Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 25.
Di sebuah ruangan gelap tanpa jendela, Claudia duduk terikat di kursi besi. Kedua pergelangan tangannya dipaksa kaku oleh tali kasar yang menyesakkan kulit. Nafasnya memburu, bercampur antara marah dan takut.
“Ardan! Apa kau sudah gila menculik ku seperti ini?!” suaranya pecah, menyimpan amarah.
Ardan melangkah mendekat, setiap gerakannya dingin dan mengintimidasi. Ia meraih dagu Claudia, mencengkeramnya kuat hingga wanita itu meringis.
“Gila?” Ardan menunduk, tatapannya tajam bagaikan bilah pisau. “Kau yang lebih dulu memaksa aku sampai sejauh ini. Katakan sekarang, di mana istriku?”
Alih-alih menjawab, Claudia malah tertawa keras. Tawanya terdengar seperti ejekan menusuk. Wajahnya menyeringai, matanya berkilat penuh tantangan.
“Ardan… Ardan… kau benar-benar menyedihkan!"
Ardan mengerutkan kening, rahangnya mengeras.
Claudia melanjutkan dengan suara tajam. “Istri katamu? Kau dan dia sudah lama berakhir, Ardan! Aku berhasil memisahkan kalian. Bahkan... selama ini kau terus meragukannya, bukan? Kau kecewa padanya, merasa ditinggalkan saat kau terpuruk. Tapi bukankah itu karena dirimu sendiri? Karena kau tak pernah benar-benar percaya padanya!”
Ardan terdiam, genggamannya semakin kuat di dagu Claudia dan sorot mata laki-laki itu makin dingin.
Tatapan Claudia menusuk, bibirnya melengkung sinis. “Katanya pasangan yang saling mencintai itu harus saling mempercayai. Lalu kau? Apa yang sudah kau lakukan selama tujuh tahun ini, hah?! Kau tidak pernah mencarinya! Kau biarkan dirimu dikuasai amarah, membiarkan rasa sakit mengalahkan logika. Apa kau masih pantas untuk Nadira setelah semua itu?”
Claudia terkekeh, suaranya terdengar bagaikan racun. “Justru aku dan kau lebih cocok. Kita sama-sama egois, kau tak bisa menyangkalnya, Ardan. Pada akhirnya kau akan menyadari, Nadira terlalu suci untukmu. Yang pantas bersamamu… hanyalah aku! Hahaha...”
Tawa wanita itu meledak, bergema di ruang gelap itu.
Claudia masih tertawa keras, seolah yakin telah memenangkan permainan. Namun, tawa itu perlahan terhenti saat ia melihat sorot mata Ardan. Bukan lagi kemarahan, melainkan ketenangan yang menyeramkan.
Ardan melepaskan cengkeramannya dari dagu Claudia. Ia melangkah mundur, lalu duduk di kursi seberang dengan gerakan santai menyandarkan tubuhnya. Tangannya meraih segelas air mineral di meja, meminumnya perlahan.
“Sudah selesai?” suaranya rendah, tenang namun menusuk.
Claudia mengerjap, tak menyangka respon dari pria itu begitu santai.
“Lucu sekali kau ini, Claudia. Kau pikir... aku masih laki-laki bodoh yang bisa kau permainkan dengan ocehan licikmu seperti dulu? Kau salah besar.”
Claudia mencoba menyeringai lagi, tapi sorot mata Ardan membuat senyumnya berubah kaku.
“Aku tahu kau ingin aku meledak, kau ingin aku mengakui keraguanku pada Nadira. Tapi sayang sekali... aku tidak akan memberimu kepuasan itu.”
Ardan meletakkan gelasnya, lalu mencondongkan tubuh ke depan. “Justru aku ingin berterima kasih padamu, karena kata-katamu barusan membuktikan satu hal... jika kau tahu di mana Nadira berada.”
Wajah Claudia menegang seketika. “A-apa maksudmu?”
Ardan mengangkat satu alis, bibirnya melengkung tipis. “Kau terlalu bersemangat menjelaskan bagaimana aku tak pantas untuknya. Kau bicarakan soal luka Nadira dengan detail… seakan-akan kau tau sesuatu. Kau pikir aku tidak menyadarinya?”
Claudia terdiam, matanya bergetar meski ia berusaha menahan ekspresinya.
Ardan bangkit dari kursi, lalu berjalan perlahan mengitari tubuh Claudia yang terikat. Suaranya menekan di setiap kata.
“Kau bisa memanipulasi banyak hal, Claudia. Tapi satu hal yang tak bisa kau sembunyikan... ketakutanmu. Nadira masih aman, dan kau tahu di mana dia berada.”
Claudia mencoba mengelak, suaranya meninggi. “Tidak! Aku tidak tau dimana dia!”
Ardan berhenti di belakang kursi, lalu menunduk berbisik tepat di telinga wanita itu.
“Kalau begitu, mari kita lakukan uji sederhana. Aku akan membiarkanmu di sini tanpa makan, tanpa air... hingga kau menyerah. Lalu kita lihat, berapa lama ‘ketidaktahuanmu’ berubah menjadi kebenaran.”
Tubuh Claudia menegang, wajahnya mulai pucat. Tawa sinis yang tadi meledak kini lenyap. Ia berusaha tetap keras kepala, tapi genggaman jarinya di sandaran kursi menunjukkan ketakutan yang nyata.
Ardan melangkah menjauh, kembali duduk dengan tenang. “Aku punya waktu, Claudia. Banyak sekali waktu... tapi aku ragu kau bisa sekuat itu.”
Hening menguasai ruangan, nafas Claudia memburu. Tatapannya liar, seolah mencari jalan keluar. Hingga akhirnya, suara parau keluar dari bibirnya nyaris tak terdengar.
“A-ada seseorang yang membawanya pergi….”
Ardan menyipitkan mata, menajamkan telinganya. Senyumnya dingin, puas. Ia tahu, tembok pertahanan Claudia mulai runtuh.
Claudia menggigit bibirnya, matanya melirik ke kanan-kiri seolah mencari udara. Kalimat yang lolos barusan membuatnya panik, dan kini ia berusaha menutupinya.
“Aku memang berniat menculik wanita itu, tapi aku terlambat. Ada seseorang yang lebih dulu menculiknya, aku tidak tahu pasti. Aku hanya__“
“Claudia! Kesabaranku terbatas, jangan mencoba menjual kebohongan murahan padaku.”
Claudia terdiam, nafasnya semakin berat.
Ardan melangkah perlahan kembali ke arahnya, lalu jongkok tepat di depan kursi sejajar dengan wajah wanita itu. Suaranya tenang, namun nadanya mengiris.
“Dengar baik-baik, aku tidak butuh dramamu. Aku hanya butuh kebenaran! Jika benar ada orang lain yang membawanya, sebutkan saja nama orang yang membawa Nadira pergi... lalu selesai. Kau bisa keluar dari sini hidup-hidup!"
Mata Claudia bergetar, ia berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh. Tapi Ardan tidak berhenti di situ. Ia mendekatkan wajahnya, hanya sejengkal darinya.
“Atau, kau akan tetap memilih bungkam? Jika itu maumu, aku bisa pastikan... tak seorang pun akan menemukan mu disini, bahkan Ayahmu!"
Claudia menelan ludah, tubuhnya gemetar.
Ardan menghela napas, lalu berdiri tegak. “Kau tahu, yang paling menyakitkan bukan rasa lapar atau haus. Tapi... kau perlahan akan mati sendirian tanpa ada yang tau keberadaan mu. Dan, itulah yang akan terjadi padamu kalau terus membisu.”
Claudia menunduk, bahunya goyah. Jemarinya yang terikat mengepal lalu mengendur. Air mata akhirnya menetes di pipinya, ia tahu dirinya terpojok. Dan Ardan, dengan ketenangan yang membekukan, menunggu pengakuan penuh keluar dari bibir wanita yang selama ini berusaha menjatuhkannya.
Ardan tetap berdiri di hadapannya, tak bergeming sedikit pun. Tatapannya dingin, sabar namun menekan. Ia tidak perlu berteriak, diamnya saja sudah menjerat Claudia seperti tali yang makin kencang.
Lalu, dengan suara parau penuh kepasrahan, Claudia berbisik lirih. “Itu… Mama-mu. Waktu aku meneleponnya… Ibumu bilang sudah memaafkan ku atas semua yang kulakukan padamu tujuh tahun lalu. Ibumu juga berkata… kau sekarang adalah seorang bos besar, lelaki berkuasa. Dan wanita yang pantas bersanding denganmu, hanyalah aku.”
Suaranya Claudia bergetar, namun jelas. “Meski Nadira tak bersalah, ibumu tetap berkata… Nadira tidak pantas menjadi menantunya. Jadi, Ibumu lah yang membawanya pergi. Agar kau tak bisa menemukan Nadira, agar kau akhirnya melepaskannya… dan memilih aku.”
Kata-kata itu jatuh satu per satu seperti pisau yang menemmbvs dada Ardan. Tatapannya membeku, urat di pelipisnya menegang. Sementara hatinya bergejolak penuh amarah, dan kekecewaan terhadap ibunya.
Namun, dia masih tak percaya ibunya bisa melakukannya... Tapi?
Meskipun ada bagian dari dirinya yang berusaha menyangkal, tapi potongan-potongan kejadian sebelumnya mulai bersatu di kepalanya. Bagaimana Nadira menghilang tanpa jejak, bagaimana hanya orang berkuasa yang bisa melakukannya.
Mama!
Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒