Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 / THTM
Hari berikutnya, suasana rumah besar itu seperti biasa — tenang, megah, tapi bagi Nayara terasa menyesakkan.
Ia datang untuk belajar dengan Elara, seperti biasanya, tapi kali ini ia menjaga jarak sejauh mungkin dari kamar sang kakak.
Setiap langkah di koridor terasa berhati-hati.
Setiap bayangan yang bergerak membuat dadanya berdegup.
Ia tahu, pria itu mungkin saja muncul kapan saja — dengan tatapan tajam dan kata-kata yang selalu berhasil menekan napasnya.
“Elara di taman, Nay. Katanya mau kamu bantu ngerjain tugas,” ucap Nyonya rumah sambil tersenyum ramah.
“Iya, Tante,” jawab Nayara sopan, berusaha tampak tenang.
Ia berjalan cepat melewati ruang tengah, tapi suara langkah berat membuat tubuhnya seketika menegang.
Langkah itu terlalu familiar.
Ritmenya… tenang tapi berat.
Langkah seorang pria yang tahu persis seberapa dalam pengaruhnya pada orang lain.
“Kamu pura-pura nggak lihat aku sekarang, Nayara?”
Suara itu dalam — tenang — tapi menusuk.
Nayara berhenti, perlahan menoleh.
Alaric berdiri di ujung lorong, bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, mata tajamnya menatap langsung ke arahnya.
“Aku… aku mau bantu Elara belajar, Kak,” jawab Nayara lirih.
Ia mencoba tersenyum kecil, meski tubuhnya terasa kaku seperti batu.
Alaric menatapnya lama.
“Belajar ya…” gumamnya pelan. “Menarik. Padahal kamu sendiri kayaknya butuh banyak belajar tentang bagaimana berperilaku setelah… malam itu.”
Wajah Nayara langsung memucat.
Ia memandang kanan-kiri memastikan tak ada yang mendengar.
“Jangan ngomong itu di sini, Kak. Tolong,” bisiknya panik.
Alaric menurunkan tangannya, lalu berjalan mendekat perlahan.
Setiap langkahnya membuat Nayara ingin mundur, tapi kakinya seperti menempel di lantai.
Begitu jarak mereka tinggal satu langkah, Alaric berhenti, menunduk sedikit, dan berbisik tepat di telinganya.
“Kalau kamu nggak mau aku ngomong di sini… datang ke kantor sore nanti. Kita ngobrol baik-baik.”
Nada “baik-baik” itu terdengar seperti pisau yang dibungkus sutra.
Nayara menelan ludah.
“Aku nggak bisa, aku—”
“Kalau kamu nggak datang…”
Alaric mengangkat tangannya, menelusuri ujung rambut Nayara lalu menepuk pelan pipinya.
“…aku pastikan kali ini Elara akan tahu semuanya.”
Tubuh Nayara menegang, matanya memanas.
“Kenapa Kak Alaric terus ngelakuin ini?” tanyanya nyaris berbisik.
Suara itu retak — bukan marah, tapi putus asa.
Alaric tersenyum kecil.
“Karena kamu sendiri yang mulai permainan ini, Nayara.”
Ia lalu berbalik, meninggalkannya begitu saja.
Langkahnya menjauh, tapi aroma parfum maskulinnya tetap menempel di udara, membuat napas Nayara berat.
Nayara berdiri di sana lama sekali.
Rasanya seperti terperangkap — tidak bisa maju, tidak bisa mundur.
Kepalanya penuh dengan suara-suara kecil yang saling bertentangan: lawan dia, kabur, jangan datang, tapi kalau nggak datang…
Ia menutup wajah dengan kedua tangan.
“Aku nggak sanggup terus kayak gini…” gumamnya.
“Tapi kalau aku nggak nurut, dia bakal hancurin semuanya.”
Dan di titik itu, untuk pertama kalinya Nayara sadar —
Alaric tidak lagi hanya mengancam tubuhnya.
Ia sedang menghancurkan seluruh kehidupannya perlahan, satu bagian demi satu bagian.
———
Langit sore itu berwarna abu keemasan, dan udara terasa lebih berat dari biasanya.
Nayara menatap ponselnya untuk kesekian kali — jam sudah menunjukkan pukul lima lewat dua belas.
Ia berdiri di depan gedung megah bertingkat, perusahaan milik keluarga Elara, tempat Alaric bekerja sebagai direktur utama.
Tangannya gemetar saat menekan tombol lift.
Langkahnya pelan, seolah setiap langkah mendekatkannya pada jurang yang ia tahu tidak akan bisa ia hindari.
Pintu lift terbuka dengan bunyi lembut.
Di lantai teratas, hanya ada satu ruangan besar dengan kaca tinggi yang menghadap langsung ke langit senja.
Ruangan itu… dingin dan terlalu rapi.
Dan di tengahnya, pria itu berdiri membelakangi jendela, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, tangan diselipkan ke saku celana.
Ia tidak menoleh, tapi suara beratnya langsung memenuhi ruangan.
“Kamu datang juga.”
Nayara menelan ludah.
“Aku cuma mau ngomong baik-baik, Kak,” katanya dengan nada ragu.
Ia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya perlahan.
Alaric akhirnya menoleh, matanya tajam tapi senyumnya tipis — senyum yang sulit ditebak, antara puas dan berbahaya.
“Baik-baik?”
“Lucu juga kamu ngomong gitu, Nayara. Kamu pikir kita ini apa?”
Nayara menunduk. “Aku bukan mau yang lain. Aku cuma mau semuanya selesai.”
Alaric berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi pasti.
“Selesai? Kamu yakin?”
“Kalau aku buka mulut sedikit aja, semua orang tahu kamu pernah jual diri di hotel itu. Kamu pikir keluarga kamu bisa tahan malu?”
Nayara mengangkat kepala, air matanya menetes tanpa suara.
“Kenapa Kak Alaric nggak biarin aku pergi aja?” suaranya pecah.
Alaric diam sejenak, lalu mendekat lebih jauh sampai napasnya terasa di wajah Nayara.
“Karena aku nggak mau.”
“Karena tiap kali aku coba lupain kamu, yang aku inget cuma wajah kamu waktu malam itu.”
Tangannya terulur, menepuk pipi Nayara pelan — bukan lembut, tapi menandai.
“Kamu yang buat aku kayak gini.”
Nayara mundur satu langkah, tapi punggungnya membentur meja.
Ia tidak bisa mundur lagi.
Wajahnya penuh ketakutan, tapi di matanya juga ada sesuatu yang Alaric lihat — semacam kekosongan, kelelahan, dan sedikit rasa pasrah.
“Aku nggak mau terus kayak gini, Kak.”
“Aku capek takut.”
Alaric menatapnya lama, lalu perlahan mencondongkan tubuh, menekan jarinya ke dagu Nayara dan memaksanya menatap.
“Kamu nggak perlu takut asal nurut.”
“Mulai sekarang, kamu datang ke sini setiap hari. Aku yang atur semuanya.”
Nayara membuka mulut ingin protes, tapi Alaric mendekat lebih jauh — cukup dekat hingga ia hanya bisa menatap bibir pria itu.
“Kalau kamu berani nolak… aku cuma butuh satu telepon buat nyebarin semuanya.”
Setelah itu, Alaric menjauh satu langkah dan kembali berdiri di sisi jendela, seolah tidak terjadi apa-apa.
Suara mesin pendingin ruangan satu-satunya yang terdengar.
“Kamu boleh pulang sekarang.”
Nada suaranya datar, tapi dingin.
Dan Nayara tahu — itu bukan perintah, itu ultimatum.
Ia berjalan keluar dengan kaki gemetar, menahan air mata agar tidak jatuh sebelum melewati pintu keluar.
Begitu pintu lift tertutup, ia menekan tombol “Lantai 1” sambil memeluk tasnya erat.
“Aku nggak bisa terus kayak gini…” bisiknya.
“Tapi kalau aku berhenti… semuanya berakhir.”
Dan di lantai atas, Alaric berdiri di depan kaca besar, menatap matahari terbenam dengan wajah tanpa ekspresi.
Namun dalam dirinya, sesuatu mulai berubah — bukan sekadar obsesi, tapi rasa yang bahkan ia sendiri takut untuk mengakui.
———
Sudah hampir dua minggu sejak Nayara terakhir kali menginjakkan kaki di rumah besar keluarga Elara.
Ia sengaja menghindar — dengan alasan sekolah, tugas, atau pura-pura sakit dan berakhir di rumahnya sendirian.
Setiap kali Elara mengajak menginap, Nayara selalu menolak halus.
“Aku capek, Ra. Kayaknya lebih enak tidur di rumah sendiri,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Padahal yang ia hindari bukan rumah itu — melainkan seseorang di dalamnya.
Kini Nayara lebih banyak di rumah kecil mereka di pinggir kompleks perumahan lama.
Dindingnya catnya sudah mulai pudar, tapi hangat.
Ayahnya sibuk di kebun belakang, ibunya masih bekerja sebagai pembantu di rumah besar itu hingga malam, tapi Nayara memilih tinggal.
Ia mulai berusaha menata ulang hidupnya: berangkat sekolah, membantu ibunya, tidur tanpa mimpi buruk.
Namun, ketenangan itu tak pernah benar-benar tenang.
Setiap kali ponselnya bergetar, jantungnya serasa ingin meloncat keluar.
Nama Alaric di layar sudah cukup untuk membuat tangannya gemetar.
Kadang pria itu tak menghubungi sama sekali selama beberapa hari — membuatnya hampir lega.
Tapi ketika rasa aman itu muncul, satu pesan pendek akan datang dan menghancurkannya lagi.
“Kantor. Besok. Jam tujuh malam.”
“Aku tunggu.”
Tak ada sapaan, tak ada alasan.
Hanya perintah — dingin, datar, tapi menekan.
Dan meski ia benci dirinya sendiri, Nayara tetap datang.
Bukan karena mau, tapi karena takut.
Takut pada pria itu, dan pada rahasia yang bisa menghancurkan hidupnya jika terungkap.
Sore itu hujan turun rintik-rintik.
Nayara duduk di teras kecil rumahnya, memandangi jalan tanah yang mulai becek.
Ia menggenggam gelas teh hangat, uapnya menari pelan di udara.
Suara gemericik hujan bercampur dengan aroma tanah basah, menenangkan — tapi hanya sesaat.
Di dalam rumah, terdengar suara ibunya menyiapkan makan malam, memanggil ayahnya yang belum juga masuk.
Suara-suara itu menenangkan Nayara, tapi sekaligus menyayat hatinya.
Karena mereka tak tahu apa yang sebenarnya menjerat dirinya.
“Aku cuma mau hidup tenang,” gumamnya lirih.
“Kenapa rasanya malah makin sesak…”
Ponselnya bergetar.
Nama di layar membuat darahnya berhenti mengalir.
Alaric: “Kamu pikir aku nggak tahu kamu pulang ke rumah?”
Nayara menggigit bibir. Tangannya gemetar saat membaca pesan berikutnya.
Sepertinya pria itu sangat kesal karna sudah menjauh dari pria itu dan tidak pernah membalas pesan pria itu.
Alaric: “Besok sore aku datang. Jangan coba sembunyi.”
Petir kecil menyambar di kejauhan, membuat jantungnya melompat.
Hujan makin deras, tapi tubuhnya terasa panas.
Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela — pucat, takut, tapi ada sesuatu lain di matanya.
Sesuatu yang ia sendiri tak mengerti — antara takut dan rindu yang menyiksa.
“Sampai kapan aku harus terus begini…”