NovelToon NovelToon
Ketika Dunia Kita Berbeda

Ketika Dunia Kita Berbeda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:582
Nilai: 5
Nama Author: nangka123

Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24: Dendam di balik jeruji

Malam setelah sidang, apartemen terasa sunyi. Fanda duduk di sofa dengan wajah yang tampak lelah. Andre baru saja selesai membersihkan sisa perban di pipinya, lalu duduk di sampingnya.

Ponsel Fanda tiba-tiba berdering. Nama ayahnya muncul di layar, Fanda terdiam beberapa detik sebelum menekan tombol jawab.

“Fanda…” suara ayahnya terdengar dari seberang, tampak ada rasa kekhawatiran dari ayahnya.

“Ayah lihat berita sidang tadi. Kalian… baik-baik saja, Nak?”

Fanda menggigit bibir, menahan tangis. “Kami baik-baik saja, Yah. Andre masih ada luka di wajahnya, tapi sudah lebih baik.”

“Syukurlah,” jawab sang ayah lega.

“Ayah terus khawatir. Zul itu bukan orang sembarangan. Dia pasti nggak tinggal diam. Kalian berdua harus hati-hati, jangan sering keluar sendirian, ya.”

Fanda menoleh ke Andre. Lelaki itu mengangguk pelan, seolah mengiyakan pesan ayahnya.

“Iya, Yah. Jangan khawatir. Sekarang dia nggak bisa lepas lagi,kami ada bukti kuat . Sidang tadi juga berjalan lancar. Aku yakin Zul akan dipenjara,” ujar Fanda dengan nada tegas.

Suara ayahnya sedikit bergetar.

“Nak, Ayah bangga sama kalian. Kalian bisa melewati badai ini. Katakan pada Andre, Ayah sangat bangga karena dia telah melindungimu.”

Fanda tak kuasa menahan air matanya. “Iya, Yah… aku senang karena Andre ada di sisiku. Mungkin kalau tidak ada dia, aku nggak tahu akan seperti apa.”

“Ayah dan Ibu di sini selalu mendoakan kalian, Nak. Kalau perlu, besok Ayah akan pulang ke Indonesia agar bisa datang ke sidang berikutnya untuk mendukung kalian.”

Fanda menggeleng meski tak terlihat di seberang.

“Tidak perlu, Ayah. Kami bisa melewati ini.”

“Baiklah kalau itu mau kalian,Istirahatlah, Pasti kalian capek setelah mengikuti proses sidang.”

“Iya, Yah.” Panggilan pun berakhir.

Fanda menaruh ponselnya di meja, lalu menyandarkan kepala di bahu Andre.

“Mas… Ayah bilang dia bangga sama kita.”

Andre tersenyum hangat.

“Aku juga bangga sama kamu, Sayang. Sekarang kamu lebih berani dari siapa pun yang kukenal.”

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak masalah ini bermula, Fanda merasa sedikit damai.

Keesokan harinya Fanda masuk kantor dengan wajah masih lelah. Lingkar hitam di bawah matanya terlihat jelas, tetapi ia tetap berusaha tersenyum pada rekan-rekan yang menyapanya. Suasana kantor terasa berbeda, banyak mata yang diam-diam memperhatikannya.

Indah, sahabatnya, segera menghampiri. “Fand, sini deh. Aku udah bikinin kopi buat kamu.”

Fanda terkejut, lalu tersenyum tipis. “Makasih, Ndah. Kamu selalu perhatian.”

Ia duduk di kursi, mencoba membuka laptop. Indah duduk di tepi meja, menatap Fanda penuh empati.

“Aku lihat berita sidang kemarin. Kamu… keren banget, Fand. Berani maju jadi saksi, apalagi menghadapi orang kayak Zul itu.”

Fanda menghela napas panjang. “Sejujurnya, aku masih takut, Ndah. Apalagi waktu dia teriak-teriak di ruang sidang, matanya… kayak mau makan aku dan mas Andre hidup-hidup.”

Indah menggenggam tangan Fanda erat. “Takut itu wajar. Tapi kamu nggak sendirian. Ada Andre, ada keluargamu, ada aku juga. Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira, Fand.”

Mata Fanda berkaca-kaca mendengar kata-kata Indah.

“Kadang aku cuma pengen semua ini cepat selesai. Aku rindu kerja tanpa beban, rindu tidur tanpa mimpi buruk.”

Indah tersenyum lembut.

“Justru karena kamu berani hadapi ini sekarang, nanti kamu bisa hidup tenang. Kamu udah berada di jalur yang benar. Jangan biarin Zul menang. Terus maju, aku selalu mendukungmu.”

Fanda menunduk, meremas tangan Indah. “Makasih, Ndah. Aku nggak tahu gimana kalau nggak ada kamu di kantor ini.”

Indah terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana.

“Kalau nggak ada aku, kamu pasti udah gila duluan, Fand. Anggap saja aku ini ‘support system berjalan’. Tapi kamu harus ingat naikin gajiku, ya… hehehe.”

Fanda tertawa kecil untuk pertama kalinya hari itu. Hatinya terasa sedikit lebih ringan, meski badai masih menunggu di sidang berikutnya.

Siang itu, udara di ruang kunjungan tahanan terasa pengap. Zul duduk dengan wajah muram, tubuhnya sedikit membungkuk, tangan terborgol di atas meja besi dingin. Pintu besi berbunyi menandakan ada pengunjung. Seorang pria paruh baya berjas rapi, rambut mulai memutih, masuk. Auranya penuh wibawa dan amarah. Dialah Ferdi, ayah Zul.

“Zul…” suara Ferdi berat, dingin, namun mengandung kemarahan yang sulit disembunyikan.

Ia berjalan pelan lalu duduk di kursi seberang, menatap anaknya tajam.

“Bagaimana keadaanmu di sini? Apa mereka memperlakukanmu dengan baik?”

Zul mengangkat wajah perlahan. Lingkar hitam di bawah matanya jelas; ia tak tidur nyenyak.

“Iya, Ayah. Mereka memperlakukan aku baik. Tapi kenapa aku berada di sini, Ayah? Aku nggak seharusnya ada di sini. Semua orang menuduhku, wartawan, polisi, bahkan hakim. Semua tidak ada yang percaya kepada ku.”

Ferdi mengepalkan tangan di atas meja, nadanya meninggi.

“Penjara? Untuk anakku sendiri? Ini penghinaan besar untuk keluarga kita. Ayah tidak pernah membesarkanmu untuk duduk di balik jeruji seperti penjahat!”

Zul menggertakkan gigi, matanya memerah.

“Semua gara-gara Andre. Kalau bukan karena dia, Fanda nggak akan berani melawanku. Dia yang bikin semua ini kacau. Dia akar masalahnya, Ayah!”

Ferdi terdiam sejenak, menatap anaknya dalam-dalam. Lalu ia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya turun namun penuh ketajaman.

“Kalau begitu, Ayah yang akan turun tangan. Kalau hukum tidak bisa kita kendalikan, maka orang itu… harus disingkirkan. Kalau perlu, kita habisi dia.”

Zul membelalak, terkejut.

“Maksud Ayah…?”

Ferdi menyeringai tipis, wajahnya penuh kebencian.

“Ayah akan pastikan Andre nggak pernah bisa bersaksi lagi. Dia harus lenyap dari muka bumi. Biar semua tahu, tidak ada yang bisa menjatuhkan keluarga kita.”

Zul terdiam, lalu senyum licik perlahan muncul di bibirnya.

“Kalau begitu… lakukan, Yah. Tunjukkan pada mereka siapa yang berkuasa. Aku ingin lihat wajah Andre dan Fanda terpisah selamanya. Aku ingin Fanda menyesal karena berani melawanku.”

Petugas penjara mengetuk kaca pemisah, memberi tanda waktu kunjungan hampir habis. Ferdi berdiri, merapikan jasnya dengan penuh wibawa, menatap anaknya sekali lagi dengan tatapan dingin tapi penuh janji.

“Tenang, Nak. Ayah akan urus semuanya. Kamu akan bebas. Dan untuk Mereka berdua… akan menanggung akibatnya.”

Zul hanya mengangguk, matanya terpampang penuh kebencian dan harapan,

Saat Ferdi melangkah pergi, seolah bayangan gelap ikut keluar dari ruang tahanan itu, membawa ancaman baru bagi Andre dan Fanda.

1
Nurqaireen Zayani
Menarik perhatian.
nangka123: trimakasih 🙏
total 1 replies
pine
Jangan berhenti menulis, thor! Suka banget sama style kamu!
nangka123: siap kak🙏
total 1 replies
Rena Ryuuguu
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
nangka123: siap kakk,,🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!