Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 - Hubungan yang Membeku
Saat aku sedang menari bersama Shane, ia memeluk pinggangku dengan lembut, sementara aku menautkan kedua tanganku di belakang lehernya. Detak musik seolah menyatu dengan detak jantungku, membuat dunia di sekitar terasa kabur.
Tiba-tiba, Zephyr datang, didampingi kedua bodyguardnya. Pemandangan itu membuatku menahan napas sejenak. Dulu ia tidak pernah suka ditemani siapapun, apalagi dalam keramaian seperti ini.
Aku baru saja memberi pengakuan padanya, dan Shane hampir mengucapkan sesuatu ketika Zephyr semakin mendekat, akan tetapi tatapanku sebenarnya ke arah Zephyr,
“Fim, sebenarnya aku–”
Pada akhirnya, Shane juga menyadari kalau aku tidak memperhatikan ucapannya, kini Zephyr sudah berdiri tepat di sisi kami. Aku dan Shane menoleh.
Aku menatap matanya. Tatapannya menusuk, tajam, bukan hanya marah, tapi seolah menimbang sesuatu yang dalam.
Aku tidak tahu, apakah ia kesal melihat aku dan Shane begitu dekat… atau justru takut kedekatanku dengan pria lain akan menimbulkan gosip yang bisa mencoreng reputasinya sebagai menteri? Entahlah, aku bahkan tidak yakin mana yang lebih membuatnya resah.
Aku tersenyum padanya.
“Hai Phyr, kau di sini!”
“Fim, ayo pulang, ini sudah malam!” suaranya tegas sambil menarik tanganku.
Aku melepaskan cengkramannya perlahan, menatapnya dengan mata setengah menantang.
“Phyr, aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Kau pulang saja, Shane dan Liam akan menjagaku,” jawabku, mencoba tetap tenang, meski jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
Ia mencoba menarikku pelan, dengan ekspresi serius di wajahnya.
“Fim, kau mabuk. Ayah dan kakakmu bisa marah kalau kau seperti ini.”
Aku menggeleng, menahan senyum kecil. Tentu saja aku masih sadar. Aku hanya minum satu gelas, dan sedikit-sedikit pula—kalau tidak, Liam pasti sudah mengangkutku dari tadi.
Aku menolak lagi, lalu menempelkan diriku ke Shane, mencari kenyamanan. Namun Shane terlihat jelas tidak nyaman, menahan senyum canggung, dan menatapku dengan sedikit khawatir.
“Fim… jangan membuatku marah,” ucap Zephyr pelan tapi tegas, mencengkram tanganku sedikit lebih kuat.
Aku menepis tangannya dengan lembut, sambil menatap mata gelapnya yang penuh intensitas. Shane juga membujukku agar ikut dengannya, suaranya menenangkan, tapi ada kerutan kekhawatiran di dahinya.
“Fim, kau pulang saja. Lain kali kita masih bisa bersenang-senang,” sorot matanya membuatku terhenti, nyaris tak bisa berpaling.
“Aku masih ingin mengobrol denganmu, Shane.”
Tiba-tiba Liam menghampiri, memberi isyarat agar aku segera pulang. Aku menggeleng, karena masih ingin disana. Namun Liam menatapku dengan tatapan tajam, membuatku terdiam sejenak.
Aku melepaskan pelukanku dari Shane. Menatap Liam dingin, karena tak mau membelaku. Aku menarik tasku, dan melangkah menuju mobil.
Tiba-tiba kakiku tersandung dan hampir jatuh, Zephyr mencoba meraih tanganku, tetapi aku tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja,” ujarku, suara lembut namun tegas.
Mungkin karena beberapa hari terakhir aku diam-diam sering minum sedikit, tubuhku sudah mulai beradaptasi. Bodyguardnya membantuku membukakan pintu, dan aku masuk ke kursi belakang.
Di perjalanan, suara panggilan dari Zephyr terdengar, tapi aku pura-pura tidur, menutup mata, merasakan perjalanan yang menenangkan.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan rumah. Aku membuka mata perlahan, dan udara malam yang tenang menyambutku.
… ⚫⚫⚫…
(Zephyr)
Flashback:
Setelah pulang kerja, aku terkejut melihat GPS. Lokasinya berada di tempat yang tidak biasa. Makanya aku memutuskan untuk menjemputnya.
Kembali ke masa kini:
Sebelum dia masuk kamar, aku berusaha menghentikannya.
“Fim, aku ingin bicara denganmu!” suaraku terdengar sedikit tegang.
Serafim menoleh, matanya menatapku sekilas. Ia menggeleng perlahan, lalu tersenyum tipis, lalu melangkah mendekat. Ada aura lelah dan sedikit mabuk dari gerak tubuhnya.
Ia menghampiriku dan meraih jasku dengan lembut.
“Sayang… aku lelah… sebaiknya… kau tidur saja, aku… mau masuk ke kamar,” katanya, suaranya serak, sedikit bergetar.
Saat aku hendak menegurnya lagi, ia sudah mengunci pintunya. Dadaku terasa sesak. Aku sebenarnya ingin meminta maaf atas snap sebelumnya, yang mungkin membuatnya tersinggung. Aku menelan napas, menahan rasa kecewa, lalu kembali ke kamarku. Memberikan waktu untuknya sepertinya pilihan terbaik malam itu.
Malam itu, aku mencoba memejamkan mata, tapi pikiran tentangnya terus mengganggu. Akhirnya, aku bangkit dan duduk di sofa, tangan gemetar sedikit saat menyalakan sebatang rokok. Asap mengepul ke udara malam, dan aku menarik napas panjang.
Ponselku bergetar. Zea menelpon. Aku menatap layar, tapi memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Sebagai gantinya, aku mengetik pesan:
Zephyr: “Zea, tolong… kita sudah sepakat, bukan? Jangan hubungi aku dulu.”
Tak lama kemudian, ponselku bergetar lagi. Pesan masuk:
Zea: “Aku benci padamu.”
Aku mendengus pelan, menahan rasa panas di dada. Jari-jariku menekan pelipisku sejenak, menahan lelah dan frustasi. Aku menghisap rokokku kembali, menghembuskan asap perlahan, seolah mencoba mengusir semua rasa yang bergemuruh di dalam dada.
(Serafim)
Selesai membersihkan make up, aku mencuci wajahku di wastafel, aku menatap wajahku lumayan lama, namun ponselku bergetar.
Aku mengelap wajahku dengan handuk, lalu meraih ponselku dan merebahkan tubuhku perlahan di atas kasur.
Saat melihat layar, rupanya Liam dan Shane kompak mengirim pesan padaku.
Liam: Fim, apa kau dj marahi Zephyr?
Aku mengabaikannya.
“aku tidak akan memaafkanmu Liam, teman sejati apanya, kau justru membuatku pulang bersamanya,” gumamku kesal.
Lalu aku membaca pesan dari Shane.
Shane: Fim apa kalian bertengkar? aku minta maaf, sungguh, aku juga akan bicara pada suamimu besok.”
Serafim : Kau tenang saja, kami baik-baik saja.
Kemudian Liam menelponku. Karena bosan terus di telepon, aku mengangkatnya dengan malas.
“Fim, kau tidak apa-apa kan?”
“Aku akan membunuhmu, Liam, aku tidak mau berteman denganmu lagi, kau bukan sahabt sejatiku lagi.”
“Oya? Kalau begitu menikahlah denganku! ucapanya.
“Daripada menikah denganmu lebih baik aku menikah dengan cinta pertamaku.”
"Liam berusaha meminta maaf dariku, tapi tiba-tiba perutku sakit, aku pun memutuskan panggilan.
Kupikir ini mungkin karena haid pertamaku.
Kupaksa berdiri dan berjalan ke toilet, berniat mengganti pembalut. Tapi saat kubuka, aku terkejut karena tidak ada darah sama sekali.
“Ternyata haidku kacau." gumamku.
Bersambung...