[Lanjutan dari novel "Aku hanya Figuran"]
Awalnya kupikir Kamu hanyalah gadis biasa-biasa saja. Namun mata polosmu mengalihkan semuanya. Aku tak bisa berpaling. Timbul ketertarikan untuk mengenalmu lebih dalam lagi. Hingga akhirnya Aku sadar, Aku telah jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesonamu.
Hei Khansa Aulia, Yohan Alexander menyukaimu. Sadarkah Kau dengan hal itu? (Yohan Alexander)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[POV Alex] Ch 28 - Menyusulmu ke Hotel
Kulihat wajah sahabatku itu tampak sumringah. Dia terlihat lebih tampan dari biasanya. Namun raut wajah mesum masih terlihat jelas di wajahnya. Sekali mesum, selamanya akan tetap mesum.
Aku melambai-lambaikan tangan, berusaha mencari celah perhatiannya. Benar saja. Begitu melihatku, Dino langsung turun dari singgasananya dan berlari menghampiriku. Dia mengeplak (memukul) kepalaku sebelum memelukku dengan erat.
"Mesum k*rang ajar!! C*cunguk mesum!! Berhasil kamu ya!! Kamu pasti bahagia!! Dasar s*tan mesum!!" Dino memelukku, kemudian melepasnya hanya untuk kembali memukul kepalaku.
"Sebagai gurumu, aku bangga!! Aku pikir benda ini sudah tak ada gunanya!! Ternyata hanya dengan sekali tembak, kamu berhasil juga. Aku bangga Nguk!!" Dino kembali memelukku, sementara tubuhnya berjingkrak-jingkrak. Sepertinya dia sangat bahagia dan bangga dengan pencapaianku.
"Lepas. Aku mau nyari Khansa dulu."
"Mau kemana? Di sini saja. Ceritakan semuanya padaku..."
"Aku sudah cerita semua C*k. Aku mau bawa Khansa ke sini..."
"Aku tadi sudah melihatnya. Kami sudah bersalaman. Aku melihatnya sendiri Nguk. Perutnya buncit!! Juniormu benar-benar berhasil melakukan tugasnya dengan baik. Aku bangga, aku bangga!" Dino menepuk-nepuk bahuku dengan menyebalkan. Ekspresi wajahnya seolah-olah menyatakan, bahwa dia bangga dengan hasil kerja kerasku.
"Kamu sudah melihatnya C*k? Dia cantik kan? Apalagi dengan perut besar..."
"Ya, ya, yang penting kamu seneng deh Nguk. Di matamu kan hanya ada Khansa, tentu saja dia yang paling cantik. Kamu bahagia kan? Boleh nampar kamu nggak Nguk? Aku benci melihat senyum ini." Dino berlagak akan menampar, tapi aku membiarkannya. Senyum lebar tak kunjung hilang dari wajahku.
Aku melihat sahabatku dengan perasaan berterima kasih. Tanpa Dino hal ini tidak mungkin terjadi. Dino memiliki andil besar dalam membuat Khansa menjadi milikku. Dari awal hingga akhir, pria itu selalu mendampingiku. Melakukan semua perintah maupun permintaanku bagaikan pesuruh. Rasa terima kasihku terhadap pria ini begitu besar.
"Terima kasih sobat." Aku memeluk Dino. Ucapan terima kasih rasanya tidak akan pernah mewakili semua hal yang dilakukan pria itu untukku. Aku beruntung memiliki sahabat seperti Dino. Sahabat seperjuangan yang selalu ada untukku.
Dino membalas pelukanku. Dia menepuk-nepuk punggungku, "Aku ikut senang Nguk. Berbahagialah Nguk. Berbahagialah kalian berdua. Kamu pantas mendapatkannya Nguk. Kalian berdua pantas untuk bahagia..." Bagaikan dua pria cengeng, kami saling mengungkapkan kebahagiaan pada satu sama lain. Dino turut bahagia atas bersatunya aku dengan Khansa, sementara aku dengan tulus mendoakan kebahagiaan Dino dengan istrinya.
Setelah beberapa saat mengobrol, aku mulai pamit undur diri untuk mencari Khansa. Aku melayangkan pandang, namun tidak kulihat Khansa dimana-mana. Terselip rasa panik di dada, namun aku meyakinkan diri bahwa Khansa tidak akan pergi kemana-mana.
Aku mulai menyusuri ruang aula. Menghampiri kerumunan satu persatu, berharap melihat Khansa di sana. Namun, lagi-lagi aku tidak menemukannya. Aku bertanya pada Diana, namun wanita itu tidak mengetahuinya juga.
Aku melupakan satu hal penting. Khansa tidak pernah berada di kerumunan. Dia selalu menyendiri. Membuat sosoknya transparan dan tidak tampak di mata orang lain. Berbekal hal itu, aku mulai mencari Khansa di sudut-sudut ruangan. Benar saja, aku melihat sosoknya.
Khansa tampak duduk seorang diri. Seolah-olah tidak ada yang menyadari keberadaannya. Dia melamun, menatap sekitarnya. Raut wajahnya tampak bingung sekaligus sedih. Hatiku selalu sakit melihat sosoknya yang seperti itu. Dia adalah pusat duniaku, tapi mengapa orang lain tidak menyadari keberadaannya?!! Perasaanku selalu geram bila mengingat hal itu.
Aku menghampiri Khansa tanpa melepaskan pandanganku terhadapnya. Begitu mendekat, aku langsung duduk berjongkok di depannya.
"Sayang, kamu di sini. Aku mencarimu kemana-mana." Aku meraih tangannya dan mengecupnya, meminta maaf karena sudah meninggalkannya. Khansa tersenyum lembut, memaklumi sikapku. Dia tidak terlihat kesal ataupun marah. Wanita lain mungkin akan merajuk bila ditinggalkan seperti itu, namun Khansa tidak seperti itu.
Aku menyesal tadi sudah membentaknya. Perasaan bersalah bersarang di dada. Sebagai wujud permintaan maaf, aku kembali menciumi tangannya sembari membujuknya dengan berbagai macam makanan. Awalnya Khansa menolak, namun pada akhirnya dia luluh juga. Aku menyuapinya. Lambat laun nafsu makannya kembali juga. Khansa makan dengan lahapnya.
Menjelang pukul setengah sembilan, kami bertiga memutuskan untuk pulang. Seperti biasa, aku mengantar Khansa terlebih dulu, setelah itu baru mengantar Diana. Kupikir tidak akan butuh waktu lama untuk melakukannya, namun ternyata Mama menahanku untuk berada di sisinya.
Aku melihat jam tangan. Tanpa sadar sudah dua jam aku berada di rumah itu. Setelah memastikan Mama dan Diana tertidur, aku langsung memacu mobil ke hotel. Pikiranku berkutat pada Khansa, wanita itu pasti sudah menungguku.
Begitu tiba di hotel, aku langsung menuju kamar Khansa dan menggedor-gedor pintunya. Satu dua kali tidak ada sahutan. Mungkin wanita itu sudah tidur? Tapi hal itu tidak menghentikanku untuk kembali menggedor pintunya.
Aku sudah berpikir akan pergi ke resepsionis dan meminta kunci cadangan, atau meminta mereka untuk membukakan pintu kamar ketika tiba-tiba pintu itu dibuka dari dalam. Aku melihat wanitaku tengah berdiri di depanku dengan wajah setengah mengantuk. Tatapan matanya nampak sayu, sementara rambutnya acak-acakan. Tapi entah mengapa dia terlihat luar biasa cantik dan seksi.
Tanpa bisa menahan diri aku langsung merengkuh tubuhnya, membawanya ke dalam dekapan. Aku menutup pintu dengan kaki, sementara bibirku sibuk menciuminya.
Kapan terakhir kali aku mendekapnya seperti ini? Kapan terakhir kali aku mencicipi bibir manisnya? Rasanya sudah lama sekali.
Aku membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan lembut, sementara bibir kami masih saling bertaut. Saling menyesap, memberi kehangatan satu sama lain. Puas menciuminya, aku berbaring di sisinya dan merengkuh tubuhnya. Menikmati rasa memilikinya. Bibirku tak henti-henti mengecupi keningnya.
"Aku cuti tiga hari. Besok mau pergi kemana? Jadi lihat sawah?" tanyaku.
"Iya. Tapi naik motor ya Mas..." Malam itu kami berdebat hal-hal kecil. Untuk menyenangkan hatinya, aku memutuskan untuk mengalah. Kami memutuskan untuk pergi melihat sawah menggunakan motor, sesuai dengan keinginan kanjeng ratu.
Seusai berdebat, kami memutuskan untuk tidur. Aku merengkuh tubuh Khansa dari belakang, sementara punggung wanita itu menempel dengan ketat di dadaku. Perut yang membesar menghalanginya untuk tidur dengan posisi sesuka hati. Yang bisa dilakukan Khansa hanya berbaring menyamping, karena menurutnya posisi itu yang paling membuat tubuhnya nyaman.
Aku merengkuh tubuh Khansa sembari mengelus-ngelus perutnya yang membesar. Gerakan samar membalas tindakanku. Bayi kami rupanya belum tidur. Mungkin dia bisa membaca pikiran papanya yang begitu menginginkan mamanya?
Alkha, cepat tidur Nak. Alkha kangen Papa? Kalau kangen, cepat tidur ya. Sebentar lagi Papa akan mengunjungimu...
Aku mengelus-ngelus perut Khansa, berusaha menenangkan Alkha yang tampak sangat ingin tahu. Rupanya Alkha begitu pengertian. Beberapa saat kemudian, gerakan lincahnya sudah tidak terasa lagi. Sudah tidak ada gerakan, itu artinya Alkha benar-benar telah tidur. Alkha benar-benar pengertian. Good boy.
Setelah kurasa tidak ada gerakan, tanganku langsung bergerilya. Menjelajahi tubuh Khansa bagaikan gurita. Meremas dadanya dengan lembut dan mencubit p*ncaknya. Sementara wajahku sudah terbenam di tengkuknya, mencium, mengendus, menj*lat dan mengigitnya dengan halus.
"Mas?!!" Khansa berteriak, sepertinya dia terkejut dengan tindakanku. Aku tidak mengindahkan ucapannya. Aku hanya melanjutkan apa yang kusuka. Lambat laun nada protes itu berubah menjadi irama-irama erotis yang terdengar indah di telinga. Membuatku semakin bergairah untuk menggeluti dan terbenam di tubuh hangatnya.
***
Happy Reading 🤗
NB : Maaf kalo partnya masih part-part membosankan ya 🙏😂
anw, aku dari 2025 yah. kangen Alkha.
tapi ada yg lucu..
pov nya tukang telur gulungg/Facepalm//Facepalm/..
ada² aja yg nulis novel ini..
ampe nasib telor gulung pun di tulis.