Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Malam hari di dalam kamar berwarna pastel, Mia terbaring di atas ranjangnya, tubuhnya berselimut separuh tubuh dengan selimut tipis.
Matanya menatap kosong ke langit-langit, tetapi pikirannya berlarian ke arah yang menyakitkan. Setiap tarikan napasnya terdengar pelan dan berat, seakan ada beban besar yang terus menekan dadanya.
'Aku… aku masih belum bisa melupakan video itu... Kenapa rasanya semakin hari justru semakin menghancurkan hatiku?'
Suara hatinya bergema.
Tak tahan dengan kesunyian yang menyesakkan, Mia perlahan bangkit. Dia duduk di depan meja kecil yang ada di sudut kamar, tangan mungilnya kemudian menyalakan laptop yang berada di sana. Wajahnya tampak lesu, namun sorot matanya menyiratkan tekad yang berselimuti oleh luka.
"Aku harus tahu… siapa pelakunya…" Gumamnya terdengar pelan.
Tangannya mulai menari di atas keyboard, lalu membuka forum internet yang tengah ramai diperbincangkan saat ini. Dan tidak butuh waktu lama sampai matanya tertumbuk pada sebuah unggahan viral yang membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak.
Judul artikel itu:
Cerita Cinta SMA Christopher Lee & Lusy Ahn yang Ternoda oleh Seorang Pengganggu Bernama Mia Lee
Isinya:
"Christopher dan Lusy telah menjalin hubungan sejak SMA. Mereka dikenal sebagai pasangan serasi yang membuat banyak orang jadi iri. Namun, semua itu telah berubah ketika Mia datang dan mencoba merebut Christopher dari Lusy. Dia menuduh Lusy mencuri musiknya dalam acara kompetisi di kampus, padahal tidak ada bukti yang jelas. Namun anehnya, Lusy justru memaafkannya begitu saja. Dan kisah ini kembali berulang sekarang, dan semua orang tahu siapa penyebabnya."
.
Setiap kata dalam artikel itu menghantam jiwanya. Tangan Mia mulai bergetar, matanya membelalak tak percaya. Nafasnya memburu, bahkan dadanya terasa sesak oleh amarah dan kepedihan yang tak terucap.
"Tidak… tidak mungkin… Ini semua fitnah..."
Suara itu lolos dari bibirnya dengan pelan.
Dengan kasar, Mia menutup laptopnya hingga berbunyi klik. Dia berdiri dengan lemas, tubuhnya tampak kehilangan daya, tetapi kedua tangannya mengepal penuh emosi.
"Siapa… siapa yang menulis artikel ini?! Tidak mungkin orang luar tahu sebanyak ini kecuali…"
Mia terdiam.
Pandangannya menatap lurus ke depan. Beberapa detik kemudian wajahnya memucat, matanya melebar seperti baru menyadari sesuatu yang mengerikan.
"Christopher… Lusy… Kalian yang membuat ini semua, bukan? Kenapa kalian begitu tega padaku?"
Langkahnya pelan menuju cermin. Di sana, ia melihat bayangan dirinya sendiri. Gadis dengan wajah lelah, mata sembab, dan luka yang tidal pernah sembuh. Sosok yang dulu begitu ceria kini hanya tinggal puing-puing.
"Kalian sudah menghancurkan masa laluku… Kehidupan sekolahku… Dan sekarang… kalian ingin menghancurkan hidupku yang sekarang juga?"
Air matanya jatuh begitu saja, tanpa suara. Mia menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang ingin pecah. Tangannya gemetar saat ia menyentuh bayangan dirinya sendiri di cermin.
"Aku tidak kuat lagi… Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini…"
Mia kembali duduk di kursinya. Dia memeluk lututnya sendiri, seakan ingin menyembunyikan diri dari dunia yang terlalu kejam padanya.
"Aku… aku hanya ingin dipahami… Apa itu terlalu sulit?"
-🐣-
Langkah-langkah pelan menuruni anak tangga terdengar di pagi yang masih muram. Mia muncul dengan wajah pucat dan mata yang tampak bengkak. Dia mencoba tersenyum, menutup luka hati di balik ekspresi datarnya, tapi raut itu terlalu transparan bagi seseorang yang telah lama mengenalnya.
Bibi Im, yang tengah merapikan meja makan, langsung menghampiri begitu melihat keadaan Mia.
“Astaga… Nona Mia…” ucapnya pelan dengan nada cemas. “Mata Anda… Apa semalam Anda menangis?”
Mia tersenyum lemah, sebuah senyum yang terasa lebih seperti bentuk pertahanan diri daripada ketulusan.
“Aku hanya… kurang tidur, Bibi,” jawabnya perlahan. “Tidak apa-apa.”
Bibi Im terdiam. Ia hanya memandang gadis itu dengan tatapan lembut penuh rasa kekhawatiran, dia menahan diri agar tidak menyebut nama yang menjadi sumber luka itu, yaitu pastilah Christopher. Dia tahu, satu kata itu saja sudah cukup untuk merobohkan pertahanan Mia yang rapuh pagi ini.
“Ayo duduk dulu, Nona. Saya sudah siapkan sarapan khusus untuk Nona Mia,” ucapnya lembut, mengalihkan perhatian Mia. “Semua makanan ini baik untuk lambungmu.”
Mia menunduk, matanya menelusuri sajian di atas meja, ada semangkuk bubur hangat, semangkuk sup bening, dan beberapa lauk sederhana. Uapnya mengepul lembut, menghangatkan udara pagi yang masih dingin.
“Banyak sekali…” gumam Mia pelan. “Bibi memasaknya sendiri?”
Bibi Im tersenyum. “Iya. Ini pertama kalinya saya mencoba membuat menu seperti ini. Semalam saya belajar dari internet. Saya hanya ingin anda cepat pulih, Nona.”
Mia menarik kursi dan duduk perlahan. Lalu dia menyendokkan bubur itu ke dalam mulutnya kemudian mengunyah pelan. Sesuatu dalam ekspresinya berubah. Wajahnya yang tadinya tampak lelah sedikit melunak, dan tergantikan oleh senyum tipis yang menghiasi bibirnya.
“Ini enak, Bibi…” ucapnya tulus. “Terima kasih banyak.”
Wajah Bibi Im langsung bersinar mendengar pujian itu, seperti seorang ibu yang mendengar anaknya memuji masakan pertamanya.
“Benarkah? Syukurlah… Saya takut rasanya aneh. Anda tahu kan, saya biasanya cuma memasak makanan cepat saji,” katanya sembari terkekeh kecil.
Mia mengangguk pelan. “Tapi ini… benar-benar terasa seperti masakan rumah.”
Keheningan sejenak menyelimuti mereka. Lalu, Bibi Im duduk di kursi seberang Mia.
“Makanan ini bagus untuk lambung, dan juga bisa menghangatkan tubuh. Setelah anda keluar dari rumah sakit, Nona perlu asupan yang ringan, tapi cukup bernutrisi.” suaranya lembut, seperti bisikan yang ingin menyentuh hati.
Mia menatap bubur di dalam mangkuknya, lalu berkata lirih, “Aku akan menghabiskannya, Bibi. Aku janji.”
Senyum Bibi Im kembali merekah, namun pandangannya masih lekat pada wajah Mia dengan penuh harap.
Tanpa mereka sadari, seseorang berdiri membeku di anak tangga atas. Christopher. Dia tidak turun, hanya memandangi punggung Mia dari kejauhan. Sorot matanya dingin, tetapi ada kerutan samar di dahinya yang mengisyaratkan sesuatu yang jauh lebih rumit.
"Dia menangis semalaman?" batinnya bergema. Tanpa sadar tangannya menggenggam erat pegangan tangga.
Di ruang makan, Bibi Im menyeka sudut mata Mia yang kembali memerah dengan selembar tisu.
“Anda tidak sendiri di sini, Nona Mia,” ucapnya lirih namun penuh ketegasan. “Jika Nona butuh apa pun… cukup panggil saya, atau Paman Jack. Kami akan selalu ada untukmu.”
Mia menunduk, menggigit bibirnya yang mulai bergetar.
“Terima kasih, Bibi…” bisiknya dengan suara tercekat.
Kemudian terdengar langkah kaki berat menuruni tangga, disertai hentakan yang terdengar sengaja dibuat keras. Suara itu menggema di seluruh rumah, memecah percakapan hangat yang tadi sempat tercipta di meja makan.
Mia menghentikan gerakan sendoknya. Kepalanya menoleh pelan ke arah sumber suara. Senyum tipis yang sebelumnya merekah di bibirnya perlahan menghilang. Matanya kembali meredup, dan cahaya yang tadi sempat muncul, kembali padam begitu saja.
Ia menunduk dalam diam, berusaha fokus pada bubur di hadapannya. Tapi tangan yang memegang sendok mulai gemetar pelan, ia tidak kuasa menahan hawa dingin yang mendadak menyelimuti ruangan.
Christopher muncul dari arah tangga dengan wajah datar. Ia berjalan mendekat, lalu menarik kursi di sisi meja dengan gerakan kasar. Suara gesekannya menimbulkan bunyi mencolok.
Diaa duduk tanpa sepatah kata pun, lalu kemudian menatap meja makan yang penuh dengan makanan.
“Banyak sekali makanannya,” ucapnya pelan, namun nadanya mengandung ejekan halus. “Sepertinya ada yang sedang diperlakukan sangat spesial pagi ini.”
Mia tetap menunduk. Matanya tidak berani mengangkat, tidak sanggup membalas tatapan pria yang kini duduk hanya beberapa jengkal darinya.
Christopher menyipitkan matanya, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dengan santai, namun matanya menatapnya tajam.
“Kenapa matamu merah?” tanyanya dingin. “Kurang tidur, atau terlalu banyak akting?”
Mia menahan napasnya. Tangannya yang berada di atas pahanya mengepal diam-diam, berusaha menahan getaran amarah dan luka yang bersatu dalam diam.
Namun Christopher tidak berhenti.
“Jika kau terus menundukkan kepala seperti itu, kepalamu bisa-bisa masuk ke dalam mangkuk bubur itu,” lanjutnya dengan nada sarkastik. “Aku sudah terlalu sering melihatmu bersikap seperti ini… memelas, diam, dan berpura-pura lemah.”
Napas Mia tercekat. Ia ingin bicara, tetapi kata-katanya terhenti di tenggorokan, tenggelam bersama rasa takut yang mengendap selama ini.
“Apa kau pikir semua orang sebodoh itu untuk tertipu dengan air mata palsumu?” Christopher mendesis sinis, lalu mengambil sumpit di atas meja dan melemparkannya dengan kasar. Sumpit itu jatuh dan membentur piring dengan suara dentang nyaring.
Suara itu memekakkan telinga Mia, lebih dari bentakan apa pun.
“Aku muak melihatmu bersikap seolah-olah kau adalah korban!” bentaknya, lalu bangkit dari kursi. Kursi itu bergeser mundur dengan keras, bahkan hampir terjungkal.
Tanpa menoleh lagi, Christopher berbalik dan berjalan pergi. Pintu ruang makan dibuka dengan kasar, lalu dibanting hingga tertutup dengan suara yang mengguncangkan jantung siapapun.
Keheningan kembali meliputi ruangan yang menyakitkan...
Mia masih duduk di tempatnya, dia tidak sanggup bergerak. Matanya tetap tertunduk, napasnya tercekat. Tangan yang menggenggam sendok perlahan melemas.
Dalam lirih yang hampir tidak terdengar, ia berbisik:
“Aku tidak pernah berpura-pura…”
***
Langkah cepat dan tegas bergema di koridor lantai eksekutif. Sepatu hitam menginjak lantai marmer dengan irama yang memancarkan tekanan. Semua pegawai yang tengah berdiri di dekat ruangan presiden direktur sontak menegakkan badan, lalu buru-buru menunduk. Tidak ada satu pun yang berani menyapanya, apalagi menatap langsung sosok yang baru saja datang.
Christopher Lee memasuki ruangan kerjanya tanpa menoleh sedikitpun. Aura dingin dan gelapnya itu menyelimuti tubuhnya, seolah badai baru saja ikut masuk bersamanya.
"Astaga… Presdir benar-benar menakutkan hari ini," bisik seorang staf wanita kepada rekannya.
"Jangan sampai membuat kesalahan hari ini," balas rekannya cepat sambil menelan ludahnya gugup. "Dia bisa meledak kapan saja."
Pintu ruang kerja tertutup otomatis di belakang Christopher. Dengan gerakan kasar, ia melempar jasnya ke sandaran kursi berkulit hitam, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi eksekutif yang menghadap meja kerja besar dari kayu mahoni. Laptop di hadapannya segera dibuka, namun jari-jarinya hanya membeku di atas keyboard.
Matanya menatap layar kosong, tapi pikirannya jauh mengembara kemana-mana.
"Kenapa aku marah sekali pagi ini?" pikirnya murung. "Hanya karena dia menolak menatapku?"
Christopher mengembuskan napas keras, lalu menutup matanya sesaat. Tapi bukannya menenangkan, gambaran wajah Mia yang tertunduk dalam diam tadi diruang makan justru muncul semakin jelas. Wajah pucat itu, mata merah yang menyiratkan luka, dan sikapnya yang menghindar.
Sesuatu di dalam dirinya terasa tak nyaman. Seperti ada bara yang belum padam, dan berkobar liar tanpa sebab yang bisa dijelaskan oleh logika.
Dengan gerakan mendadak, ia menutup laptopnya dengan kasar. Suara benturan pelan terdengar di antara keheningan ruangan.
"Apa sebenarnya yang kau lakukan padaku, Mia…?" gumamnya dingin.
Tangannya mengepal di atas meja. Rahangnya kini mengeras.
"Persetan dengan pekerjaan hari ini," ucapnya dingin.
Lalu ia bangkit berdiri, berjalan ke jendela besar yang menghadap pemandangan kota. Tatapannya menembus kabut pagi, namun pikirannya masih tertinggal di meja makan tadi.
.
.
.
.
.
.
.
- 𝐓𝐁𝐂 -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah