Kisah CEO dingin dan galak, memiliki sekretaris yang sedikit barbar, berani dan ceplas-ceplos. Mereka sering terlibat perdebatan. Tapi sama-sama pernah dikecewakan oleh pasangan masing-masing di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
"Om tadi telpon aku, katanya tante masuk rumah sakit." Elena berkata tenang.
Nadia hanya menatap beberapa saat, lalu mengangguk. Sementara Rian terus menatap Elena penuh kekaguman. Di matanya Elena kini jauh lebih cantik dan dewasa.
Memang benar ya apa kata pepatah, kalau rumput tetangga akan selalu terlihat lebih hijau! Nadia sadar dengan kelakuan suaminya. Tapi dia tak perduli lagi. Toh, selepas melahirkan nanti dia akan minta pisah pada laki-laki itu. Apalagi melihat Elena kini datang dengan seorang lelaki yang jauh lebih tampan, jauh lebih keren dan tentunya jauh lebih tajir!
Nadia menggeser posisi tubuhnya, "Masuklah!" katanya, pelan.
Elena menoleh ke belakang, dimana Alvaro berdiri. "Ayo, mas!" dia meraih tangan Alvaro dan membawanya masuk, tanpa sedikitpun menoleh pada Rian.
Tiba di dalam, udara di ruangan terasa sesak. Bau obat-obatan menyatu dengan aroma cemas yang memenuhi ruangan. Mira, terbaring lemah, wajahnya pucat pasi. Di punggung tangannya tertancap jarum infus. Nadia duduk di sudut ruangan, matanya memerah, sesekali melirik ke arah Elena dan Alvaro yang berdiri di dekat ranjang. Alvaro dengan tangan masih menggenggam tangan Elena tampak tenang dan penuh perhatian. Tatapannya lembut, penuh kasih sayang yang tak bisa disembunyikan.
Di sisi lain, Rian merasa dadanya sesak.
Ia berdiri di dekat pintu, tak berani mendekat. Melihat Elena bersama Alvaro, hatinya terasa panas. Alvaro memang jauh lebih tampan dan berwibawa darinya. Dia menyadari itu dan semua kesalahannya.
Imannya yang tipis, telah menghancurkan kepercayaan Elena. Ia menyesali semuanya.
Cinta yang dulu ia rasa begitu besar untuk Elena, kini berubah menjadi beban berat yang menghancurkan jiwanya.
"El," suara lirih tantenya menyapa Elena. Bibir bergetar Mira terlihat tersenyum senang.
"Terimakasih sudah datang." lanjutnya. Seperti bibirnya, suara itupun terdengar bergetar.
"Bagaimana keadaan tante?" tanya Elena, suaranya lembut menenangkan.
Mira kembali menjawab dengan suara pelan, "Dokter bilang, tante cuma kelelahan. Butuh istirahat total." Ia melirik sekilas ke arah Alvaro, namun tatapannya jadi semakin lekat mana kala pria itu asing baginya. Matanya menyipit dengan kening mengerut. Mira mengira mungkin ini pacar baru Elena. "Syukurlah kalau iya," bisik hatinya.
"Ini siapa El?"
"Ini mas Alvaro, atasan aku di kantor tan."
"Sekaligus pacar Lena!" jawab Alvaro mantap, menambahkan ucapan Elena.
Nadia yang sedari tadi mengamati mereka, tersentak mendengar ucapan Alvaro. Ternyata secepat itu Elena bisa move on dari Rian.
"Kenapa jadi begini? Kukira Elena akan menderita dan terpuruk saat Rian kurebut. Tapi malah sebaliknya, dia dapat pacar yang lebih segala-galanya. Aku semakin menderita tapi Elena malah lebih bahagia. Ini tidak adil Tuhan! Kenapa anak sialan itu selalu beruntung?" Nadia mengumpat. Hatinya betul-betul geram menerima kenyataan ini. Tapi andai saja Rian bisa memberi perhatian dan cinta seperti yang diharapkannya, mungkin dia tak akan merasa seterpuruk ini.
"Syukurlah nak, kalau kamu sudah mendapatkan pengganti Rian. Tante doakan kamu akan selalu bahagia." Ujar Mira tulus.
"Amin," jawab Alvaro spontan sambil tersenyum dan merangkul bahu Elena dengan lembut. Tak sampai di situ, dengan mesra dia mengecup 2 kali puncak kepala Elena, membuat dada gadis itu berdebar kencang.
"Please, tolong, jangan terlalu berlebihan!" Elena menjerit dalam hati. Tapi dia tak bisa berontak.
Sementara Rian yang masih terpaku di tempatnya, menatap nanar pemandangan itu. dalam hatinya sangat membara. Dia ingin mendekati Elena dan menepiskan tangan Alvaro yang merangkul bahu wanita yang masih dicintainya itu. lalu dia akan kembali merayu Elena. Ia yakin, di hati Elena masih ada cinta untuknya. 2 tahun menjalin hubungan bukan waktu yang sebentar. Pasti sedikitnya Elena masih memiliki rasa untuknya, hanya saja tertutup olah perasaan marahnya.
Rian tak bisa berkutik. Diapun hanya bisa memendam kesal dan amarah pada Alvaro. Apalagi saat Elena terlihat begitu nyaman dan tersenyum bahagia dalam pelukan lelaki itu.
Semua itu tak luput dari penglihatan Nadia. Tak bisa dilukiskan lagi bagaimana campur aduknya perasaan wanita itu. Meski dia ingin tidak peduli, tapi tetap saja jika hal itu terlihat jelas di depan matanya, hatinya sangat sakit, apalagi sekarang posisinya. Dia sedang dalam keadaan hamil anak dari pria itu.
"El, tante minta maaf ya untuk semua yang sudah terjadi di hidup kamu. Karena Na-"
"Sudahlah tante, tak perlu dibahas lagi! Sekarang yang penting tante fokus saja sama kesehatan tante. Jangan pikirkan hal lain, ya." Elena meraih tangan Mira, lalu menyelipkan amplop ke telapak tangannya. Mira sempat kaget dan menatap wajah keponakannya. Tapi melihat Elena tersenyum sambil mengangguk, Mira pun tersenyum.
"Terimakasih," bisiknya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku juga bawa buah, nanti tante makan ya. Sekarang aku pulang dulu, tapi tante harus cepat sembuh!"
"Sekali lagi terimakasih ya El. Jaga diri kamu baik-baik. Nak Alvaro, tolong jaga Elena." Suara Mira terdengar parau.
"Tentu, Elena akan aman dan baik-baik saja. Tante tidak usah khawatir."
Setelah itu keduanya pergi. Elena tak bisa berbasa-basi apalagi beramah-tamah pada Rian dan Nadia. Dia menggandeng tangan Alvaro, keluar dari ruang rawat inap Mira tanpa berpamitan pada mereka.
***
"Jadi Rian itu mantan pacar kamu?"
Tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulut Alvaro saat mereka berjalan bersisian di sepanjang koridor.
"Lebih tepatnya dia mantan calon suami."
Alvaro terkejut, tapi dia berusaha menyembunyikannya.
"Kenapa kalian putus?" Tanyanya. Tapi tentu saja dalam hatinya dia sudah bisa menebak.
"Dia menghamili kakak sepupuku, teh Nadia."
Gamblang tanpa ditutup-tutupi. Toh tak ada gunanya dirahasiakan. Memang sudah jadi rahasia umum.
Kali ini Alvaro memberikan tatapan kagum yang tak berusaha ditutupi.
"Tapi tadi kamu kelihatannya tenang banget, seperti tak ada beban atau masalah sama meteka? Bahkan kelihatannya seperti tidak saling kenal."
Elena tersenyum kecut. Jika boleh jujur, dia juga masih merasakan sakit. Sakit karena dikhianati 2 orang terdekat. Tapi bukan sakit karena masih mencintai Rian. Semua perasaannya pada laki-laki itu sudah hilang berganti rasa jijik.
"Memangnya saya salah kalau menganggap mereka tidak ada? Gak penting juga. Oh iya, kenapa tadi ngaku-ngaku jadi pacar saya ke tante?" Elena mendelik tajam.
"Saya kan nolong kamu."
"Nolong saya dari apa?"
"Dari si Rian yang matanya jelalatan terus sama kamu."
Elena mendengus. Diapun terlihat sangat sebal mengingat itu.
Alvaro paham itu. Tapi dia juga salut dengan ketegasan Elena. Padahal kelihatannya Rian memang masih ingin mendekatinya.
"Ternyata dibalik sikap konyolnya, dia adalah korban pengkhianatan cinta." Batin lelaki itu. Entah kenapa perasaan aneh pun semakin kuat merasuki hatinya.
Kisah mereka hampir mirip. Maka dari itu Alvaro tak mau bertanya lagi. Hingga keduanya sampai di mobil Alvaro. Lalu Sama-sama masuk ke jok belakang. Setelah itu mobilpun melaju meninggalkan area rumah sakit.
***
"Arghhh Calvin~"
"Sandra~"
Keduanya mendesah bersamaan setelah mendapatkan kepuasan masing-masing.
Cassandra terkulai lemas, tapi wajahnya menyiratkan kepuasan. Begitu juga dengan Calvin. Dia masih menindih tubuh wanita itu dan penyatuan merekapun belum terlepas.
Calvin masih mengeluarkan sisa-sisa terakhir cairannya. Hingga burungnya menciut dan terlepas dengan sendirinya.
"Lebih hebat mana, gue atau si bandot buncit itu?" Tanya Calvin sambil berguling dari tubuh Cassandra dan berbaring di sisinya.
"Sama saja." Dusta Cassandra. Dia tak ingin jujur karena tidak mau Calvin merasa dibutuhkan nantinya.
"Halah, buktinya lo menjerit keenakan berkali-kali. Kalau sama si buncit itu gak mungkin kan, lo kayak tadi?"
Cassandra diam. Dia masih merasakan sisa-sisa percintaan itu. Membuat Calvin tertawa ngakak. Tiba-tiba lelaki itu kembali menaiki tubuh Cassandra dan bersiap ronde selanjutnya. Tapi terdengar handphone Cassandra bunyi. Wanita itu langsung mendorong tubuh Calvin. Dia menarik selimut hingga ke dadanya dan meraih ponsel yang berkedip-kedip di atas nakas.
Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, dia lega karena yang menelepon bukan Anton tapi Dinda, adiknya.
Cassandra pun langsung menggeser icon telepon warna hijau. Baru saja dia menempelkan telepon genggam ke telinganya, terdengar suara tangisan adiknya.
"Dinda, ada apa?"
Tapi jawaban Dinda hanya jerit tangisan pilu.
Degh, hati Cassandra Tiba-tiba jadi tidak enak. Ada apa ini?