Raju Kim Gadis Korea keturunan Indonesia yang merasa dirinya perlu mencari tahu, mengapa Ayahnya menjadi seorang yang hilang dari ingatannya selama 20 tahun. dan alasan mengapa Ibunya tidak membenci Pria itu.
Saat akhirnya bertemu, Ayahnya justru memintanya menikah dengan mafia Dunia Abu-abu bernama Jang Ki Young Selama Dua tahun.
Setelah itu, dia akan mengetahui semua, termasuk siapa Ayahnya sebenarnya.
Jang Ki Young yang juga hanya menerima pernikahan sebagai salah satu dari kebiasaannya dalam mengambil wanita dari pihak musuh sebagai aset. Namun Bagaimana dengan Raju Kim, wanita itu bukan hanya aset dari musuh, tapi benar-benar harus ia jaga karena siapa Gadis itu yang berkaitan dengan Janjinya dengan Ayahnya yang telah lama tiada.
Akankah Takdir sengaja menyatukan mereka untuk menghancurkan atau Sebaliknya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oliviahae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Masa Lalu dan Janji yang Tidak Pernah Terucap
Ruang kerja pribadi Jang Ki Young di lantai tiga mansion selalu terasa tenang pada pagi hari. Lampu gantung kristal hanya menyala setengah, menciptakan cahaya lembut yang memantul di dinding marmer. Di luar jendela besar, hujan rintik-rintik jatuh tipis, menimbulkan ketukan ritmis yang anehnya justru menenangkan.
Woo Jin berdiri bersandar pada meja panjang yang memenuhi separuh ruangan. Ia memegang secangkir teh melati jati, minuman yang selalu ia ambil tanpa izin setiap kali berkunjung. Kebiasaan yang sudah berlangsung sejak mereka kecil.
Sementara itu, Ki Young berdiri di depan jendela, tangan disilangkan di belakang punggung, wajahnya setenang permukaan laut sebelum badai.
“Sudah lama kita tidak seperti ini,” Jang Woo Jin membuka percakapan, suaranya ringan. “Dulu, tiap hujan begini kita berebut selimut, dan kau selalu menang karena kau, bahkan saat masih kecil sudah licik.”
Ki Young tersenyum tipis tanpa menatapnya. “Itu bukan licik, Hyung. Itu strategi"
Jang Woo Jin mendengus,“Strategi pantas apa yang membuat bocah usia tujuh tahun menggulung selimut sampai aku jatuh dari kasur?”
“Aku hanya memastikan kau kuat. Seperti ku” Jang Ki Young sedikit menyombongkan diri
“Alasanmu menyedihkan dan membuatku malu” Jang Woo Jin membalas candaan tipis itu
Ki Young menoleh, senyum di ujung bibirnya masih ada, tapi matanya tetap penuh kalkulasi seperti biasa. “Tapi sekarang kau kuat, kan? Setidaknya cukup kuat untuk tidak jatuh dari kasur lagi.”
Woo Jin memutar bola matanya, tapi diam-diam ia menikmati nostalgia itu. Ada masa ketika mereka seperti saudara kandung normal, bermain, menikmati liburan dan jalan-jalan.
Sebelum akhirnya waktu menuntut mereka sadar akan kedewasaan, Rumah besar itu menjadi pusat kekuasaan, politik keluarga, dan bisnis abu-abu serta rahasia mengambil alih hidup mereka.
Namun senyumnya mereda ketika ia mengingat sesuatu. “Ngomong-ngomong,” Woo Jin menaruh cangkirnya dan bersedekap. “Aku ingin bertanya… mengenai Raju.”
Senyum Ki Young lenyap dalam sekejap. “Apa ada yang perlu ditanyakan?” alisnya bergetar sedikit, tidak senang.
“Apa kau tidak khawatir perlakuanmu padanya akan memicu kecemburuan? Choi Da Hee melihatmu menggendongnya.”
“Bukan hanya Choi Da Hee, Hyung”sanggah Ki Young
Jang Woo Jin sedikit tersentak namun cepat-cepat sadar, dia tidak ingin membuat kesalahpahaman "Maksudku, Semua istri melihat. Mereka bukan boneka, mereka pasti merasa sesuatu.”
"Kau dengar dari siapa?"
"Nyonya Min" Woo Jin ingat wajah cemberutnya saat cemburu walaupun saat bersama Ki Young
Ki Young menghela napas pelan, kembali membalikkan tubuh menghadap jendela. “Hyung, aku tidak pernah menjanjikan apa pun pada mereka.”
“Tidak menjanjikan, tetapi..”
“Yang ku janjikan hanyalah nyawa mereka. dan keselamatan kerja sama bisnis, atau keselamatan keluarga mereka. Itu saja.” Nada Ki Young datar, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di bawahnya. “Tidak lebih. Tidak kurang.”
Woo Jin menatapnya lama, memperhatikan bahu adiknya yang tampak tegang namun berusaha tidak terlihat.
“Kau tidak takut… Raju menjadi pusat perhatian semua orang?” tanya Woo Jin hati-hati.
“Kau yang membuatnya jadi pusat perhatian, bukan aku.” Ki Young balas cepat. “Kau terlalu sering menatapnya.”
Woo Jin tersentak sedikit. “Aku hanya ...”
“Hyung,” Ki Young menoleh sepenuhnya kali ini, matanya tajam tapi tidak marah, hanya mengamati. “Apa kau berniat membuatku salah tingkah?”
Woo Jin ingin tersenyum dan ingin mencoba menggoda adiknya seperti biasanya, tapi tatapan itu membuatnya ragu. Ki Young bukan orang yang mudah didorong secara emosional. Ia memutar tubuhnya sedikit, menutupi kegugupan kecil yang muncul.
“Aku hanya ingin memastikan kau sadar bahwa tindakanmu bisa menimbulkan masalah.”
“Masalah hanya muncul jika kau menciptakannya. Dan aku tidak melakukannya”
“Baiklah, jika kau sepenuhnya sadar akan dampak tindakanmu.”
Ki Young mendekat dua langkah. “Hyung, aku sadar tindakanku. Sedangkan Kau??"
“Aku?.”
“Apa kau akan suka kalau aku memberi perhatian lebih pada Choi Da Hee?”
Pertanyaan itu seperti panah tepat sasaran. Woo Jin menegang. Ia ingin menjawab tidak. Sangat ingin. Tapi tenggorokannya menolak bekerja.
“Ki Young…” Woo Jin tertawa hambar. “Jangan bercanda. Kau tahu aku...”
“Kau tidak akan suka,” potong Ki Young tenang. “Karena kau… menyukainya.”
Diam, Ruangan seakan mengecil.
Woo Jin memalingkan wajah, berusaha menetralkan detak jantungnya. “Kau adikku,” katanya akhirnya dengan lirih. “Aku tidak bisa mengalahkan mu.”
“dan kau tidak perlu.” Ki Young kembali melonggarkan ekspresinya, seperti seorang kakak yang berusaha menenangkan adik, padahal posisinya terbalik secara usia. “Tenang saja, Hyung. Aku tidak akan mengganggu siapa pun yang kau ingin lindungi.”
Woo Jin mendongak, bingung. “Maksudmu?”
“Aku hanya akan menjaganya tetap aman. Itu saja.” Ki Young memasukkan tangan ke saku. “Kalau kau sudah siap, aku akan melepaskannya.”
Kata melepaskan terngiang di udara. Woo Jin terpaku. Seolah Ki Young memaksanya untuk mengaku bahwa ia mencintai Choi Da Hee, sesuatu yang bahkan pada dirinya sendiri pun belum bisa ia akui sepenuhnya.
Merasa sudut dadanya mengencang, Woo Jin menggeleng pelan. “Kau… selalu menekan ku seperti ini.”
“Karena kau selalu lari.”
Woo Jin terdiam lama, sebelum akhirnya berkata lirih, “Aku bukan dirimu. Aku tidak sekuat itu. Aku tidak mampu menjaga nyawa Choi Da Hee.”
Ki Young memperhatikan wajah kakaknya lama, sangat lama, hingga akhirnya ia berkata, “Kekuatan bukan hanya soal bertarung, Hyung.”
Woo Jin menelan ludah. “Kau tidak mengerti.”
“Aku mengerti.” Ki Young menatapnya dengan ketenangan yang menakutkan. “Kau takut kehilangan. Itu saja.”
Perkataan itu menyentuh bagian Woo Jin yang paling ia sembunyikan. Ia ingin marah. Ia ingin menyangkal. Namun yang keluar hanyalah helaan napas panjang.
“...Raju membuatmu berbeda,” Woo Jin tiba-tiba berkata, mencoba beralih topik. “Kau berubah ketika menyentuhnya. Kau bahkan menggendongnya. Kau tidak pernah begitu pada siapa pun.”
Untuk pertama kalinya, Ki Young tidak menjawab cepat.
Ia hanya berdiri diam. Sangat diam. “Dia… hanya seseorang yang harus kujaga,” katanya akhirnya, pelan, hampir seperti diri yang tidak biasa ia tampilkan.
Woo Jin memperhatikan wajah Ki Young dengan seksama, lalu tersenyum samar.
“Aku tidak akan bertanya lebih jauh,” ucapnya. “Tapi berhati-hatilah. Kau bukan orang yang mudah terikat, tapi sekali terikat… kau tak akan bisa berpaling.”
Ki Young menatap kakaknya dengan ekspresi sulit dijelaskan. “Hyung, kau terlalu banyak bicara.”
“Dan kau terlalu banyak menyimpan.”
Keheningan turun lagi, tapi kali ini bukan keheningan yang tegang. Justru terasa seperti dua saudara yang sudah lama tidak berbicara jujur.
Woo Jin mengambil cangkirnya, meneguk sisa teh, lalu berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh.
“Ki Young,” panggilnya. “Apapun yang kau sembunyikan dari dirimu sendiri… suatu hari akan mengejar mu.”
Pintu tertutup lembut.
Ki Young berdiri sendirian di ruangan besar itu. Matanya menatap pantulan dirinya di kaca jendela, sosok dingin yang ia ciptakan sendiri demi bertahan.
Tapi tadi malam, saat Raju tertidur di dalam mobil dan kepalanya jatuh ke pundak Ki Young…Untuk pertama kalinya dalam hidup, sosok itu terasa mulai retak.
Bersambung....