Bagaimana jika sahabatmu meminta mu untuk menikah dengan suaminya dalam bentuk wasiat?
Dara dan Yanti adalah sahabat karib sejak SMA sampai kuliah hingga keduanya bekerja sebagai pendidik di sekolah yang berbeda di kota Solo.
Keduanya berpisah ketika Yanti menikah dengan Abimanyu Giandra seorang Presdir perusahaan otomotif dan tinggal di Jakarta, Dara tetap tinggal di Solo.
Hingga Yanti menitipkan suaminya ke Dara dalam bentuk wasiat yang membuat Dara dilema karena dia tidak mencintai Abi pria kaku dan dingin yang membuat Yanti sendiri meragukan cinta suaminya.
Abi pun bersikukuh untuk tetap melaksanakan wasiat Yanti untuk menikahi Dara.
Bagaimana kehidupan rumah tangga Dara dan Abi kedepannya?
Follow Ig ku @hana_reeves_nt
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Reeves, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pertama Di Rumah Abi
Dara berdiri di depan mansion dengan perasaan campur aduk. Kemarin dia melihat Yanti di depan pintu utama, norak to the max mengagumi istana Emas ini dan sekarang dia tinggal disini. Benar-benar permainan nasib.
Abi tetap memeluk pinggang Dara ketika mereka berjalan masuk ke dalam rumah. Bik Tarsih dan Mirna menyambut para pemilik rumah itu dengan wajah sumringah. Sebenarnya para pelayan disana sangat bersyukur ketika tuan Abi memutuskan menikahi Dara karena selama gadis itu disini, selalu memperlakukan semua pelayan dengan baik seperti Yanti, nyonyanya dulu.
"Selamat datang nyonya Dara" sambut keduanya.
"Terimakasih Bik Tarsih, Mirna" senyum Dara.
"Ayo ke kamar dulu, kamu pasti lelah." Abi menghelanya menuju lantai dua. "Kalian berdua tolong ambilkan koper kami."
"Baik tuan" jawab keduanya.
"Sebentar ya bik, Mirna."
Abi dan Dara naik keatas dan betapa terkejutnya Dara bahwa posisi kamar sudah berubah. Ruangan kamar yang ada di lantai dua semula ada dua kamar, sudah dibongkar menjadi tiga kamar.
Dara menatap Abi. "Kok berubah banyak mas?"
Abi hanya diam lalu menunjukkan kamar tidur Dara yang berada di ujung kanan. Dara terkesiap melihat betapa mewah dan anggunnya kamar tidurnya. Nuansa putih mendominasi kamarnya.
"Wow!" bisiknya. "Ini terlalu berlebihan mas."
"Aku tahu kamu tidak bakalan nyaman jika berada di kamar Yanti, maka dari itu usai membaca surat wasiat itu, aku langsung membongkar lantai dua karena aku tahu aku harus melaksanakan wasiat itu." Abi menatap Dara sekilas lalu menyapu pandangannya di kamar yang memang dia sediakan untuk Dara.
"Apa ada yang kurang? Atau kamu minta dirubah apanya?" tanya Abi. Dara menggeleng.
"Ini sudah berlebihan buatku mas" senyum Dara.
"Kalau kau mencari aku, ketuk saja pintu penghubung itu." Abi menunjukkan sebuah pintu yang sebelah kiri diantara lemari besar yang ada di depan tempat tidur, pintu sebelah kanan menuju kamar mandi.
Dara terkesiap mendengar ucapan Abi.
"Maksud mas Abi, kita tidur terpisah gitu?" tanya Dara hati-hati.
"Iya Adara. Maaf tapi ada aku memiliki alasan tersendiri."
Emosi Dara pun naik. "Kemarin di kamar hotel kok bisa mas tidur bersamaku? Sekarang jelaskan padaku, apa alasannya? Apakah aku mendengkur? Apa aku memiliki bau badan? Apa aku..." suara Dara terhenti ketika sebuah tangan menutup mulutnya.
"Bukan karena kamu Dara tapi aku! Kamu tidak mendengkur, kamu sangat wangi malah. Baumu bau Jasmine Vanilla yang sangat enak." Abi menghela nafas panjang. "Aku bisa tidur berdua denganmu di hotel karena terpaksa tapi disini, aku memilih tidur terpisah denganmu karena aku tidak bisa memberikan alasannya!"
Dara menatap Abi dengan mata berembun. Apakah ini yang dirasakan Yanti selama ini?
"Kumohon, mengertilah Adara" pinta Abi sambil pelan-pelan melepaskan tangannya dari mulut Dara.
Dara menatap Abi dengan penuh kemarahan. Rasanya ditolak suami lebih sakit dibandingkan ditolak kekasih .
"Terserah padamu mas! Toh kamu yang dari awal ngotot mau menikahi aku! Kalau memang itu maumu, aku jabani! Dan sekarang keluar kau dari kamarku!" bentak Dara kesal.
Abi pun keluar dari kamar Dara.
***
Setelah capek menangis di kamar mandi, Dara keluar menuju lemari besar dengan hanya mengenakan kimono handuk dan membukanya.
Dara melongo. Lemari itu penuh dengan pakaian baru yang tergantung rapi, lengkap dengan sepatu dan tas baru bermerk. Semua bajunya adalah ukurannya begitu juga dengan sepatunya.
Darimana mas Abi tahu ukuranku?
Dara akhirnya mengambil dress tanpa lengan bewarna biru. Dia mengaplikasikan makeup tipis dan concealer agar tidak terlihat bengkak dan memberikan sedikit eyeliner di mata bulatnya.
Rambutnya hanya dijepit asal namun menjadi ekor kuda, poninya hanya disisir ke samping. Dara ingin menunjukkan bahwa meskipun Abi menolak satu kamar dengannya, bukan berarti dia akan terpuruk. Dara sudah bertekad untuk menikah sekali seumur hidup dan dia akan berusaha membuat Abi terlepas dari permasalahan yang membuatnya seperti itu.
***
Abi duduk di kursi makan menunggu Dara turun dari lantai dua. Tadi Mirna sempat memberitahukan bahwa jam makan malam diundur ke jam delapan.
Antasena sendiri baru berjalan menuju ruang makan dengan wajah lesu.
"Kenapa wajahmu?" tanya Abi ketika melihat Anta menarik kursi makan untuk duduk.
"Malas besok harus ikut rapat pemegang saham" keluhnya sambil mencomot kornet di meja.
"Bukan karena Adara kan?" selidik Abi. Entah kenapa dia merasa cemburu kepada adik sepupunya padahal Dara sudah resmi menjadi istrinya.
"Nggak lah mas. Mbak Rara kan istri mas dan aku bersikap gentleman menghormati kalian berdua. Lagi pula, aku juga sudah berusaha move on kok mas." Antasena menatap kakak sepupunya.
Abi pun mencari kebohongan di mata Antasena dan tidak menemukan hal itu.
Abi melirik jam tangan mahalnya, Dara terlambat lima menit. Malam ini Abi mengenakan kemeja berwarna biru donker, menunggu dengan agak gelisah. Betapa tadi dia terkejut mendengar betapa terlukanya Dara ketika mendengar mereka tidur terpisah. Namun saat ini, Abi memang belum bisa tidur satu kamar dengan Dara, bahkan ketika bersama Yanti pun dia tidak tidur bersama, hanya pada saat ingin menyalurkan kebutuhan biologis dia bisa bersama Yanti namun setelah itu dia kembali ke kamarnya.
"Selamat malam. Maaf terlambat" suara Dara membuyarkan lamunan Abi.
Kedua pria itu melongo melihat penampilan Dara yang tampak cantik dengan gaun biru yang terdapat di lemari biru.
"Gaun itu cocok sekali untukmu Adara" ucap Abi setelah hilang rasa keterkejutannya.
Dara tersenyum tipis lalu duduk di sebelah Abi.
"Terimakasih mas."
Antasena hanya terbengong bengong melihat kakak iparnya begitu cantik.
"Ehem! Itu mata dan mulut dikondisikan Anta!" tegur Abi.
"Eh?" Antasena tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuknya. "Maaf mbak Rara tapi memang gaun itu cocok untukmu mbak."
Dara hanya tersenyum manis.
"Ayo kita makan" ajak Dara. "Mas Abi, mana piringnya biar aku ambilkan nasi."
Abi pun menyerahkan piring kosongnya ke Dara yang kemudian menyendokkan nasi ke atasnya.
"Segini cukup mas?" tanya Dara yang dijawab anggukan Abi.
Ketiganya lalu makan dengan tanpa suara kecuali suara sendok dan garpu beradu. Namun selama acara makan malam itu, Abi tidak lepas memandangi Dara yang tampaknya tak acuh dengan suaminya.
Ya ampun, Dara cantik sekali.
"Besok rapat pemegang saham jam berapa dik Sena?" tanya Dara seolah tidak ingat peraturan Abi di meja makan.
Antasena yang hendak menyendok makanannya langsung terhenti. "Apa mbak?"
Mbak Rara bener-bener mau merubah aturan apa yaaa?
"Besok rapat jam berapa?" ulang Dara lagi.
"Jam sepuluh mbak" jawab Antasena.
"Oohh." Dara kemudian melanjutkan makannya.
Apa-apaan Adara malah bertanya pada Anta??
"Mas Abi mau dibuatkan apa besok sarapannya?" tanya Dara ke arah Abi.
Abi sedikit terkejut namun bisa menguasai diri.
"Terserah kamu saja" ucapnya dingin.
"Masakan mbak Rara pasti aku makan" sahut Antasena dengan tanpa dosa.
"Oke. Besok pagi akan aku buatkan sarapan buat kalian."
Permainan apa yang sedang kamu lakukan Adara? Pertama merubah aturan ku di meja makan, sekarang menanyakan mau sarapan apa.- batin Abi.
Kita lihat saja, apakah kamu bisa menerimaku sebagai istrimu seutuhnya atau tidak mas - batin Dara.
***
Yuhuuu
Up dulu yaaaa
don't forget to like vote n gift
Tararengkyu ❤️🙂❤️