Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Di Tengah Lingkaran Keluarga
Ruang keluarga mension itu tidak pernah terasa sesesak ini.
Lampu gantung besar menyala hangat di langit-langit tinggi, memantulkan bayangan sebelas orang yang berkumpul dengan jarak tidak terlalu dekat, tapi juga tidak cukup jauh untuk menghindari tatapan satu sama lain. Suasana ramai—bukan oleh suara, melainkan oleh kehadiran.
Gio duduk di sofa panjang berwarna gelap. Punggungnya tegak, bahunya tegang. Tangannya tanpa sadar bertumpu di perutnya yang kini tak lagi sepenuhnya rata. Empat bulan. Cukup untuk terlihat jika diperhatikan dengan saksama.
Di sebelahnya, Danu duduk kaku. Telapak tangannya saling menggenggam, keringat tipis muncul di sela jari. Ia tahu ini bukan pertemuan biasa. Ini adalah perkenalan dengan keluarga Athaya—keluarga besar yang namanya dikenal di banyak lingkaran, tapi malam ini terasa sangat personal.
Athaya sendiri berdiri di dekat jendela besar, tangan di saku celana. Sikapnya tenang, tapi rahangnya mengeras. Ia sengaja berdiri agak jauh, memberi ruang—membiarkan Gio dan Danu menghadapi ini, tapi tetap dalam jangkauannya.
Mahesa berdiri paling depan, posturnya lurus, sorot matanya tenang tapi mengandung tekanan alami seorang anak sulung. Galen bersedekap di dekat rak buku, tatapannya tajam, seolah mengukur setiap gerakan. Arsaka memilih duduk santai di kursi tunggal, satu kaki disilangkan, ekspresinya lebih kasual—tapi matanya terlalu waspada untuk disebut santai.
Di sisi lain, Elena dan Alesha duduk berdampingan. Keduanya memperhatikan Gio dengan cara berbeda: Elena penuh observasi, Alesha dengan empati yang tidak disembunyikan.
“Jadi ini Gio,” ucap Mahesa akhirnya, memecah keheningan.
Gio mengangguk pelan. “Iya.”
“Sepupunya Athaya,” sambung Galen, melirik singkat ke arah adiknya.
“Iya,” jawab Athaya singkat dari tempatnya berdiri.
Elena sedikit condong ke depan. “Kamu kelihatan pucat.”
Gio tersenyum tipis. “Belakangan sering mual.”
Alesha langsung bereaksi. “Masih sering?”
“Hampir tiap hari,” jawab Gio jujur.
Tatapan Alesha melembut. Elena menarik napas pelan, seolah menghitung sesuatu di kepalanya.
Pandangan Arsaka turun ke perut Gio. “Empat bulan?”
“Hampir,” jawab Gio, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.
Sunyi kembali turun.
Mahesa lalu mengalihkan perhatian ke Danu. “Dan kamu.”
Danu menelan ludah. “Saya Danu.”
“Bapak dari anak itu?” tanya Galen, tanpa usaha memperhalus nada.
“Iya,” jawab Danu mantap.
Tidak ada alasan. Tidak ada pembelaan berlebihan.
Galen menatapnya lama, lalu mendengus pelan. “Berani juga datang ke sini.”
“Saya memang harus datang,” balas Danu. “Dan saya mau bertanggung jawab.”
Revan yang sejak tadi duduk di kursi tengah akhirnya bicara. “Dia tahu posisinya.”
Kalimat singkat itu cukup membuat Mahesa mengangguk kecil.
“Kalau begitu,” ucap Mahesa, “duduklah. Keluarga ini tidak terbiasa menghakimi sebelum mendengar.”
Ketegangan sedikit mengendur.
Percakapan berlanjut perlahan—tentang kondisi Gio, pemeriksaan medis, batasan aktivitas, dan pengamanan. Athaya beberapa kali menyela, suaranya tegas tapi terkontrol.
“Gio di bawah perlindungan penuh,” katanya. “Tidak ada keputusan sepihak.”
Arsaka menatapnya miring. “Lo serius.”
“Banget,” jawab Athaya tanpa ragu.
Saat makanan dihidangkan, aroma hangat menyebar. Gio refleks menegang, tangan menutup mulut. Wajahnya memucat.
Danu langsung berdiri. “Gio.”
“Ada teras,” ucap Elena cepat.
Di luar, udara malam terasa lebih ringan. Gio bersandar di pagar, menarik napas panjang. Tangannya kembali mengusap perutnya, lebih protektif.
“Gw malu,” ucapnya lirih. “Datang ke keluarga sebesar ini dalam kondisi kayak gini.”
Danu berdiri di sampingnya. “Tapi mereka gak nyuruh lo pergi.”
Di dalam, Alesha memperhatikan dari balik kaca. Ia menoleh ke Athaya. “Dia dulu yang nenangin lo.”
Athaya terdiam.
“Sekarang giliran lo jaga dia,” lanjut Alesha pelan.
Athaya mengangguk. “Iya.”
Mahesa berdiri di samping Athaya. “Lo berubah.”
“Gw capek kehilangan,” jawab Athaya.
Mahesa menepuk bahu adiknya singkat—tanpa kata.
Malam itu, tidak semua ketakutan hilang. Tidak semua pertanyaan terjawab.
Tapi Gio tidak lagi sendirian.
Ia duduk di tengah lingkaran keluarga—Mahesa, Galen, Arsaka, Elena, Alesha—dan untuk pertama kalinya, kehamilan itu bukan beban rahasia, melainkan tanggung jawab yang dipikul bersama.
-bersambung-