Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BATAS KEMUNGKINAN
Di ruang observasi, tidak ada yang berani berbicara. Semua mata tertuju pada satu hal yang sama.
Seorang dokter yang sedang bertarung dengan batas kemungkinan.
Dan seorang suami yang berdiri diam,
menyaksikan istrinya mempertaruhkan segalanya,
tanpa berniat menghentikan,
hanya menjaga dari jauh.
Awalnya, semuanya berjalan sesuai rencana. Instrumen bergerak rapi di tangan Shima. Monitor menunjukkan respons yang stabil, meski rapuh. Setiap langkah ia lakukan dengan presisi yang hampir kejam tidak ada ruang untuk ragu, tidak ada toleransi untuk kesalahan.
“Tekanan darah stabil,” lapor perawat anestesi.
Shima mengangguk. “Lanjutkan.”
Namun tak sampai satu menit kemudian.
BEEP…. BEEP…. BEEEEEP…
Nada monitor berubah tajam.
Detak jantung pasien turun drastis.
“Dokter, HR drop!” suara itu nyaris berteriak.
Ruangan seketika menegang. Beberapa dokter senior refleks saling berpandangan. Arya yang berdiri di sisi observasi ikut menegang, matanya membesar.
Shima tidak mundur. Tidak berteriak. Tidak panik.
“Berapa angkanya?” tanyanya tenang terlalu tenang untuk situasi seperti ini.
“Empat puluh… tiga puluh delapan… turun terus!”
Shima mengangkat tangannya. “Hentikan suction. Tambah inotropik. Sekarang.”
Obat diberikan. Monitor bergetar… lalu tetap turun.
Beberapa detik yang terasa seperti selamanya.
“Dokter…” suara perawat bergetar, “tidak respons.”
Di ruang observasi, seseorang menahan napas.
Leonhard mencengkeram pagar kaca. Dokter senior mulai gelisah. Ini titik di mana kebanyakan orang akan menyerah.
Namun Shima justru menegakkan bahunya.
Matanya mengeras.
“Kita masuk ke langkah terakhir,” ucapnya pelan tapi tegas.
Salah satu dokter senior spontan berkata, “Itu terlalu berisiko. Kalau gagal…”
Shima menoleh tajam. “Kalau tidak dilakukan, dia mati sekarang.”
Ruangan membeku.
“Dokter Senja,” suara itu lebih rendah, “Itu teknik yang...”
“Belum banyak dicoba,” potong Shima. “Tapi aku tahu persis anatominya. Aku bertanggung jawab penuh.”
Ia menatap satu per satu timnya. Tidak ada permohonan di sana. Hanya keyakinan.
“Ada yang mau keluar dari ruangan, silakan. Sekarang.”
Tak satu pun bergerak.
Di ruang observasi, Arru berdiri lebih tegak.
Ia tahu teknik itu. Ia pernah mempelajarinya. Dan ia tahu peluang selamatnya nyaris nihil.
Rahang Arru mengeras. Tangannya mengepal perlahan di balik jas.
“Dia memilih jalan paling berbahaya,” gumam Leonhard.
Arru tidak menjawab.
Matanya terkunci pada Shima.
Di dalam ruang operasi, Shima menarik napas panjang. “Waktu kita sedikit. Ikuti aku. Jangan improvisasi.”
Tangannya bergerak cepat lebih cepat dari sebelumnya, namun tetap terkendali. Setiap sayatan seperti keputusan hidup-mati yang ditandatangani dengan darah dan keyakinan.
Monitor berbunyi panjang.
BEEEEEEP…
Seseorang menutup mulutnya menahan napas.
Arru melangkah setengah langkah ke depan, tanpa sadar.
Lalu…
BEEP.
BEEP.
BEEP.
Detaknya kembali.
Pelan. Lemah. Tapi… ada.
“HR naik!” teriak perawat.
“Empat puluh lima… lima puluh…”
Shima tidak langsung tersenyum. “Belum aman. Jangan lengah.”
Keringat mengalir di pelipisnya. Bahunya tegang, tapi tangannya tak goyah.
Menit demi menit berlalu seperti berjalan di atas bilah pisau. Hingga akhirnya…
“Tekanan stabil.”
“Detak normal.”
“Respons organ kembali.”
Hening.
Lalu satu suara pelan terdengar, nyaris tidak percaya,
“Dia… selamat.”
Di ruang observasi, beberapa dokter terduduk lemas.
Arya menelan ludah, wajahnya pucat.
Ia tahu ia tak akan pernah berani mengambil keputusan seperti itu.
Arru tidak bergerak.
Namun untuk pertama kalinya malam itu, napasnya keluar lebih panjang.
Matanya mengikuti Shima yang berdiri tegak, menatap pasien itu sejenak lalu menunduk singkat, seperti memberi hormat pada kehidupan yang nyaris lepas.
Arru menyentuh kaca dengan ujung jarinya.
Pelan.
Tanpa suara.
Seolah berkata pada dunia atau pada dirinya sendiri:
Perempuan itu… istriku.
Shima keluar dari ruang operasi, tubuhnya lelah dan lututnya hampir melemah. Napasnya berat, keringat bercampur lega dan ketegangan. Seketika, tangan besar dan dingin menepuk bahunya.
“Aku menunggumu di sini,” suara Arru terdengar rendah, dingin, tapi ada nada kepemilikan yang tak bisa diabaikan. Tanpa menunggu jawaban, ia menggenggam tangan Shima, menuntunnya melewati koridor rumah sakit. Semua mata menunduk hormat, tapi Arru hanya fokus pada Shima, matanya tajam dan menenangkan sekaligus menakutkan.
Begitu tiba di ruang pribadinya di rumah sakit, Arru menutup pintu di belakang mereka. Ruangan itu hangat, pencahayaan lembut, menenangkan. Ia membiarkan Shima duduk, lalu berdiri beberapa langkah di depannya, tetap dengan ekspresi dingin yang biasa ia tunjukkan pada dunia tetapi berbeda untuk Shima.
“Aku baru melihat dokter seberani dirimu,” ucapnya, suaranya rendah, setiap kata seperti ditekan dengan kesungguhan.
Shima menatapnya, hampir tidak percaya mendengar pujian itu. Bibirnya terangkat tipis. “Itu… hanya tugas saya, Tuan,” jawabnya, suaranya pelan tapi mantap. “Sebagai dokter.”
Arru mengangguk, tapi matanya tidak lepas dari wajahnya. Tangannya yang besar dan dingin kini perlahan merapatkan kursi Shima, seperti ingin memastikan ia aman, meski tetap menjaga jarak. “Kau… berbeda dari yang kubayangkan. Bukan hanya kuat… tapi… tulus,” ucap Arru, nada dingin itu tetap ada, tapi setiap kata seperti disentuh kehangatan yang hanya untuk Shima.
Shima menunduk, hatinya berdegup lebih cepat. Bahkan Arya tak pernah memandangnya dengan rasa kagum seperti ini. Tak ada kata manis atau romantis yang berlebihan hanya cara Arru menatapnya, dingin namun mengikat hati, membuat Shima merasa dihargai dan… benar-benar diperhatikan.
Ia menelan napas, tersenyum tipis, membiarkan momen itu meresap. Tangannya masih dalam genggaman Arru, tubuhnya mulai rileks, dan seketika, perasaan campur aduk antara lega, lelah, dan hangat menyebar perlahan. Dalam keheningan itu, Shima sadar satu hal: meski pernikahan ini kontrak, pria ini membuatnya merasa… aman.
Arru, diam di depannya, tetap dingin, tetap menguasai, tapi aura yang memancar dari matanya hitam, tajam, penuh perhatian membuat hati Shima berdebar, seolah mengatakan: “Aku milikmu… dan aku tak akan melepasmu.”
Shima berdiri perlahan, napasnya masih agak berat, tubuhnya masih terasa lelah setelah operasi panjang itu. Ia menatap Arru sesaat, ingin memastikan pria itu masih di sana dan benar, Arru masih berdiri diam di pojok ruangan, dengan tatapan hitamnya yang tajam, dingin, namun entah bagaimana membuat Shima merasa aman.
“Aku harus mengecek pasienku,” kata Shima pelan, mencoba menahan nada lelah di suaranya.
Arru mengangguk, tetap dengan ekspresi dingin yang membuat orang lain sulit menebak apa yang ia rasakan. Tapi matanya tetap melekat pada Shima, seperti menahan setiap langkahnya agar tak terlalu jauh.
“Pergilah,” ucap Arru, nada suaranya rendah dan tegas, tapi ada sedikit sentuhan lembut yang hanya Shima bisa rasakan. “Aku akan menunggumu di ruang kerjaku.”
Shima tersenyum tipis, hampir tak terlihat. Sebuah senyum kecil yang hanya muncul karena rasa lega meski ia masih merasakan detak jantungnya yang cepat setiap kali menatap Arru.
“Baik, Tuan,” jawabnya sambil membungkuk sopan, lalu perlahan berjalan ke pintu.
Begitu Shima menutup pintu, Arru menarik napas dalam, matanya masih mengikuti bayangan Shima yang menjauh. Diam-diam, hatinya tersentuh oleh keberanian dan keteguhan wanita itu meski semua tampak profesional, ada sisi lembut dan tulus yang hanya bisa ia hargai.
Di balik aura dinginnya, Arru merasa… puas. Sisi posesifnya tetap ada, tetapi ia juga membiarkan Shima bergerak, melakukan tugasnya sebagai dokter. Karena baginya, menjaga dan melihat Shima beraksi bahwa Shima bukan hanya cantik dan menawan, tapi juga cerdas dan profesional adalah cara lain untuk mencintainya, dengan cara Arru sendiri.
Dan Shima, di koridor rumah sakit, berjalan mantap meski masih lelah, tetap menyadari satu hal: kehadiran Arru di dekatnya, meski diam dan dingin, adalah sesuatu yang membuatnya merasa… tak pernah sendirian.
Shima berdiri di depan ranjang pasien, menatap wajah keluarga yang cemas. Ia menunduk sedikit, menahan rasa simpati yang membuncah.
“Terima kasih, Pak, Bu… sudah sabar menunggu,” ucap Shima dengan suara lembut namun tegas. “Semoga, besok pagi pasien akan bangun. Kondisinya stabil sekarang, dan kami akan terus memantau.”
Kedua orang tua pasien menatap Shima dengan rasa lega yang tak tertahankan, sesekali mengangguk pelan.
bikin mereka yg menyakiti melongo.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.