terlalu kejam Pandangan orang lain, sampai tak memberiku celah untuk menjelaskan apa yang terjadi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Permenkapas_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vanya mengalami teror
Di lain sisi Vanya tampak semakin was-was, di sepanjang perjalanan menuju rumahnya dia seakan diikuti oleh seseorang, tetapi saat menoleh kebelakang untuk memastikan tidak terlihat siapun di sana. Ia semakin mempercepat langkahnya agar segera sampai ke rumahnya.
Setelah berada di depan rumah yang sederhana dan masih beralaskan tanah, dia sedikit lega. Vanya buru-buru masuk ke dalam dan menutup pintunya dengan keras hingga membuat Ibu dan kakaknya terlonjak kaget.
“Kamu kenapa? Seperti dikejar-kejar setan saja!” omel ibunya.
“Ini lebih menakutkan dari setan,” ucapnya dalam hati.
“Ditanya kok malah diam aja toh?” imbuh sang kakak.
“Vanya capek, Vanya ingin istirahat bentar,” ucapnya sambil berlalu masuk ke dalam kamarnya.
“Makan dulu toh nduk,” panggil ibunya dari arah dapur.
Tak berapa lama Vanya keluar dari kamarnya dengan pakaian santai, mereka makan siang lesehan karena memang Vanya bukanlah orang berada, ibunya saja seorang buruh tani di kebun Bara sedangkan sang kakak cuma penjual kue keliling dan menerima orderan jika ada orang yang mempunyai hajatan. Mereka hanya tinggal bertiga karena diketahui bahwa ayah Vanya sudah meninggal karena sakit keras dan ibu dan kakaknyalah yang menjadi tulang punggung untuk mencari nafkah agar bisa makan.
Awalnya Vanya ingin berhenti sekolah dan ikut ibunya bekerja di kebun Bara, tetapi karena kebaikan hati Bara ia menyekolahkan Vanya dan menanggung biaya sekolah Vanya sampai dia lulus nanti. Itulah sebabnya mengapa Vanya sangat baik kepada Oline, dia merasa berhutang budi kepada keluarga Bara. Menurutnya keluarga Bara orang baik semua.
Vanya kembali masuk ke dalam kamar, dia bingung karena di atas meja belajarnya terdapat sebuah kado berwarna biru, dia takut untuk membuka kotak tersebut, dia masih trauma dengan kado-kado misterius itu.
“Van ... kakak mau ke desa seberang, mau nganterin pesanan kue buat hajatan nanti malam. Ibu sudah berangkat ke kebun Tuan Bara. Kamu di rumah aja ya, soalnya gak ada orang,” jelasnya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Vanya.
“Vanya ikut ya kak ....” katanya merengek.
“Di rumah aja.”
“Oh iya itu kado untuk kamu katanya, tadi Yuli anak tetangga ngasih itu saat kamu lagi ke kamar mandi.”
“Cie ... yang udah punya pacar,” lanjut sang kakak menggoda Vanya.
Vanya terlihat jengkel dengan godaan sang kakak.
“Apaan sih kak? Gak ada, Vanya gak punya pacar!” tegasnya.
“Cie ... cie ....”
“Udah, sana!” usirnya sambil membawa sang kakak keluar dari kamarnya.
Vanya langsung menutup pintu kamarnya rapat-rapat, pikirannya kalut dia ingin melihat apa isi kotak tersebut tetapi di urung melakukannya karena masih takut dengan apa yang terbungkus di dalamnya.
Setelah beberapa lama berpikir akhirnya Vanya mengambil kado tersebut dan membuangnya di belakang rumahnya, yang terdapat sebuah semak-semak yang cukup rimbun. Cepat-cepat dia kembali ke kamarnya, tetapi baru saja hendak merebahkan tubuhnya sebuah pesan dari ‘private number' kembali menerornya.
Vanya membuka pesan dari orang misterius itu, jantungnya berdetak kencang saat membaca pesan yang berisi “sebuah kesalahan, bersiap-siaplah!”.
Bibirnya bergetar, ketakutan kembali menguasai dirinya. Apa lagi di rumahnya dia sedang sendirian. Matanya dengan seksama melihat di sekelilingnya, dia merasa ada orang lain di kamarnya selain dirinya sendiri. Keringat dingin mulai membasahi keningnya saat Vanya mendengar sebuah suara seperti orang yang mencakar-cakar dinding rumahnya.
Baginya saat itu waktu sangatlah lambat, dia ketakutan dan meringkuk di depan pintu kamarnya yang tepat menghadap ke jendela, Vanya kembali menangis kesegukan. Dia mengambil handphonenya dan berniat menghubungi Oline, tetapi belum sempat Oline mengangkat panggilan dari Vanya, seseorang sudah berada di belakangnya dan membekapnya dengan sapu tangan yang sudah diolesi dengan obat tidur.
Oline mengangkat panggilan dari Vanya, tetapi tidak ada suara di seberang sana. Oline mulai curiga, tetapi ia tepis jauh-jauh pikiran negatifnya.
“Mungkin Vanya salah mencet,” ucapnya.
Meski di dalam hatinya gelisah memikirkan keadaan Vanya sekarang.
Langit terlihat mendung, Oline berencana untuk jalan-jalan di sekitaran rumah Bara untuk mengisi waktu senggangnya, Bara entah pergi ke mana, tetapi sebelum pergi dia menawari Oline untuk ikut dengannya, tetapi Oline menolak, dia lebih suka duduk di teras dan memperhatikan orang yang berlalu lalang hendak pergi ke kebunnya.
Oline mengambil jaketnya dan berniat untuk pergi ke kebun teh milik Bara, dia ingin jalan-jalan dan bersua foto di sana. Sudah lama rasanya dia tidak meng-upload foto di Instagram miliknya.
Kebetulan di kebun itu semua sedang istirahat, dan mulai bekerja lima menit lagi, semua orang menawari Oline untuk duduk bersama dan makan. Tetapi sayangnya Oline menolak dengan halus karena baru saja sebelum berangkat dia sudah makan. Semua orang menyapa Oline dengan ramah, sehingga membuat Oline betah berlama-lama di sana, tetapi sayang, tiba-tiba Bara menelfonnya. Awalnya Oline mengabaikan panggilan tersebut karena dia sedang bercengkrama dengan para buruh pamannya, tetapi Bara tidak hentinya menelpon Oline, terpaksa dia mengangkat panggilan video tersebut.
Betapa terharunya Oline, orang yang berada di seberang telepon bukanlah Bara melainkan sang ayah. Antoni tersenyum melihat putrinya dia sangat rindu, begitupun juga dengan Oline.
“Apa Ayah mengganggu?” tanya Antoni di seberang sana.
Oline menggeleng, dia merasa sangat bersalah mengabaikan panggilan teleponnya tadi.
“Oline baik-baik saja di sana?” tanya ayahnya lagi.
“Tentu saja! Dia tuan putri, sudah seharusnya di perlakukan dengan baik,” celetuk Bara di samping Antoni.
Oline tersenyum, air mata bahagia mengalir melewati pipi indahnya.
“Kenapa menangis?”
“Aku rindu ayah,” ucapnya lirih.
Antoni menghela nafasnya perlahan.
“Ayah juga,” jawab Antoni lemah.
“Kau ada di mana?” sela Bara mencairkan suasana.
“Di kebun teh milik paman.”
“Hey ... hey ... sudah kukatakan jangan panggil aku paman!”
Antoni tampak heran mendengar perkataan Bara.
“Lalu Oline harus memanggilmu dengan sebutan apa?” tanya Antoni kepada sang adik.
“Bara,” jawabnya singkat sambil membetulkan posisi kemejanya.
“Kenapa?”
“Karena aku belum setua dirimu, aku masih sangat muda dan tampan,” ucapnya percaya diri.
Antoni berdecak, sedangkan Bara terlihat menyombongkan ketampanannya. Dia memang masih terlihat muda dengan umur yang sudah memasuki kepala dua. Antoni tersenyum sinis melihat tingkah Bara yang dari dulu tidak pernah berubah, sedangkan Oline masih setia mendengar perdebatan kedua orang yang berarti dalam hidupnya.
“Aku lebih suka di panggil Sugar Daddy,” ucapnya.
Mendengar itu Oline tidak bisa menahan tawanya, meski yang di ucapkan Bara mungkin ada benarnya, karena Bara cukup tampan dan memiliki harta yang cukup melimpah. Tetapi bukankah Sugar Daddy itu diakui bukan mengakui?
Sedangkan pengakuan Bara itu membuat Oline geli saat mendengarnya.