CEO Dingin-Ku Mantan Terindah-Ku
Hari itu, udara Jakarta begitu panas dan menyesakkan. Meski begitu, langkah-langkah Nadira terasa ringan. Dengan map cokelat di tangan, dia menatap gedung pencakar langit yang berdiri angkuh di hadapannya. Arsena Group, perusahaan multinasional yang baru saja menerimanya bekerja sebagai sekretaris.
Wanita itu mengeratkan genggaman pada mapnya. Hatinya berdebar, campuran antara gugup dan semangat. Baginya, bekerja di sini adalah kesempatan besar. Dengan bayaran tinggi, reputasi bagus, dan yang terpenting adalah masa depan yang lebih cerah setelah beberapa tahun ini dia hidup sederhana setelah keluarganya bangkrut.
Begitu memasuki lobby, Nadira langsung terpana. Dinding kaca, lantai marmer mengilap, aroma parfum mahal yang samar tercium di udara. Semua pegawai tampak rapi dan berjalan cepat, seolah waktu mereka adalah emas.
“Nadira, kan? Sekretaris baru?” sapa seorang wanita ramah di meja resepsionis.
“Iya, Mbak. Saya, Nadira.”
“Silakan naik ke lantai 27, ruangan CEO. Beliau sudah menunggu, hari ini kamu langsung mulai bekerja.”
Nadira mengangguk sopan, hatinya makin berdebar saat dia menuju lift. “Langsung ketemu CEO, mudah-mudahan orangnya nggak galak …”
Di dalam lift, Nadira mendengar bisikan-bisikan kecil dari dua pegawai wanita di sampingnya.
“Kamu tahu nggak, CEO kita itu terkenal dingin banget. Hampir nggak pernah senyum.”
“Iya, katanya tatapannya aja bisa bikin karyawan salah input data.”
“Waduh, serem banget ya.”
Nadira menelan ludah. Dia memang mendengar rumor bahwa CEO Arsena Group masih muda, tampan dan luar biasa cerdas, tapi … dingin. Semua karyawan tampaknya setuju bahwa pria itu seperti es batu berjalan.
Pintu lift berbunyi ting! dan terbuka. Lantai 27 terlihat berbeda, lebih sepi, lebih elegan dan penuh aura kekuasaan.
Seorang asisten pria mendekat, “Kamu Nadira, ya? Mari, saya antar ke ruangan CEO.”
Langkah Nadira terasa berat, seolah sepatunya menempel di lantai. Tapi begitu pintu besar berwarna hitam elegan itu terbuka, dia terdiam.
Di balik meja besar, seorang pria berdiri dengan jas hitam rapi. Rambut hitam legam disisir ke belakang, rahang tegas, hidung mancung, sorot mata tajam yang bisa menembus pertahanan siapa pun.
Namun yang membuat Nadira ternganga bukanlah karisma dingin pria itu. Melainkan… wajah yang sangat dia kenal.
Napasnya tercekat. “Itu… tidak mungkin…”
Pria itu menoleh, sorot matanya menusuk tapi sekilas ada keterkejutan yang sama.
Waktu seakan berhenti. Nadira merasa seperti dilempar kembali tujuh tahun lalu, masa ketika mereka masih mahasiswa yang nekat menikah muda meski tanpa restu orang tua Nadira. Masa ketika dia percaya, pria ini adalah cinta sejatinya.
Pria itu adalah Ardan Wirajaya, mantan suaminya.
“Jadi … kamu sekretaris baru yang direkrut HR?” suara Ardan akhirnya memecah keheningan.
Nadira buru-buru menegakkan tubuhnya, berusaha bersikap profesional meski jantungnya seperti ingin pecah. “Benar, Tuan. Saya… Nadira, siap bekerja sesuai arahan Anda.”
Suaranya terdengar terlalu formal dan terlalu kaku, bahkan untuk dirinya sendiri.
Ardan hanya mengangguk tipis. “Baik! Mulai hari ini, kamu bekerja langsung di bawah kendali saya.”
Tatapan pria itu menusuk, tapi Nadira bisa melihat sesuatu berkilat sekilas dalam mata Ardan.
Apakah itu kejengkelan? Atau… luka lama yang belum sembuh?
Nadira tak tahu, yang jelas suasana mendadak beraura dingin.
Hari pertama bekerja bersama Ardan, terasa seperti berjalan di atas bara api. Nadira berusaha fokus, mengetik surat, mengatur jadwal meeting hingga menyiapkan kopi. Tapi setiap kali menoleh, dia mendapati tatapan dingin Ardan yang seolah menilai tiap gerakannya.
“Sekretaris harus cekatan, jangan lambat,” ucap Ardan, nadanya dingin.
“I-iya, Tuan.”
Astaga, ini benar-benar mimpi buruk. Bagaimana aku bisa bekerja tenang kalau bosku adalah mantan suamiku sendiri? Nadira mendesah dalam hati.
Saat jam makan siang, Nadira keluar ke pantry untuk mencoba menenangkan diri. Beberapa pegawai lain berkumpul, membicarakan Ardan dengan penuh bisik-bisik.
“Kamu tahu nggak, CEO kita itu belum pernah keliatan punya pacar.”
“Katanya ada sosialita cantik deket sama beliau, Claudia namanya. Cocok banget sih kalau sampai nikah.”
“Ah, masa sih? CEO kita kan terlalu sibuk buat urusan cinta.”
Nadira pura-pura sibuk menuang kopi, tapi telinganya panas mendengarnya. Claudia? Sosialita? Jadi, ada wanita yang sedang dekat dengan Ardan?
“Astaga, Nadira … jangan kepo! Itu bukan urusanmu lagi,” bisiknya pada diri sendiri, menepuk pelan pipinya agar sadar.
Sore harinya, sebuah kejadian kecil membuat suasana makin tegang. Nadira terburu-buru membawa dokumen ke ruangan Ardan. Namun karena gugup, dia tersandung kabel dan hampir terjatuh. Berkas-berkas berhamburan di lantai.
“Ya ampun!” Nadira panik, buru-buru memungut kertas yang berserakan.
Ardan berdiri, menatapnya tajam.
“Kamu masih ceroboh, Nadira.”
Nadira terdiam, kata-kata itu seperti kilatan masa lalu. Dulu Ardan sering menegurnya dengan kalimat yang sama, setiap kali dia menumpahkan kopi atau menjatuhkan buku.
“A-aku minta maaf, Tuan.”
Ardan mendekat, berjongkok ikut memungut kertas. Jemarinya hampir bersentuhan dengan tangan Nadira, membuat wanita itu terkejut.
Sejenak, mata mereka bertemu. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang familiar dan sesuatu yang dulu membuat Nadira jatuh cinta habis-habisan pada laki-laki yang selalu bersikap hangat padanya itu. Namun pria di depannya saat ini, sangat... dingin.
Ardan menarik diri, berdiri tegak lalu bicara dengan nada dingin. “Lain kali lebih hati-hati! Jangan ulangi lagi!”
Nadira menunduk, menahan napas.
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa bertahan bekerja disini dengan sikapnya yang dingin begini?
Hari mulai gelap. Setelah semua pekerjaan selesai, Nadira membereskan mejanya. Dia berniat pulang cepat, tapi panggilan dari interkom membuatnya kaget.
“Nadira, masuk ke ruangan saya.” Suara berat Ardan terdengar.
Dengan hati-hati, Nadira masuk. Ardan berdiri di dekat jendela besar, memandang keluar ke arah lampu-lampu kota.
“Kenapa kamu melamar kerja di sini?” tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh.
Nadira tercekat. “Karena… saya butuh pekerjaan, Tuan. Saya tidak tahu kalau Anda… yang memimpin perusahaan ini.”
Ardan menoleh perlahan, tatapannya menusuk. “Kebetulan yang aneh, bukan?”
Nadira menggigit bibirnya, tak tahu harus menjawab apa.
Ardan melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. Sorot mata dinginnya, membuat Nadira sulit bernapas.
“Aku ingin tahu… apakah kamu datang kesini hanya untuk bekerja, atau… untuk alasan lain?”
Pertanyaan itu menghantam Nadira. Hatinya berdesir, tapi juga terasa sakit. “Apa maksud Anda, Tuan? Saya tidak mengerti.”
Ardan menahan diri sejenak lalu tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. “Baiklah, terserah padamu. Tapi, kita lihat saja nanti.”
Malam itu saat akhirnya keluar dari gedung, Nadira menarik napas panjang. Dadanya sesak, pikirannya penuh kekacauan.
Dia berjanji pada dirinya sendiri.
Aku datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk membuka luka lama.
Tapi entah mengapa setiap kali mengingat tatapan Ardan, hatinya bergetar. Dan dia tahu, perjalanannya baru saja dimulai.
“Ngomong-ngomong, apa dia masih pakai boxer gambar singa, ya?“
Nadira tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri. Ingatannya melayang ke masa lalu, waktu Ardan heboh mencari boxer yang hilang. Karena panik dan buru-buru mau kuliah, ujung-ujungnya dia malah nekat pakai CD Nadira. Sampai sekarang tiap kali teringat, Nadira masih geli sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Endang Sulistia
aku kurang suka panggilan tuan,nyonya atau nona...maaf ya thor
2025-09-14
1
Ma Em
aku mampir Thor , Semoga Nadira bisa taklukan CEO dingin Ardan ya 💪💪😄😄
2025-09-04
2
👣Sandaria🦋
harusnya tadi saat Ardan pasang tampang dingin sedinginnya itu, Nadira langsung ingatkan dia kalau dulu pakai CD Nadira. jangan-jangan saat ini dia masih pakai🤣
2025-09-05
0