itu adalah kelompok kalian untuk projek akhir.”
Seluruh kelas langsung menegang.
Aku bahkan bisa melihat seseorang di depan menelan ludah dengan jelas.
“Kalian punya waktu tiga bulan. Projek ini akan menjadi nilai UAS kalian.”
Bu Rahma menutup buku absennya, merapikan kacamatanya, lalu menambahkan:
“Silakan kalian baca daftar kelompoknya. Tidak ada penggantian pasangan. Tidak ada permintaan pindah kelompok. Kalau kalian keberatan… ya, disimpan saja dalam hati.”
Dia tersenyum tipis—senyum yang dingin seperti AC ruang guru.
“Kalau begitu kelas hari ini saya tutup. Sampai jumpa minggu depan. Selamat mengerjakan projeknya.”
Dia membawa tasnya, berjalan keluar kelas…
dan pintu tertutup, klik.
Dan seketika—
Kelas berubah menjadi kuburan.
Setiap orang mengeluarkan reaksi masing-masing.
Kelvin tampak bingung, seperti baru saja diberi soal fisika kelas kuliah.
Anak-anak laki-laki memandangku dengan tatapan yang bikin aku merasa seperti maling ayam yang tertangkap basah.
Para siswi perempuan menatap Luna dengan ekspresi setengah iba, setengah penasaran.
Adelia… bocah itu tersenyum lebar ke arahku. Senyum yang mengatakan “selamat menikmati hidup barumu, Arya.”
Aku menahan diri untuk tidak melempar pulpen ke arahnya.
Dan Luna?
Gadis itu hanya memasukkan bukunya ke dalam tas dengan tenang, seolah pengumuman barusan hanyalah jadwal piket mencuci papan tulis.
Aku menunduk, memelototi meja seolah bisa menghapus kenyataan dengan tatapan intens.
Ini bukan sial lagi, ini kutukan.
Aku memijat pelipis, mencoba menenangkan diri.
Tidak mungkin ini bertambah parah lagi—
Tidak. Hari ini sudah penuh kejadian buruk. Tidak mungkin lagi—
“Tsk…”
Aku mendongak.
Luna berdiri di samping meja, menatapku dari balik rambut panjangnya yang sedikit menutupi wajah.
“Apa yang kau lakukan?” katanya datar. “Cepat dan ikuti aku ke perpus.”
“A-apa?”
“Aku tidak ingin nilai UAS-ku turun,” tambahnya tanpa emosi. Setelah itu dia langsung berbalik dan berjalan keluar kelas.
Aku membeku satu detik.
Lalu langsung berdiri.
“Ba-baik!”
Saat aku keluar mengejarnya, suara-suara mulai terdengar dari dalam kelas:
“Anjir, Arya satu kelompok sama Luna?”
“Hah!? Nggak mungkin!”
“Aku aja kalau bisa mau tukeran…”
“Kasihan Lunanya sih…”
“Eh tapi kasihan juga Aryanya, sumpah.”
Aku berpura-pura tuli.
Langkah Luna cepat sekali. Seolah aku ini beban yang ingin ia selesaikan dalam satu nafas.
Dan aku, dengan pasrah yang hanya bisa dimiliki seorang korban keadaan, mengekor di belakangnya seperti NPC yang dipaksa ikut quest paksa.
Pada titik ini… mengerjakan projek dengan Luna mungkin lebih menakutkan daripada dikejar kutukan tempo hari.