Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aioz - I Wish Her All The Best
Saat itu ia hanya tahu bahwa kursi duduk dalam mobil begitu keras. Udara menerpa telapak tangannya, membuatnya semakin mendingin. Caroline merasakan ketakutan tidak berdasar di dalam hatinya, seberapa banyak pun ia berusaha menepisnya. Dia hampir menyerah jika tangannya tidak digenggam dari awal kakinya menginjak marmer putih bersih disana.
“Semua akan baik-baik saja.” Hiburan itu masih bergema biarpun sudah diucapkan mungkin lima belas menit lalu, atau sepuluh menit lalu?
Caroline masih sulit menghilangkan perasaan gelisahnya. Ia tidak mengerti apa yang keluar dari bibir Pram dan dokter di depannya. Ia hanya tahu bahwa ini seharusnya menjadi sesi konsultasi pertamanya semenjak terbangunnya ia dari koma, dan sesi konsultasi ke-tujuh belasnya jika dihitung sebelum itu.
Kacamata di atas meja. Gelas kopi yang belum habis semua. Sedikit noda di meja dan embun karena suhu dingin. Kalender yang disilang merah. Layar komputer yang menyala. Sebuah buku sepaket dengan pena.
Suara pena dan suara bergantian antara dua orang itu sudah berhenti.
Caroline merasa bahwa sepertinya, dokter itu baru saja mengajukan pertanyaan entah untuk siapa.
Mungkin dirinya?
Maka dia memfokuskan pandangan pada wajah lembut yang berhadapan dengannya. Melihat bibir itu bergerak, Caroline masih sedikit tidak paham sebelum telapak tangannya yang dingin digaruk. Dia menoleh ke Pram dan mendengar suara yang lebih jelas darinya. Seolah telinganya bindeng jika dokter itu yang angkat bicara.
“Dokter Karina menawarkan teh susu padamu.”
Caroline menggeser pandangan ke Dokter Karina yang mengangkat lengannya, disana memegang sekotak teh yang ia rasa cukup enak dipandang kemasannya. Mencicitkan ungkapan terima kasih, jarinya agak gemetar saat menancapkan sedotan ke kotak kecil itu.
“Gugup hal yang biasa, minum ini dulu ya.”
Caroline memaksakan senyum, tapi rasanya bibirnya begitu sulit untuk melengkung. Dia mendekatkan mulutnya ke sedotan dan mulai menarik isinya keluar. Saat isi teh di dalamnya menyentuh ujung lidahnya, matanya membelalak.
“Ini.. cukup enak. Aku suka dengan rasanya,” ungkapnya.
Dokter Karina tersenyum, sangat lega. Dia berbicara lagi, “Oh ya? Kalau begitu aku akan selalu menyiapkannya lagi setiap kali kau datang kemari.”
Caroline merasa pernah mendengarnya, namun ia tidak tahu dimana. Dia mengangguk dan meneguk lagi. Setelah itu ia merasakan telinganya tidak tuli karena ditutupi detak jantungnya, dan matanya jauh lebih cerah.
“Begini, tadi saat meminumnya, apa yang membuatmu menyukainya?”
Yang ditanya otomatis menoleh pada Pram, dan dia dibalas dengan senyuman dan dorongan untuk menjawabnya sendiri. Maka Caroline menatap lagi dokter itu, “Tidak terlalu manis, agak polos, seperti vanilla.”
Dokter Karina menjawabnya lagi, “Wah benar juga, ngomong-ngomong dulu juga ada yang pernah mengaku menyukai ini karena tidak terlalu kuat manisnya. Berarti belakangan ini kamu juga lebih suka mengonsumsi sesuatu yang rasanya tidak mencolok?”
“En. Kurasa telur rebus oke, tapi terkadang aku rasa bagian putihnya agak amis sehingga membuatku agak mual. Wortel warnanya terlalu mencolok. Mungkin jika sawi putih atau bayam, aku tidak keberatan,” jawab Caroline tanpa sadar.
mata Pram membola, ia masih mendampingi di samping. Seharusnya disini hanya Caroline saja, tapi ia teringat saat perempuan itu berhenti di depan pintu ini.
“Pram, boleh temani aku?” Katanya.
Pram berhenti memusingkannya dan sudah mendengar pertanyaan baru. "Menarik sekali, Ine. Jadi kamu cenderung memilih rasa yang lebih lembut dan warna yang tidak mencolok, ya? Kalau teksturnya ada komentar?"
"Tekstur... aku suka yang lembut, seperti sup atau bubur. Tapi aku juga tidak keberatan dengan yang renyah, seperti keripik, asalkan tidak terlalu berminyak. Aku kurang suka makanan berminyak."
Caroline teringat saat dalam jamuan bangsawan, ia dipaksa menelan daging dingin dan dilapisi minyak tebal sampai bibirnya berkilat. Ia terkadang masih memiliki perasaan itu saat melihat daging, apalagi yang berlemak. Membayangkan bulu kecil di atas lemak saja sudah membuatnya merinding.
Pratama sedikit mengerutkan kening. Ia ingat istrinya dulu sangat menyukai gorengan renyah, kontras dengan apa yang ia katakan sekarang. Tapi dia dengan cepat merubah ekspresinya menjadi semula, hanya menjadi pendengar.
Caroline baru saja memikirkan daging berminyak sebelum teringat wajah riang Natasya dan Frans yang memasak ayam mentega, dan dia menetapkan sesuatu.
“Oh, kecuali ayam mentega. Aku mengecualikannya,” lanjutnya mendadak.
"Hmm… sepertinya preferensimu sedikit berubah atau mungkin ini sudah lama ada tapi baru muncul kembali. Bagus sekali kamu bisa menyadarinya. Pernahkah kamu merasa ada makanan tertentu yang memicu perasaan aneh, mungkin rasa familiar tapi tidak bisa kamu tempatkan?"
Caroline terdiam, berpikir keras. Ia menggenggam erat kotak teh susunya. Lalu ia teringat dengan kotak ramen yang ia pernah lihat di smartphonenya.
"Ada... ada satu. Dulu ada iklan disini.”
Caroline mengangkat telepon pintarnya. “Ada semacam kotak dengan ramen yang mengepul dan rasanya aku pernah memakannya? Belum pernah selama aku bangun, tapi aku rasa itu cukup akrab dan lidahku kebas tiba-tiba, Dok.”
Pratama menahan napas. Ia ingat cerita itu. Saat masih mahasiswa, Caroline pernah mencoba makan ramen instan yang sangat pedas di sebuah warung kecil karena iseng.
Caroline bahkan sempat menangis karena itu.
“Ngomong-ngomong panggil aku Karin atau Rin. Kita sepantaran,” balas Dokter itu lagi.
“Oke.” Caroline mengisap lagi sedotannya sampai kotak itu mengempit dan sedikit mengeluarkan suara. Tanda bahwa isinya sudah kering kerontang.
Dokter Karina mencatat dengan penanya, sesekali melirik Pratama yang kini tampak lebih tegang namun juga penuh harap.
Mengajukan pertanyaan sederhana lainnya, seolah seperti teman karibnya ketimbang pihak medis. Kini ia sudah bisa berbicara lebih lancar dan tersenyum sesekali saat mendengarkan gurauan kecil. Hingga Dokter Karina memberikannya sebuah buku kosong.
“Hadiah kecil untukmu. Aku harap kamu bisa menggunakannya dengan baik.”
Caroline ingin menolaknya, tetapi lengannya tetap terjulur dan menerima buku kosong itu. Saat membukanya, ia hanya melihat puluhan halaman bersih, tidak ada noda.
“Ini.. untuk apa?”
“Jika ada yang mengganggumu, menyenangkanmu, menggelisahkanmu, menghiburmu, menarik perhatianmu, isilah buku ini. Bisa gambar, tulisan, corat coret berwarna. Tadi kamu juga berkata bahwa kamu suka menggambar tanaman, bukan? Nah disini kamu bisa menggambarnya juga, sesukamu.”
Caroline menyetujui penuh pengertian dan menitipkannya pada Pram, saat ia mengira Dokter Karina akan bertanya lagi, ia melirik kertas data yang sudah diisi penuh dan wanita berjas putih itu mengatakan bahwa sesinya sudah berakhir.
Dia agak tidak yakin. Empat jam berlalu begitu cepat?
Saat Caroline tertegun, dia masih terjebak dalam pikiran lagi sehingga konsentrasinya menghilang lagi. Saat Dokter Karina melihatnya, ia menahan desahannya dan memberikan sekumpulan saran di dalam kertasnya. “Pulang dari sini, baca lagi lebih baik. Ini hal yang berubah semenjak ia bangun, dan ikuti saja.”
“Kondisinya sepertinya kembali ke awal, tapi tidak seburuk itu. Saya akan coba pancing lagi seperti tadi, agar dia bisa konsentrasi dan tidak terlalu gugup. Juga agak waspada, karena kuperhatikan ada yang hilang dan ada yang muncul dari sikap dan kesukaannya. Kecuali itu begitu kuat, dia pasti akan mempertahankannya.”
Dokter Karina menjelaskan obat yang bisa ditebus, dengan dosis yang tidak dikuatkan dan tidak dikurangi. Mempersilahkan Pram mengambilnya di loker pengambilan obat nanti.
“Baiklah,” jawab Pram sambil melihat sekilas isi catatan yang sangat panjang. Artinya ada perubahan besar disini. “Apakah ada lagi?”
Dokter Karina membolak-balik halamannya.
“Untuk saat ini, pastikan Caroline mendapatkan lingkungan yang tenang.
Hindari tekanan atau pertanyaan yang terlalu mendesak tentang ingatannya. Biarkan dia menjelajahi sendiri, tapi jangan dilepas terlalu bebas. Terus ajak dia melakukan kegiatan rutin yang menyenangkan. Dan jangan ragu untuk menuliskan apapun yang ia rasakan atau ingat di buku jurnal itu.”
"Baik, Dokter. Kami akan melakukannya."
Dokter Karina menggerakkan jari di atas keyboard lalu mengirimkan berkas ke tempat administrasi. Menyimpan rekaman dan data tertulis di tangannya. Lalu dia menoleh ke Caroline dan mencoba menyadarkannya lagi dengan mengetuk meja hampir enam kali, seperti yang biasa ia lakukan ke anak kecil.
Dan itu berhasil.
“Hari ini pasti melelahkan, pulang dari sini ambil waktu istirahatmu ya. Kita akan bermain minggu depan di dalam sini, juga ada teh susu yang menanti.” Dokter Karina merogoh satu kotak lagi dan memberikannya ke Caroline, “Awalnya aku menyiapkan keripik kesukaanmu, tapi kamu sepertinya kurang menyukainya. Ini, terimalah.”
Caroline mengangguk sedikit bersemangat. Dia mengambil kotak susu itu dan tidak memberikannya pada Pram seperti buku tadi, seolah ia benar-benar menyukainya. Dokter Karina tersenyum tipis, menyadari bahwa masih ada yang sama disini, yaitu Caroline yang menolak memberikan teh spesial ini pada siapapun.