Shana bersedia menjadi pengganti bibi-nya untuk bertemu pria yang akan di jodohkan dengan beliau. Namun siapa yang menyangka kalau pria itu adalah guru matematika yang killer.
Bagaimana cara Shana bersembunyi dari kejaran guru itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32 Insiden di minimarket
.......
.......
"Ah, Vino pergi deh," ujar Mia seperti tengah menyesal. Shana diam tidak peduli. Dia sedikit bersyukur tidak lagi jalan beriringan dengan cowok itu. "Kita ke minimarket dulu. Aku haus," ujar Mia.
Shana setuju. "Oke." Stang motor pun berbelok ke kiri. Ini minimarket 24 jam. Mia turun lebih dulu. Lalu segera melesat masuk menuju minimarket. Shana turun belakangan.
Dari dalam minimarket, seorang perempuan baru saja keluar. Lalu di susul orang yang lain, seorang perempuan paruh baya. Tampaknya suasana di dalam minimarket lumayan ramai.
Shana masih di atas motornya. Dia membuka ponsel, lalu melihat notifikasi ponselnya kosong. Tidak ada bibinya mengirim pesan lagi.
"Tidak mungkin Bibi enggak pulang kan?" gumam Shana.
"Copet! Copet! Tolong copet!"
Mendadak sebuah teriakan mengejutkan Shana. Ia mendongak. Seorang wanita dengan pakaian lusuh berlari ke arahnya. Insting Shana menyala. Dia langsung berdiri tegak dan melemparkan diri ke arah wanita lusuh yang berlari agak limbung ke arahnya.
Bruk! Karena tidak ada kesiapan sama sekali, tubuh wanita lusuh itu langsung ambruk menerima lemparan tubuh Shana padanya.
"Aghh!" teriakan nyaring wanita lusuh itu terdengar. Shana meringis sesaat. Namun dengan cekatan ia mengunci tubuh itu.
Mia yang mendengar keramaian di luar langsung berlari menghampiri. Dia punya firasat buruk. Bahkan pegawai minimarket yang hendak membuang sampah diluar juga ikut mendekat setelah melempar kantung sampahnya sembarangan.
Pegawai laki-laki itu langsung ikut membantu Shana untuk membekuk pencopet. Karena ada dua orang yang mengunci tubuhnya, wanita lusuh itu pun tidak bisa bergerak.
Beberapa orang yang melihat kejadian ini mendekat. Mereka mendiskusikan mau di bawa kemana pencopet ini.
Kaki Mia bergerak mendekati setelah ia menganga melihat Shana berhasil menggagalkan rencana pencopetan.
"Kamu enggak apa-apa, Shan?" tanya Mia cemas. Shana yang sudah berdiri dan membersihkan pakaiannya dari debu mengangguk. "Keren banget barusan," puji Mia takjub.
"Kebetulan aja," ujar Shana. "Kamu lihat hape ku?" Shana kebingungan melihat ponsel di tangannya raib.
"Hape?" Mia ikut celingukan untuk mencari di sekitar Shana berdiri. "Ah, itu dia." Mia menemukan sebuah ponsel yang ... pecah. "Shan, hape mu ..."
Shana ikut melihat ke arah yang di tunjuk oleh Mia. Bola matanya melebar. Benda pipih yang tergeletak di atas aspal itu terlihat menyedihkan.
Tangan Mia memungut ponsel yang berada tidak jauh darinya itu. Lalu menunjukkan pada Shana keadaan ponsel itu. Wujudnya tak lagi indah. Banyak retak di segala sisi.
"Oh, tidakkk ...," geram Shana melihat ponselnya. "Aw ...," jerit Shana tertahan ketika ia mencoba berjalan mendekat ke Mia.
Bola mata Mia mengerjap. Jeritan tertahan apa itu barusan? Namun dia langsung abai, ketika tangan Shana meraih ponselnya.
"Hapeku ... Hapeku kenapa jadi begini?" ratap Shana memilukan. Mia menghela napas melihat temannya bersedih.
Seorang ibu dan perempuan seumuran bibinya tampak berbicara pada pegawai minimarket. Lalu seorang perempuan paruh baya menoleh ke arah Shana.
"Kalau begini kan pasti rusak ini. Gimana nih?" keluh Shana seraya melihat ke arah Mia dengan wajah sedihnya.
Ibu itu mendekat pada Shana yang masih bersedih tentang ponselnya. Ibu itu masih diam meskipun sudah berada di dekat gadis-gadis ini. Itu membuat mereka makin tidak sadar keberadaan beliau.
Mia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal karena bingung juga dengan keadaan Shana. Saat itu dia baru menyadari keberadaan perempuan paruh baya yang trendy tanpa meninggalkan atribut dirinya adalah seorang ibu.
"Shan." Mia mencolek bahu Shana.
"Gimana nasib hapeku? Heh, apa?" Dalam ratapannya, Shana menoleh.
"Dia siapa?" bisik Mia dengan kode agar Shana melihat ke belakangnya.
Shana menoleh ke arah yang di maksud Mia. Dia melihat seorang perempuan paruh baya di depannya.
"Aku tidak tahu," jawab Shana dengan berbisik juga. Ibu itu tersenyum ketika tubuhnya sudah dekat. Kini beliau berdiri tepat di depan Shana. Gadis ini pun merespon dengan senyum juga, tapi dengan rasa canggung.
"Kamu yang tadi melumpuhkan wanita copet itu?" tanya beliau ramah.
"I, iya," jawab Shana masih dengan rasa canggung yang sama.
"Terima kasih sudah membuat pencopet itu gagal." Ibu itu tampak bersyukur. Ternyata benar beliau adalah orang yang kecopetan tadi. "Itu hape kamu?" Beliau menunjuk pada ponsel Shana yang menyedihkan.
Bibir Shana tersenyum kaku. "Iya." Secara halus, Shana menyembunyikan ponselnya yang rusak. Mia ikut tersenyum.
"Maaf ya. Bisa beri nomor telepon kamu? Saya mau bertanggung jawab soal hape kamu."
"Anu ... Tidak apa-apa. Saya bisa memperbaikinya sendiri." Shana menggoyangkan tangannya bermaksud untuk menolak.
"Kamu bisa servis hape sendiri?" Ibu itu terkejut sekaligus takjub.
"Bukan. Bukan begitu. Saya tidak sepintar itu. Maksudnya saya bisa menyerahkan hape ini pada saudara saya yang bisa servis." Jari-jari Shana bergerak gelisah.
"Oh begitu ya ..." Perempuan paruh baya ini tergelak. "Gimana ini, saya jadi enggak enak. Karena bantuan kamu, saya bisa mendapatkan dompet saya kembali. Bukan soal dompetnya atau uangnya. Isinya hanya sedikit." Perempuan itu mengibaskan tangannya ketika mengatakan kalimat terakhir. Beliau sedang bercanda rupanya.
Shana dan Mia ikut tergelak. Lucu juga ibu satu ini.
"Ktp dan kartu-kartu lainnya itu yang penting."
Shana dan Mia mengangguk mencoba mengerti. Padahal dalam otak mereka, yang penting adalah uangnya! Namun mungkin bagi Shana, kartu juga penting setelah kejadian kartu pelajarnya yang hilang. Ia sedikit mengerti rasa itu.
Perempuan yang seumuran dengan bibinya ikut mendekat. Sepertinya masalah di selesaikan secara kekeluargaan karena wanita lusuh itu sedikit kurang waras.
"Gimana Bude?" tanya perempuan bertubuh agak gendut itu.
"Hape-nya pecah karena menolong Bude tadi. Terus Bude mau membantu, ternyata dia enggak mau." Ibu itu menjelaskan.
Perempuan agak gendut itu melihat ke arah Shana. Bola mata Shana dan Mia mengerjap karena di tatap seperti itu. Sepertinya dia ingin melihat kondisi ponsel Shana juga, atau malah tidak percaya.
"Benarkah tidak apa-apa? Kalau hape mu memang rusak, Budhe mau ganti biaya untuk servisnya." Perempuan seumuran Bibi Raisa itu bicara dengan nada agak cepat. Sepertinya itu suatu kebiasaan. Namun masih bisa di dengar dengan baik oleh indra pendengaran dua cewek ini. "Enggak apa-apa kok. Budhe mau berterima kasih."
"Enggak apa-apa kok, Tante. Biar nanti aku bawa ke saudara ku yang tukang servis." Shana tetap pada pendiriannya. Mia menganggukkan kepala. Memberi penegasan kalau memang temannya tidak mau menerima bantuan.
Perempuan paruh baya dan keponakannya itu berbicara sebentar.
"Kalau begitu ... " Perempuan gendut itu mengeluarkan dompetnya.
Uang! Dalam hati mereka berteriak.
"Karena kamu kelihatannya tetep enggak mau terima bantuan dari Bude ku, jadi aku kasih ini aja." Perempuan itu menyerahkan sebuah kartu. Shana dan Mia melihat ke arah kartu itu. Ada nama minimarket di depan mereka. Ternyata itu bukan uang.
"Ini apa?" tanya Mia spontan. Shana tadi mau bertanya juga, tapi urung karena tidak enak. Namun dia bersyukur juga jika ada yang menanyakan soal itu.
"Ini voucher belanja di minimarket ini. Tentu enggak harus minimarket ini. Kalian bisa membeli sesuatu memakai voucher ini di gerai yang lain." Perempuan itu menjelaskan. Memang di sana ada nominal 100 ribu.
keep fighting 💪