NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:410
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 SETELAH CAHAYA PADAM

 Setelah Cahaya Padam

“Gila… gue punya bokap dari sisi gelap dan nyokap penyulam langit. Nggak heran hidup gue kayak telenovela,” Lyra menggumam, masih berdiri di tengah ruangan kosong yang barusan berubah dari panggung kenangan jadi aula sepi penuh debu cahaya.

Kaelen berdiri di sampingnya, memasukkan tangan ke saku, mencoba terlihat tenang. “Lo sadar nggak, ini kayak plot anime edisi deluxe?”

Arven, yang sedari tadi diam, tiba-tiba bergerak. Ia mendekati pilar yang hancur, mengamati sisa debunya yang melayang pelan.

“Kalau benar ayahmu Auron Draveil… ini lebih besar dari yang kita kira,” gumam Arven dengan nada nyaris berbisik.

Lyra menoleh. “Dia siapa sih sebenarnya? Semua orang ngomongin dia kayak Voldemort versi tampan.”

Kaelen menyeringai. “Lo harap aja dia tampan. Kalau dia kayak Lord Farquaad versi dark mode, mending lo lari.”

“Bisa serius sedikit, nggak?” potong Arven, nada suaranya tegang. “Auron bukan cuma mantan anggota Dewan. Dia... ahli manipulasi waktu dan energi. Dulu, dia dipercaya menjaga relik tertua Aedhira. Tapi setelah tragedi Menara Utara—dia hilang. Banyak yang bilang dia membelot ke Raja Kelam.”

Lyra menelan ludah. “Dan dia... ayah gue.”

“Yep,” jawab Kaelen santai, “dan lo baru aja masuk ke daftar orang paling dicari di Aedhira. Selamat, Lyra Caellum Draveil. Lo resmi masuk dunia politik, sihir, dan drama keluarga berdarah.”

“Gue nggak minta semua ini, Kaelen.”

“Gue tahu.” Nada suaranya jadi lembut. “Tapi lo udah di sini. Dan kita bareng lo.”

Arven menyahut cepat, “Dengan satu syarat. Kita harus keluar dari tempat ini sebelum mata-mata Raja Kelam mencium jejak kita.”

“Lo yakin mereka tahu kita di sini?” tanya Lyra khawatir.

Arven menoleh perlahan ke salah satu sudut ruangan. “Karena… kita nggak sendiri dari tadi.”

BUM.

Langit-langit ruang yang semula tenang mendadak retak, dan bayangan panjang merayap dari balik tembok kristal. Suara desisan rendah menggema, diiringi oleh aroma hangus dan logam.

Kaelen menarik belatinya. “Oke. Ini dia bagian serunya.”

“Tolong jangan bilang itu naga,” kata Lyra sambil mundur perlahan.

“Bukan. Itu... lebih parah.”

Sebuah makhluk keluar dari bayang-bayang. Tingginya hampir tiga meter, dengan kulit seperti obsidian yang memantulkan cahaya, dan mata merah menyala seperti bara api. Tanduknya melengkung ke belakang, dan dari punggungnya tumbuh bayangan hidup—seolah bayangannya punya nyawa sendiri.

“Bayangan Penjaga.” Arven menyipitkan mata. “Mereka hanya muncul untuk melindungi sesuatu... atau seseorang.”

Makhluk itu mengaum, dan lantai kaca di bawah mereka retak.

Kaelen menoleh ke Lyra. “Punya ide ajaib, Lady Caellum?”

Lyra menatap makhluk itu, jantungnya berdegup gila. Tapi entah kenapa... ia merasa tidak takut. Sebaliknya—ia merasa dikenali. Seperti... makhluk itu tahu siapa dirinya.

Dan lalu, ia berkata pelan, “Aku tahu apa yang harus kulakukan.”

Lyra menutup matanya sejenak. Jantungnya berdetak begitu keras, tapi ada semacam ketenangan aneh yang merayap dari dalam dadanya. Seperti suara lembut—bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri.

“Kau adalah kunci dan gerbang, darah Auron, jiwa Caellum. Bayangan akan tunduk bila kau memanggilnya dengan nama.”

Matanya terbuka. “Namanya... Aku tahu.”

“Lo yakin?” tanya Kaelen, tetap siaga dengan belatinya.

“Nggak. Tapi feeling gue bilang, ini saatnya jadi gila.” Lyra melangkah maju, menantang makhluk raksasa itu.

Bayangan Penjaga meraung keras—suara yang bisa bikin gendang telinga pecah kalau lo lagi sial. Kaelen nyaris menjatuhkan senjatanya, sementara Arven langsung membentuk segel sihir di tangan kirinya.

Tapi sebelum mereka sempat bergerak, Lyra mengangkat tangannya.

“Var’Thari.” suaranya tenang. Tegas.

Makhluk itu berhenti. Matanya yang seperti bara menatap Lyra—dan perlahan, tubuh hitam berkilau itu bergetar. Seperti kabut yang ditiup angin, sosoknya mulai berubah. Tanduknya menyusut, posturnya merunduk.

Dan lalu—ia berlutut.

Kaelen mengedip. “Oke. Gue tarik kata-kata gue. Lo keren banget.”

“Dari mana lo tahu namanya?” tanya Arven, masih waspada.

“Gue... nggak tahu. Tapi suara itu. Sejak gue menyentuh pilar, ada semacam... ingatan yang bukan milik gue. Atau mungkin milik Ayah?”

“Kalau ini warisan darah Draveil, lo baru aja menunjukkan sisi paling gila dari keluarga lo.”

Lyra tersenyum tipis. “Tunggu sampai lo lihat gue marah.”

Kaelen tertawa pelan, tapi Arven masih serius. “Kita harus pergi. Kalau Var’Thari di sini, berarti gerbang pengawas sudah aktif. Raja Kelam tahu kita mengakses Ruangan Inti.”

Lyra menoleh pada makhluk itu. “Bisa bantu kita keluar dari sini?”

Bayangan Penjaga menggeram pendek—tapi bukan ancaman. Ia memukul lantai dengan cakarnya, dan sebuah lingkaran cahaya muncul, membuka jalan rahasia di lantai.

“Portal bawah?” gumam Arven. “Gue benci tempat sempit.”

“Sama,” kata Kaelen, “tapi hidup kita lebih penting dari fobia lo.”

Mereka melompat masuk satu per satu. Lyra menatap sekeliling terakhir kalinya sebelum mengikuti mereka. Saat kakinya menyentuh cahaya, satu bisikan lagi terdengar.

“Aedhira mulai memilih. Dan kau adalah bidak yang tak bisa dibuang.”

Cahaya di sekitar mereka menghilang.

Lyra jatuh lebih pelan dari yang ia duga—seperti sedang meluncur melalui udara yang padat. Saat kakinya menyentuh lantai, ia mendarat dengan ringan, nyaris tanpa suara.

“Gue kira bakal pingsan,” gumam Kaelen sambil mendarat tak jauh di belakangnya. “Tapi ini... nyaman juga.”

Arven mendarat terakhir, wajahnya gelap. “Kita di lorong waktu. Tapi... ini bukan lorong biasa.”

Lyra menatap ke sekeliling. Tidak ada dinding, tidak ada langit. Hanya ruang kosong tak berujung berwarna keperakan. Di kejauhan, terlihat pintu-pintu melayang di udara, masing-masing berbeda bentuk dan warna.

“Ini kayak... IKEA tapi versi magis,” kata Kaelen, menunjuk pintu bergaya gothic yang melayang setinggi lima meter. “Mau pilih pintu nomor tiga atau coba pintu horor yang itu?”

Arven tidak menjawab. Matanya fokus pada salah satu pintu tua berukir daun anggur. “Pintu itu... terhubung dengan Menara Astharel. Tempat terakhir Raja Kelam muncul sebelum lenyap seratus tahun lalu.”

Lyra mendekat. “Jadi... kita masuk situ?”

Kaelen mengangkat tangan. “Atau kita mikir dulu? Kita nggak tahu ada apa di balik pintu-pintu ini.”

“Tapi kalau kita diem terlalu lama di sini, lorong ini bakal—”

Suara Arven terpotong. Lorong mulai bergetar. Salah satu pintu terbuka sendiri, dan dari balik celahnya, muncul sesuatu yang tidak ingin mereka lihat: bayangan menyerupai manusia, dengan wajah kosong dan tangan seperti duri baja.

“Waktunya habis,” kata Arven. “Lyra, pilih pintu sekarang!”

Lyra menutup mata, mendengar lagi bisikan yang sama.

“Tempatmu bukan di masa lalu, tapi kuncimu tersembunyi di antara ingatan.”

Matanya terbuka. Ia menunjuk pintu yang awalnya tidak dilirik siapa pun: kecil, kusam, dan hampir tidak terlihat di sudut lorong.

“Yang itu. Kita harus ke situ.”

“Yang... kayak lemari gudang?” Kaelen mengangkat alis.

“Percaya aja. Gue punya firasat.”

Mereka lari ke pintu itu, tepat saat bayangan mulai mengejar. Saat Lyra membuka pintunya, mereka melompat masuk tanpa sempat melihat apa yang ada di baliknya.

Dan kemudian...

Gelap.

Mereka mendarat di tempat yang tidak masuk akal—secara harfiah.

Langitnya ungu pucat, tanahnya seperti terbuat dari kaca buram yang memantulkan langkah mereka. Pohon-pohon tinggi menjulang, tapi daunnya mengambang seperti balon dan mengeluarkan cahaya redup. Suara-suara aneh, seperti nyanyian tanpa kata, menggema lembut dari kejauhan.

Kaelen berdiri sambil menepuk-nepuk jubahnya. “Oke... tempat ini kayak taman impian tukang LSD.”

Lyra berjongkok dan menyentuh tanah. “Tempat ini... terasa tua. Tapi juga terlupakan. Seperti... dia nggak tahu siapa dirinya sendiri.”

Arven mendekat ke sebuah batu besar yang dipenuhi simbol aneh. Ia mengusapnya dengan jari, dan simbol itu menyala—lalu lenyap seketika.

“Ini wilayah pecahan. Tempat yang pernah menjadi bagian dari Aedhira, tapi ditinggalkan waktu. Hanya bisa diakses oleh mereka yang... kehilangan arah.”

“Berarti pas banget kita di sini,” gumam Kaelen sambil melirik ke langit yang mulai berkabut.

Tiba-tiba, suara tangisan terdengar. Pelan. Menyelinap masuk ke telinga mereka seperti kabut lembut.

Lyra menajamkan telinga. “Itu... suara anak kecil?”

Arven mengangguk. “Suara jiwa. Jiwa-jiwa yang terperangkap di sini tidak bisa mati, tapi juga tidak hidup.”

Mereka mengikuti suara itu, menuruni lembah kecil yang dipenuhi air berkilau seperti kaca cair. Di tengah-tengah danau kecil, seorang anak perempuan berdiri. Tapi wajahnya—tidak ada. Hanya cahaya lembut di tempat matanya seharusnya berada.

“Kenapa rasanya tempat ini lebih menyeramkan dari penjara bayangan?” Kaelen menggigil.

Lyra melangkah maju. “Hei... kamu kenapa?”

Anak itu menoleh—atau lebih tepatnya, tubuhnya bergerak menghadap Lyra.

“Kau yang memanggilku. Dengan darah dan ingatan. Kau yang membuka pintu itu.”

Lyra terdiam. “Kamu siapa?”

“Aku... pernah jadi seseorang. Tapi sekarang aku hanya serpihan dari dunia yang dilupakan. Tapi serpihan tetap bisa menunjukkan arah.”

Ia mengangkat tangannya. Di telapak mungil itu muncul sebuah fragmen kristal kecil. Di dalamnya, kilatan-kilatan cahaya memperlihatkan gambaran: sosok Auron Draveil—ayah Lyra—berdiri di depan sebuah menara gelap, dengan simbol Raja Kelam di belakangnya.

“Menara itu... Ayah pernah ke sana?” bisik Lyra.

“Dia mencoba menghentikannya. Tapi gagal. Dan sekarang, kau harus melanjutkan.”

Fragmen itu menghilang di udara—dan perlahan, dunia di sekeliling mereka mulai retak. Seperti cermin yang dilempar batu, dunia itu pecah, dan cahaya menyilaukan mengurung mereka.

“Pegangan!” teriak Kaelen, menarik Lyra dan Arven.

Seketika itu juga, mereka tersedot keluar dari tempat itu—menuju takdir yang menanti mereka di Menara Astharel.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!