Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.
Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.
Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Selesai makan siang, Qilla kembali ke kelas dengan pikiran yang sedikit lebih segar. Obrolan ringan bersama Arion dan Gin berhasil mengalihkan perhatiannya dari masalah rumah tangga yang belakangan ini membuatnya pusing. Saat melewati koridor, Qilla melihat seorang mahasiswi baru tampak kebingungan mencari ruangan. Dengan ramah, Qilla menghampirinya.
"Cari ruangan, ya? Butuh bantuan?" tanya Qilla sambil tersenyum.
Mahasiswi itu tampak lega dan mengangguk. "Iya, Kak. Saya cari ruang BEM, tapi nggak tahu di mana."
Qilla mengarahkan tangannya. "Oh, itu di ujung sana. Lurus aja, nanti belok kiri. Ada papan namanya kok."
"Makasih banyak, Kak!" ucap mahasiswi itu dengan wajah berbinar.
Qilla mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Ia merasa senang bisa membantu orang lain. Hal-hal kecil seperti ini membuatnya merasa lebih berarti.
Sesampainya di kelas, Qilla melihat bangkunya sudah diduduki oleh seorang pria yang tak asing lagi. Dia adalah Reno, teman sekelasnya yang dikenal usil dan suka bercanda. Reno menoleh dan menyeringai begitu melihat Qilla datang.
"Eh, Bu Ketua! Datang juga akhirnya," sapa Reno dengan nada mengejek.
Qilla memutar bola matanya malas. "Minggir, Ren. Itu bangku gue."
"Santai, dong. Duduk sini aja, sebelah gue," goda Reno sambil menunjuk bangku kosong di sebelahnya.
Qilla mendengus dan tetap berusaha merebut bangkunya. "Nggak, makasih. Gue lebih suka duduk di bangku gue sendiri."
Reno akhirnya mengalah dan bergeser dari bangku Qilla. "Yaelah, gitu aja ngambek. Nggak asik lo!"
Qilla tidak menghiraukan omelan Reno dan langsung duduk di bangkunya. Ia membuka buku catatannya dan mulai membaca materi pelajaran. Namun, pikirannya tetap melayang-layang. Ia teringat lagi pada Brian dan janji-janjinya yang seringkali tidak ditepati.
Ponsel Qilla tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Dengan ragu, Qilla membuka pesan tersebut.
"Qilla, bisa ketemu sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan."
Qilla mengerutkan keningnya. Siapa ini? Dan dari mana dia tahu nomor ponselnya? Perasaan tidak enak mulai menghantuinya. Ia memutuskan untuk tidak membalas pesan tersebut dan mematikan ponselnya.
Bel pulang sekolah berbunyi. Qilla segera membereskan buku-bukunya dan bergegas keluar kelas. Ia ingin segera pulang dan melupakan semua masalahnya. Namun, saat sampai di parkiran, ia melihat seorang wanita berdiri di samping motornya. Wanita itu tampak anggun dengan gaun putih panjang dan rambutnya yang tergerai indah. Qilla merasa tidak asing dengan wajah wanita itu.
"Qilla?" panggil wanita itu dengan suara lembut.
Qilla mengangguk ragu. "Kamu... siapa?"
Wanita itu tersenyum. "Kenalkan, aku Amanda."
Jantung Qilla berdegup kencang. Amanda? Nama itu terdengar sangat familiar di telinganya. Mungkinkah dia...
"Aku... teman Brian," lanjut Amanda sambil menatap Qilla dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Amanda?" Qilla mengulang nama itu dengan nada bertanya. Jantungnya berdegup semakin kencang. "Teman Brian? Teman yang mana?"
Amanda tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Teman lama. Kami sudah kenal sejak lama sekali."
Qilla mengerutkan kening. "Aku tidak pernah dengar Brian cerita tentang kamu."
"Mungkin dia lupa," jawab Amanda dengan nada enteng. "Atau mungkin dia tidak menganggapku penting untuk diceritakan."
Qilla merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan ini. "Maaf, tapi apa maksudmu menemuiku di sini?"
Amanda menghela napas pelan. "Aku hanya ingin bicara. Bisakah kita bicara sebentar? Ini penting."
Qilla ragu sejenak, tapi rasa penasarannya mengalahkan keraguannya. "Baiklah. Tapi tidak di sini. Aku tidak suka jadi tontonan."
"Ada sebuah kafe di dekat sini. Kita bisa bicara di sana," usul Amanda.
Qilla mengangguk setuju. Mereka berdua berjalan menuju kafe yang dimaksud dalam diam. Suasana di antara mereka terasa canggung dan penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Sesampainya di kafe, mereka memesan minuman dan mencari tempat duduk yang agak sepi. Setelah pelayan pergi, Amanda mulai membuka pembicaraan.
"Qilla, aku tahu ini mungkin sulit untuk kamu dengar, tapi aku harus mengatakannya," ujar Amanda dengan nada serius.
Qilla menatapnya dengan tatapan waspada. "Katakan saja."
"Aku dan Brian... kami memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman," kata Amanda dengan suara pelan namun jelas.
Qilla terkejut mendengar pengakuan itu. Ia merasa seperti disambar petir di siang bolong. "Apa maksudmu?"
"Kami saling mencintai," jawab Amanda dengan tatapan yang penuh dengan kesedihan. "Kami sudah lama saling mencintai, bahkan sebelum Brian menikah denganmu."
Qilla tertawa sinis. "Lalu, kenapa kamu baru mengatakannya sekarang? Kenapa tidak dari dulu saja?"
"Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Brian," jawab Amanda. "Aku tahu dia mencintaimu, dan aku tidak ingin menjadi orang ketiga di antara kalian."
"Tapi sekarang? Kenapa kamu berubah pikiran?" tanya Qilla dengan nada yang mulai meninggi.
"Karena aku tidak tahan lagi," jawab Amanda dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak bisa melihat Brian menderita dalam pernikahan yang tidak bahagia. Aku tahu dia tidak bahagia bersamamu, Qilla."
Qilla terdiam mendengar kata-kata itu. Ia tahu ada benarnya. Ia tahu bahwa pernikahannya dengan Brian tidak seindah yang ia bayangkan. Tapi mendengar orang lain mengatakannya, rasanya tetap menyakitkan.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Qilla dengan suara yang bergetar.
"Aku ingin Brian kembali padaku," jawab Amanda dengan tatapan yang penuh dengan harapan. "Aku tahu dia juga menginginkannya."
Qilla menatap Amanda dengan tatapan yang penuh dengan amarah dan kesedihan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa hancur, marah, dan bingung dalam waktu yang bersamaan.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan," ucap Qilla akhirnya. "Aku butuh waktu untuk memikirkannya."
Amanda mengangguk. "Aku mengerti. Aku akan memberimu waktu. Tapi jangan terlalu lama, Qilla. Karena aku tidak bisa menunggu selamanya."
Qilla bangkit dari tempat duduknya. "Aku pergi," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan Amanda sendirian di kafe itu. Air mata mulai membasahi pipinya saat ia berjalan keluar, meninggalkan semua pertanyaan dan kebingungan yang menghantuinya.