Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aku cinta,tapi terluka
Aku melangkah pelan menuju ruang keluarga, berusaha menyembunyikan wajahku yang masih sedikit basah oleh air mata.
Namun saat aku melihat mereka Mama, Papa, dan Bella entah mengapa dadaku terasa sedikit ringan.Ada tawa di sana, ada kehangatan yang sudah lama tidak kurasakan.
“Ghea, sini deh!” panggil Mama sambil tersenyum lebar.Aku mendekat, dan tanpa sempat bertanya, Bella langsung berseru riang.
“Kak, Papa keterima! Papa jadi anggota DPR!”ucap Bella dengan senyum manis dan polosnya .
Aku tertegun sejenak, lalu spontan tersenyum.
“Serius, Pa?!” tanyaku setengah tak percaya.
Papa Yuda, lelaki tegas dan sederhana yang selalu jadi panutanku, hanya mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca,air matanya itu adalah air mata bahagia.
“Iya, Nak. Akhirnya perjuangan Papa gak sia-sia.”
Mama menggenggam tangan Papa erat-erat.
“Selamat ya, Pa. Semua kerja keras Papa terbayar.”
Aku ikut duduk bersama mereka, mendengarkan cerita tentang bagaimana nama Papa akhirnya diumumkan hari ini.
Beliau,adalah lulusan UGM jurusan Hukum, memang sudah lama mengabdikan diri untuk memperjuangkan suara masyarakat kecil.
Dan kini, setelah bertahun-tahun berjuang, ia akhirnya berhasil mendapatkan posisi yang layak untuk memperjuangkan keadilan yang ia impikan.
Suasana ruang keluarga terasa hangat.
Tawa mereka, canda Bella, bahkan secangkir teh hangat di atas meja,semuanya seperti menghapus sisa gelap di dalam dadaku.
“Tapi Papa harus ingat,” ucap Mama pelan tapi jelas.
“harus jadi wakil rakyat yang jujur, dan anti korupsi. Jangan sampai jabatan bikin Papa lupa diri.”lanjut mama dengan tegas.
Papa tersenyum kecil, menatap Mama dengan penuh kasih.
" Tenang aja, Ma” jawabnya sambil menggenggam tangan Mama.
“Papa jadi wakil rakyat untuk melayani rakyat, bukan untuk jadi perampok rakyat.”
Ucapan itu membuat kami semua tertawa kecil, tapi juga terasa hangat di hati.
Bella yang sejak tadi mendengarkan ikut berkomentar polos.
“Berarti Papa bakal sering di TV dong? Nanti Bella bisa bilang, itu Papaku!”
Kami semua tertawa lagi.
Malam itu, ruang keluarga terasa hidup, penuh tawa dan kehangatan yang menenangkan.
Aku menatap mereka satu per satu, menyadari betapa berharganya momen sederhana seperti ini.
Setidaknya malam ini aku tidak sehancur kemarin.Mungkin aku masih mengingat Reza , suaranya, pesannya, bahkan luka yang ia tinggalkan.Tapi tidak sepedih kemarin, tidak sesesak dulu.
Entah kenapa, hatiku terasa sedikit lebih tenang.Mungkin karena tawa Mama, atau senyum Papa yang penuh kebanggaan.
Atau mungkin karena aku mulai sadar, dunia ini tidak berhenti hanya karena seseorang pergi.
“Gak apa-apa kalau masih ingat dia. Gak apa-apa kalau masih sedikit sakit.
Yang penting, malam ini aku belajar bertahan. Dan mungkin, itu sudah cukup.”gumam batinku.
Aku pun kembali ke kamar.
Langit di luar sudah gelap sempurna, hanya lampu tidur kecil yang menerangi ruangku.
Entah kenapa, setiap kali aku mencoba memejamkan mata, bayangan Reza kembali memenuhi kepalaku.
Senyumnya, suaranya, bahkan cara ia mengetik pesannya semuanya masih begitu jelas.
Aku menarik napas panjang, mencoba menepis semua itu.
Tapi rasa rindu memang aneh;
semakin ingin diusir, semakin kuat ia datang tanpa diundang.
Akhirnya aku menyerah, mengambil ponselku yang tergeletak di meja.
Layar menyala, dan seketika aku terpaku
puluhan pesan masuk dari Reza.
Spam chat.
Semua dengan isi yang berbeda-beda, tapi nadanya sama:
mendesak, memanggil, memaksa.
Aku membaca sekilas, lalu menutup ponselku tanpa membalas apa pun.
“Udah cukup, Za…” bisikku pelan.
Malam ini aku memilih diam.
Bukan karena aku tidak peduli,
tapi aku sudah lelah untuk berdebat.
Aku mematikan lampu, menarik selimut, dan menatap langit-langit kamar.
Rasanya sepi, tapi juga tenang.
Dan sialnya…
aku terbangun.
Kepalaku berat, pandanganku buram.
Beberapa detik aku hanya diam, mencoba mengenali tempat ini.
Tapi semuanya terasa asing.
Langit-langit kamar itu tinggi, berwarna putih bersih dengan lampu gantung kecil berkilau di tengahnya.
Seprai yang membungkus tubuhku lembut dan wangi,terlalu mewah untuk disebut rumah.
Aku menatap sekeliling, dan jantungku mulai berdegup kencang.
“Di mana aku?” bisikku pelan, suaraku bergetar.
Tibak - tibak sebuah langkah kaki terdengar pelan tapi pasti,menghantam kesadaranku satu per satu.
Sosok itu muncul dari balik cahaya jendela
tinggi, kulitnya sawo matang, dengan rambut bergaya rapi ala aktor Korea.Aku mengenali wajah itu. Dia adalah Reza.
Tanganku gemetar tanpa kusadari.
Dadaku berdebar tak karuan, antara rindu, takut, dan penyesalan yang bertabrakan di satu waktu.
“Re… Reza?” suaraku bergetar.
Dia tersenyum samar, tapi tatapannya berbeda ,ada sesuatu di balik sorot matanya, sesuatu yang membuatku ingin lari.
“Kamu mau menghindar dariku?”
“Kenapa, hah?” suaranya lembut tapi menusuk.
“Katanya kamu mau selalu di sisiku? Katanya mau layanin aku terus?”
"KENAPA KAMU PILIH KASIH? MANTAN KAMU AJA KAMU LAYANIN"
Aku terdiam.
Udara di kamar itu terasa berat, seakan menekan dadaku dari segala arah.
Aku ingin menjelaskan semuanya… tapi lidahku kelu, seolah tak mau bekerja sama.
“Reza, aku—”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, suaranya meninggi lagi.
“Jawab aku, hah! Aku berharga gak sih buat kamu?”
Teriakannya menggema di antara dinding kamar hotel itu.
Matanya memancarkan amarah dan kecewa, tapi di balik itu ada luka yang samar seperti seseorang yang tidak tahu bagaimana cara dicintai dengan benar.
Aku menunduk, air mataku jatuh satu per satu ke lantai.Bibirku bergetar.
"PERCUMA JUGA GUA SAYANG SAMA LO,KALAU LO AJA GINI KE GUA,LO GAK ADIL TAU SAMA COWOK LAIN LO KASIH TAPI KOK KEK GUA ENGGAK?"
"LO CINTA GAK SIH SAMA GUA?"
Aku beranjak menatapnya dengan tajam.
"AKU CINTA SAMA KAMU ZA"
"AKU SAYANG SAMA KAMU"
Aku memejamkan mata, mencoba menahan gemuruh amarah dan sedih yang menumpuk di dadaku.Kata-kata Reza seperti pisau tumpul yang menggores pelan tapi dalam.
“Kalau lo cinta sama gue, mana buktinya?”
“Lo aja ingkar janji terus!”
Suara itu terdengar keras, menuntut, seperti seseorang yang haus pembenaran atas rasa sakitnya sendiri.
Aku menghela napas panjang.
“Za, aku lelah…”
Dia menatapku tajam, rahangnya mengeras.
“Lelah apa?” katanya ketus.
“Main sama mantan lo aja bisa!”
Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.
Tangisku pecah di hadapannya, di antara kata-kata yang tak sanggup lagi kutahan di dada.
“Za, aku cinta sama kamu…” suaraku bergetar, lirih tapi tulus.
“Tolong jangan gini sama aku, kamu ngertiin aku gak sih, Za?”
Reza menatapku tatapan yang dulu membuatku jatuh cinta.
“Kamu yang gak ngertiin aku, tau!” katanya tajam.
Aku terdiam.
Dadaku sesak, seperti ada ribuan jarum yang menusuk pelan di setiap detaknya.
Kenapa semua percakapan dengan Reza selalu berakhir dengan saling menyalahkan?
Kenapa cinta yang dulu sederhana kini berubah jadi luka yang tak berujung?