Larasati, sering di sapa Rasti atau Laras seorang dokter residen, yang sedang cuti dan bekerja di Beauty wedding planner and organizer. Dia bisa menjadi MC, fotografer, ketua tim Planner, bagian konsumsi. Bertemu kembali dengan Lettu Arjuna Putra Wardoyo, lelaki yang pernah menjadi cinta masa kecil saat masih SD.
Arjuna anak kesayangan papa Haidar Aji Notonegoro( papa kandung), dan ayah Wahyu Pramono( ayah sambung). "Kamu Laras yang pernah sekolah di?"
"Sorry, salah orang!" Ucap Rasti memotong ucapan Juna, sambil berlalu pergi dengan kameranya.
"Seorang Arjuna di cuekin cewek, ini baru pertama dalam sejarah pertemanan kita." Ucap Deri sambil memukul bahu Juna.
"Aku yakin dia Laras adik kelas ku, yang dulu ngejar-ngejar aku." Ucap Juna dengan pandangan heran.
Apa yang membuat Laras tidak mau mengenal Juna, padahal pesona seorang Arjuna tidak pernah ada tandingannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eed Reniati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Anak Mayjen
Rio memandang dengan tatapan frustasi pada Laras, yang berdiri di depannya.
"Kamu dokter spesialis bedah?" tanya Wakapolri.
"Iya pak."
"Dokter Larasati adalah salah satu dokter spesialis yang hebat, yang dimiliki rumah sakit Angkatan Darat, pak!" jelas Audrey, membuat wakapolri melihat kearah Rio, yang masih menatap tajam Laras.
"Kamu yakin mau masuk ke dalam bus itu?" tanya Rio, membuat Laras menganggukkan kepalanya, pelan. membuat Rio menghembuskan nafasnya kasar, "Ini bukan permainan, yang suka kamu mainkan dengan Radja di shooting range. Tapi ini kenyataan, jika ada kesalahan kamu bisa terluka dan bisa lebih parah dari sekedar luka."
"Aku yakin, dan aku akan berhati-hati."
"Lapisi bajumu dengan rompi anti peluru." ucap Rio, sambil memejamkan matanya. Sedangkan Laras menganggukkan kepalanya, meski Rio tidak melihatnya.
"Pakai punyaku ini," ucap seorang polisi sambil melepaskan rompinya.
"Terimakasih," ucap Laras yang langsung menerima rompi peluru itu. Tidak butuh lama untuk Laras memakai rompi anti peluru itu. Laras mendengarkan semua informasi, dengan seksama, sebelum maju mendekat dengan mengakat dua tangan ke atas.
Jujur Laras juga takut, dan berdebar. "Ahhh, kenapa aku tadi ngajuin diri, kalau sekarang aku juga ketakutan begini. Mana tubuhku serasa gemetar semua, dan berat untuk melangkah maju." gumam Laras, yang mulia naik ke dalam bus, yang pintunya baru di buka.
"Lepas jaketnya!" perintah seorang teroris dengan menodongkan pistol laras panjang, begitu Laras masuk ke dalam bus.
Jantung Laras berdetak lebih kencang karena kaget, dan takut melihat orang yang menodongkan pistol memakai topeng yang menyeramkan. "Ba...baik," gugup Laras yang langsung membuka jaketnya dan menaruh, di depan bus dengan tangan gemetar.
"Kamu bukan dokter militer, kan?"
"Ya jelas bukanlah, kalau dia dokter militer tangannya tidak akan gemetar, dan keringat tidak akan membasahi wajahnya." ucap seorang teroris, menjawab teroris satunya dengan tawa meremehkan Laras.
Laras mengepalkan tangannya kuat, malu dan kesal, serasa jadi satu.
"Obati dia!" perintah teroris, membuat Laras langsung melihat kearah anak kecil yang pingsan dalam pangkuan seorang pria.
***
"Harimau memanggil Alfa."
"Alfa menjawab."
"Harimau dapat informasi, di dalam bus ada anak kecil yang mempunyai penyakit jantung bawaan dan sekarang sedang kambuh. Teroris meminta dokter perempuan, dan sudah menolak dokter militer yang di kirim. Sekarang yang ada di dalam adalah dokter sipil, tetap hati-hati utamakan keselamatan para sandra."
" Alfa menerima informasi."
"Kami maju, kalian lindungi kami."
"Siap laksanakan."
Ari dan timnya maju dengan cara merayap di tanah, untuk mendekati bus dan masuk ke dalam kolong bus. "Stop ada bom, di bawah kolong bus." ucap Ari, membuat semua orang yang bisa mendengar suaranya langsung tegang begitu juga Rio.
"Jangan gegabah, tim Harimau awasi bom, dan cari ada berapa bom yang mereka pasang. Tim Alfa mendekat dari udara!" perintah Rio.
Ari dan timnya langsung bergerak, begitu juga dengan tim Juna yang bergerak di udara. Semua tim Juna, langsung naik ke atas pohon, yang tumbuh kokoh di pinggir jalan.
Tubuh Juna terasa tak bisa bergerak, saat melihat sosok Laras yang sedang memberikan pertolongan pada seorang anak kecil di dalam bus.
"Delapan bulan tidak bertemu, kenapa harus bertemu di situasi yang berbahaya begini sih, Ras." keluh Juna.
"Anak ini punya riwayat penyakit jantung, harus segera di bawa ke rumah sakit, obat yang ada di sini sangat tidak memadai." ucap Laras, memecah keheningan di dalam bus.
"Lalu untuk apa gunanya kami manggil kamu, obati dia bodoh!" marah seorang teroris.
"Aku tidak bilang, tidak bisa mengobati, tapi aku bilang di sini ga ada obatnya." jawab Laras dengan suara bergetar.
"Biarkan aku bawa anakku keluar," mohon seorang pria.
"Tidak, kalian tidak akan kami bebaskan sebelum tuntutan kami di kabulkan."
"Kasihan anak-anak mereka ketakutan," ucap Laras. "Lebih baik kalian lepaskan anak-anak, karena tidak ada untungnya menyandera anak-anak." ucap Laras sambil melihat ketiga anak yang ketakutan.
"Baiklah, kamu gendong yang pingsan."
Akhirnya ke empat anak-anak, diijinkan keluar bersama Laras. Tapi sayangnya, begitu Laras keluar dengan ke empat anak itu, seorang mahasiswa nekat melawan dan berakhir mendapatkan timah panas di kakinya. Membuat Laras akhirnya masuk kembali ke dalam bus, setelah Laras memberikan anak itu pada dokter Audrey.
"Tenang, 2 tim di kerahkan dari tanah dan udara." bisik Audrey, Laras yang tidak paham hanya menganggukkan kepalanya.
Sedangkan tim Arjuna yang tadi bersembunyi di pohon sudah mendarat, dan tengkurap di atas bus. Tim Arjuna memanfaatkan kesempatan saat para mahasiswa berteriak ketakutan, sambil berpelukan saat teman mereka mendapatkan timah panas, yang otomatis membuat badan bus bergerak otomatis.
"Aku akan menyuntikkan antibiotik untuk mencegah infeksi, dan penghilang rasa sakit, supaya kamu tidak kesakitan saat peluru ini aku ambil." jelas Laras, sambil menyuntikkan obat pada pemuda itu.
"Terimakasih, bolehkah aku meminta no kontakmu saat kita slamat nanti." ucap mahasiswa itu, membuat Laras tersenyum dan mengangguk.
"Jika korban sudah selesai di obati, buat pengalihan fokus teroris, kami tim Alfa sudah siap melumpuhkan ketujuh teroris yang ada di dalam bus." ucap Juna.
"Semua tim siap di posisinya masing-masing." ucap Rio. "Ras, dengerin papa." ucap Rio, membuat semua yang bisa mendengar suara Rio terkejut karena ternyata Laras anaknya, kecuali Juna dan Deri. "Hitungan ke10 tiarap, dengerin papa sekali lagi hitungan ke 10 tiarap... 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10."
"Tiarap!!!" teriak Laras sekencang mungkin, sambil memejamkan matanya bersamaan dengan bunyi kaca bus yang pecah, dan di susul dengan suara tembakan yang bersahutan.
"Dor, dor dor, dor dor."
"Lindungi para Sandera!"
Buat Laras sebagai warga sipil, semua yang terjadi seperti angin, saat semua suara yang terjadi dalam hitungan detik itu dia lalui, dan begitu membuka mata nampak ada 6 orang berseragam hitam dan memakai topeng gas, sudah menodongkan pistol pada para teroris yang semua terluka tembak.
"Keluar, ayo keluar semua!" ucap seorang pria berseragam hitam, dan memakai topeng gas sudah membuka pintu bus. Semua sandera langsung berlari keluar, tinggal Laras dan mahasiswa yang terluka.
"Kok parfumnya seperti familiar, ya. Apa cuma kebetulan, aja. Apa emang parfumnya yang pasaran, ya?" pikir Laras, saat pria bertopeng yang membuka pintu menghampiri Laras, untuk membantu korban tembak keluar dari dalam bus.
"Bu dokter, kita sudah selamat ni, mana nomor ponselnya."
"Anak masih bau kencur, mau ngerayu Laras." kesal Juna di dalam hatinya.
"Saya tidak hafal, dek." ucap Laras yang langsung berjalan duluan, dan langsung di peluk oleh Rio.
bisa bahaya Juna,,, ayok Laras bongkar kebusukan BSI Serly dan emak nya
dasar jalang