"Buka hatimu untukku kak Praja," mohon Ardina Rezky Sofyan pada sang suami dengan penuh harap. Air matanya pun sejak tadi sudah menganak sungai di pipinya.
Pernikahan sudah berlangsung lama tapi sang suami belum juga memberinya kebahagiaan seperti yang ia inginkan.
"Namamu belum bisa menggantikan Prilya di hatiku. Jadi belajarlah untuk menikmati ini atau kamu pergi saja dari hidupku!" Balas Praja Wijaya tanpa perasaan sedikitpun. Ardina Rezky Sofyan menghapus airmatanya dengan hati perih.
Cukup sudah ia menghiba dan memohon bagaikan pengemis. Ia sudah tidak sabar lagi karena ia juga ingin bahagia.
Dan ketika ia menyerah dan tak mau berjuang lagi, akankah mata angin bisa berubah arah?
Ikuti perjalanan cinta Ardina Rezky Sofyan dan Praja Wijaya di sini ya😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bhebz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Puas Sampai Lemas
Ardina melambaikan tangannya pada mobil berwarna hitam milik suaminya itu dengan hati yang tak rela.
Ia baru masuk ke dalam pintu perusahaan tempatnya bekerja setelah bayangan mobil itu sudah tak nampak di pelupuk matanya.
Ruangan HRD yang pertama ia masuki untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya. Kamal Raya sang kepala divisi menatapnya heran.
"Mbak Ardina gak ada masalah sama saya 'kan? Kok resign gak bilang-bilang sih?" ucap pria paruh baya itu dengan wajah bingung.
"Ya gak harus ada masalah sih pak. Saya 'kan sekarang mau fokus sama keluarga, hehehe," jawab perempuan itu dengan tawa renyahnya.
"Tapi 'kan gak gini juga mbak. Dimana saya harus mencari pengganti mbak Ardina? Harusnya bilang-bilang sebulan sebelumnya." Kamal Raya, pria berusia 45 tahun itu nampak bersungut-sungut.
"Nanti saya akan bantu ngiklan pak. Yang penting pesangon saya bulat-bulat tanpa potongan ya pak." Ardina menjawab seraya mengangkat kedua jempolnya.
"Baiklah, akan saya urus semuanya mbak. Dan semoga Pak Maher cepat ACC ya."
"Aamiin ya Allah. Okey deh pak Kamal, masih ada pekerjaan yang harus aku kerjakan sebelum benar-benar resign. Permisi ya pak." Ardina pun pamit dan segera menuju ke ruangan kerjanya.
Hatinya sangat senang hari ini. Rasanya bibirnya tak mau berhenti menyunggingkan senyum karena ia merasa sedang jatuh cinta kembali pada suaminya.
Masuk kedalam ruangannya, ia langsung membuka buku catatan kecilnya, tentang agenda Maher Abdullah selama beberapa hari kedepan.
Ia belum resmi resign dan itu berarti ia masih ada tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikannya.
Akan tetapi sebelum ia kerjakan itu semua ia harus memastikan ruangan kerja atasannya siap ditempati. Ia pun masuk ke dalam ruangan Maher Abdullah dengan langkah cepat seperti biasanya.
Memeriksa pekerjaan OB tentang kebersihan ruangan setelah itu semua kebutuhan pria paruh baya itu juga harus sudah tersedia di atas mejanya.
Untuk lebih sopannya lagi, meskipun aturan itu tidak berlaku di Perusahaan ini, ia juga ingin meminta pamit pada pria itu yang selama lebih dari setahun ini menjadi atasannya.
Tak lupa ia menyimpan salinan surat pengunduran dirinya diatas meja pria itu.
"Surat apa itu Din?" tanya Maher Abdullah depan tiba-tiba. Ia baru saja masuk ke dalam ruangannya dan mendapati sang sekretaris berdiri di depan mejanya.
"Selamat pagi pak."
"Selamat pagi."
"Saya ingin menyerahkan surat pengunduran diri saya pak," jawab Ardina seraya membungkukkan badannya hormat. Ia meraih kembali surat yang baru ia letakkan di atas meja kemudian menyodorkannya pada pria itu.
"Apa?! Kenapa kamu mau mengundurkan diri?" tanya Maher dengan wajah tak percaya. Ia mengambil surat di dalam amplop itu dengan nafas memburu.
Ia marah.
Wajahnya mengeras karena tidak suka dengan apa yang ia saksikan.
"Saya ingin jadi ibu rumah tangga saja pak. David membutuhkan saya di rumah." Ardina menjawab dengan santai.
"Apa ini karena pria yang mengaku sebagai suamimu itu? CEO Wijaya Abadi?" tanya Maher dengan tatapan menelisik. Ia tidak percaya pada jawaban perempuan itu.
"Iya pak. Saya ingin kembali ke kota kelahiran saya. Dan juga berkumpul dengan suami saya."
"Cih! Berkumpul dengan suami yang telah menelantarkan kamu sampai harus menjadi orang tua tunggal selama ini?"
Ardina tampak kaget dengan respon pria itu.
"Kalau saya jadi kamu, saya tidak akan mau menerimanya lagi. Pria itu sangat tidak bertanggung jawab dan tidak pantas mendampingi kamu."
Ardina hanya diam saja. Ia pikir itu adalah pendapat seorang Maher Abdullah sebagai seorang pria yang selalu ia tolak perasaan nya. Dan ia sedang tak ingin mencari masalah. Ia ingin resign dengan mudah.
Karena tidak ada respon yang diberikan oleh Ardina. Pria itu pun duduk dibelakang mejanya kemudian membuka sampul surat yang berwarna putih itu.
Membacanya sekilas kemudian menatap Ardina yang masih berdiri di depan mejanya.
"Kamu pikir bisa resign begitu saja? Tidakkah kamu telah membaca surat kontrak kamu sebelum masuk bergabung di Perusahaan ini?"
"Maksudnya apa pak?" Ardina tidak mengerti dengan apa yang pria itu katakan.
"Ambil map berwarna biru di dalam lemari itu. Dan baca baik-baik perjanjian kontrak kerja yang pernah kamu setujui dan tanda-tangani."
Maher menunjuk berkas yang ia minta dengan matanya. Ardina pun segera melangkahkan kakinya ke arah lemari itu dan membuka kontrak kerja yang ia telah ia setujui dan tanda-tangani.
*Kontrak kerja ini berlaku sampai 2 tahun sejak tanggal dibuat surat kontrak ini.
Dan apabila ada pelanggaran kontrak maka pihak kedua harus menanggung kerugian yang dimaksud pada pasal pertama*.
Ardina merasakan tubuhnya membeku. Ia tidak ingat kalau pernah membuat surat kontrak seperti ini. Dan ya, itu berarti ia harus menunggu sampai dua bulan lagi.
Oh tidak. Apa ia bisa menahan rindu untuk berkumpul dengan Praja sang suami?
"Bagaimana? Kamu sudah lihat 'kan? Tidak gampang bisa resign semaumu. Perusahaan ini punya aturan. Jadi belajarlah untuk taat pada aturan."
Maher Abdullah tersenyum licik. Dalam waktu dua bulan itu harus mempunyai cara untuk mendapatkan Ardina.
"Jadi sekarang kembalilah bekerja dan beritahu pada divisi HRD kalau kamu tidak jadi resign."
"Iya Pak." Hanya kata itu yang bisa ia ucapkan untuk menutupi perasaan kesal dan kecewanya.
Perempuan itu pun segera keluar dari ruangan itu dan menuju ke meja kerjanya. Bahunya menurun karena tidak bersemangat lagi.
Ia lelah menunggu untuk berkumpul dengan suaminya.
Akan tetapi, apa boleh buat, ia sudah terlanjur setuju dan tunduk patuh pada aturan. Dan itu berarti ia harus bersabar lagi.
Ia pun menghidupkan komputernya kemudian menyiapkan apa yang harus ia kerjakan di saat hatinya sedang tidak baik-baik saja.
Kak Praja, andai kamu ada disini. Aku ingin kamu memelukku dan menciumku. Memberikan aku semangat untuk menghadapi semua ini.
Tring
Tring
Perempuan itu memandang pesawat telepon yang berbunyi terus menerus minta dijawab.
Dengan malas, Ardina mengangkat pesawat telepon yang berbunyi di hadapannya.
"Halo, Maher Grup selamat pagi. Ada yang bisa kami bantu?" sapanya berusaha untuk tetap sopan dan ramah meskipun ia sedang sangat kesal.
"Masuk ke ruangan saya sekarang. Ada pekerjaan yang harus kamu selesaikan saat ini juga." Terdengar suara Maher Abdullah dari ujung telepon.
Ardina memutar bola matanya malas. Ternyata pria itu yang menelpon.
"Baik pak. Saya segera masuk," jawabnya dengan suara malas-malasan.
🌹🌹🌹
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like dan ketik komentar agar author semangat updatenya oke?
Nikmati alurnya dan happy reading 😊
Adakah bunga atau kopi?
Kirim dong.
Dan untuk kamu eh readers, mbak , mas, yang belum membaca karya othor yang lain, cuss mampir.
Dijamin puas sampai lemas hehehehe 😅