Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Pukulan, Satu Rahasia
Angin senja yang semula hanya membelai lembut, kini mulai menusuk dingin, membawa aroma tanah basah dan ketegangan yang belum sepenuhnya reda di depan gerbang Kota Lama. Suasana di sana masih jauh dari tenang. Sebuah kerumunan warga, pedagang, dan bahkan beberapa petugas dengan seragam kota berkerumun di sekitar sebuah kawah kecil yang masih memancarkan aroma tanah tergali segar. Di tengah kawah itu, sebuah batu granit besar, seukuran meja makan keluarga, tertancap miring, setengah tubuhnya menghunjam ke dalam bumi. Permukaannya yang kasar dan penuh lumut basah berkilauan lemah oleh cahaya lampu minyak yang mulai dinyalakan di sekelilingnya.
Sorot-sorot mata yang bercampur rasa takut, heran, dan penasaran tertuju pada batu itu. Bisik-bisik bergulir seperti angin malam yang berbahaya.
"...jatuh tiba-tiba, suaranya seperti petir di siang bolong!"
"Tidak ada awan petir,tidak ada kilat. Ini pasti ulah makhluk halus."
"Atau mungkin kultivator tingkat tinggi yang sedang bertarung di langit?"
"Di sini?Di Kota Lama? Lebih mungkin siluman gunung dari hutan sebelah marah karena wilayahnya diganggu."
Di antara kerumunan, Penjaga Li tampak gelisah. Namun, genggaman pada batang tombak itu terlalu erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya yang biasanya tegas dan sedikit angkuh kini pucat, dan sebuah keringat dingin terus-menerus membasahi pelipis serta tengkuknya. Matanya, bagai terpaku, menatap batu itu yang jaraknya hanya sekitar sepuluh meter dari posisi berdirinya tadi siang. Jarak yang sangat dekat. Seandainya batu itu jatuh sedikit lebih ke kiri, atau seandainya ia berdiri hanya selangkah lebih maju...
Dadanya sesak oleh bayangan-bayangan mengerikan. Pikirannya yang sudah dipenuhi rasa bersalah dan ketakutan irasional sejak kejadian menghilangnya Shanmu, kini merajut narasi yang lebih suram.
Ini hukuman, bisik suara parau di kepalanya. Karena aku berani mencurigai, bahkan hampir menyerang makhluk yang mungkin adalah siluman gunung yang sedang menyamar. Dan sekarang, ia menunjukkan kemarahannya. Ini bukan sekadar peringatan. Ini adalah pernyataan. Batu ini bisa saja menghujam kepalaku.
Ia menghela napas tersendat, mencoba menenangkan diri, namun telinganya masih menangkap pecahan-pecahan percakapan warga yang semakin memperkuat ketakutannya.
"Sialan, aku harus lebih berhati-hati," gumamnya sendiri, suaranya hampir tak terdengar. "Mungkin besok aku harus meminta pindah tugas. Atau... menyiapkan persembahan di tepi hutan."
Sementara Penjaga Li tenggelam dalam paranoid pribadinya, dua sosok muncul dari bayangan jalan yang menuju dari arah hutan. Lanxi, dengan gaun birunya yang tampak sedikit berdebu di bagian bawah namun wajahnya yang cantik memancarkan cahaya senyum yang lucu dan terhibur. Di sampingnya, Shanmu berjalan dengan langkah sedikit ragu-ragu, wajahnya yang polos dipenuhi ekspresi malu dan bingung yang dalam. Ia terus menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya, sebuah kebiasaan khasnya saat merasa bersalah atau tidak nyaman.
Mata Lanxi yang tajam langsung menangkap pemandangan kerumunan, ekspresi ketakutan di wajah Penjaga Li, dan terutama, batu yang menjadi pusat perhatian itu. Sebuah tawa ringan, jernih, dan penuh keheranan yang lucu meledak dari bibirnya. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan, tetapi matanya yang berbinar-binar memberikan semua cerita. Ia memandang Shanmu, yang tampaknya semakin ingin menyusut dan menghilang.
"Lihatlah kekacauan yang kau ciptakan, Shanmu," bisik Lanxi, suaranya penuh geli, hanya untuk didengarnya. "Satu batu lemparanmu, dan seluruh gerbang kota gempar."
Shanmu hanya bisa memandang tanah, rasa malunya begitu besar hingga telinganya memerah. "Aku... aku benar-benar tidak menyangka," gumamnya, suaranya kecil. "Aku pikir... itu tidak akan sampai."
Melihat ekspresi polos dan malu-malu itu, Lanxi tidak tahan lagi. Tawanya yang tertahan menjadi lebih nyaring, meski masih anggun. Ia kemudian merebut lengan Shanmu dengan gerakan cepat dan penuh wibawa.
"Cukup berdiri di sini dan menjadi sasaran tatapan. Ayo masuk, sebelum ada yang mengaitkan batu jatuh ini dengan penampakan 'siluman gunung' berbaju hijau."
Shanmu, patuh seperti selalu, membiarkan dirinya diseret masuk melewati kerumunan. Beberapa orang melirik mereka, terutama kepada Lanxi yang dikenali sebagai murid Sekte Langit Biru, lalu pandangan mereka beralih lagi ke batu misterius.
Begitu mereka melewati ambang gerbang dan masuk ke dalam relatif lebih tenang, meski masih riuh oleh gemuruh percakapan dari belakang, Lanxi melepaskan pegangan pada lengan Shanmu. Ia memandang pemuda itu, lalu tertawa lagi, suaranya seperti gemerincing lonceng perak di tengah keramaian kota yang mulai mereda.
"Benar-benar luar biasa. Kau tidak hanya melemparnya jauh, tapi juga tepat sasaran... Hingga sampai sepuluh meter dari pos penjaga," ucap Lanxi, matanya berbinar lucu.
Shanmu menghela napas, wajahnya masih memerah. "Aku minta maaf, Lanxi. Aku tidak bermaksud..."
"Sudahlah," potong Lanxi, masih tersenyum. "Tidak ada yang terluka. Hanya sedikit kejutan untuk warga kota. Sekarang, ayo kita kembali. Hari sudah semakin gelap."
Shanmu mengangguk, lalu teringat janjinya. "Biarkan aku mengantarmu kembali ke sekte. Jalannya gelap."
Sebuah senyuman hangat, berbeda dari tawa geli tadi, menghiasi wajah Lanxi. "Baiklah. Aku terima tawaranmu."
Mereka kemudian berjalan menyusuri jalan-jalan Kota Lama yang perlahan-lahan berubah. Lentera-lentera minyak mulai dinyalakan satu per satu, menciptakan pulau-pulau cahaya kuning keemasan di tengah lautan bayangan ungu senja. Suasana hiruk-pikuk pasar siang mulai berganti dengan keramaian yang lebih kalem, para pedagang menutup kios, keluarga bergegas pulang, dan di beberapa kedai, para kultivator atau petualang mulai berkumpul, suara tawa dan denting gelas berbaur dengan aroma makanan goreng dan arak murah.
Di tengah aliran kehidupan kota ini, Lanxi mulai berbicara lagi, suaranya lebih rendah, lebih serius, namun tetap mengandung nada optimis.
"Latihanmu hari ini, Shanmu, memberikan banyak harapan," ucapnya, matanya yang indah memandang lurus ke depan, seolah-olah melihat masa depan. "Kekuatanmu sudah ada, tetapi itu seperti pedang tumpul yang terbuat dari bahan terbaik. Yang kau butuhkan sekarang adalah mengasahnya, memberi bentuk, dan mempelajari cara mengayunkannya dengan presisi."
Shanmu mendengarkan dengan penuh perhatian, langkahnya yang besar menyesuaikan dengan langkah anggun Lanxi.
"Besok," lanjut Lanxi, "kita harus berlatih lagi. Aku akan mengajarkanmu lebih banyak. Teknik menangkis yang benar, bagaimana membaca gerakan lawan, cara mengalirkan kekuatanmu bukan hanya dalam satu pukulan, tetapi dalam rangkaian serangan. Dan jika kau bisa memahami dasar-dasar itu dengan cepat..."
Ia berhenti sejenak, memandang Shanmu dari samping. "Nanti, kita bisa mencoba latih tanding. Tentu saja, aku akan menahan kekuatanku, dan kau harus belajar mengontrol kekuatanmu. Ini penting. Agar kau tidak hanya kuat, tetapi juga terampil."
Kata-kata "latih tanding" bagai menyulut api di dalam dada Shanmu. Matanya yang sebelumnya masih sedikit muram karena insiden batu, tiba-tiba berbinar dengan cahaya yang begitu terang, begitu murni, seolah-olah dua bintang kecil jatuh dan bersemayam di dalam pupilnya. Sebuah senyuman lebar, penuh antusiasme dan harapan, merekah di wajahnya. Ia membungkuk dengan cepat, hampir-hampir tersandung karena melakukan gerakan itu sambil berjalan.
"Terima kasih, Lanxi! Terima kasih banyak! Aku... aku pasti akan belajar dengan sungguh-sungguh!" ucapnya, suaranya bergetar karena kegembiraan yang meluap. Baginya, ini bukan sekadar latihan. Ini adalah pengakuan. Ini adalah petunjuk bahwa jalan yang ia pijak, meski gelap dan berbeda, memiliki pemandu. Dan kesempatan untuk "bertarung" dengan seorang kultivator sejati, meski hanya latihan, adalah mimpi yang bahkan tidak berani ia impikan kemarin.
Lanxi tersenyum melihat reaksinya, rasa hangat mengisi dadanya. Ketulusan Shanmu selalu mampu menyentuh sesuatu yang murni dalam dirinya.
Perjalanan berlanjut dengan obrolan yang lebih intens. Lanxi menjelaskan konsep-konsep dasar pertarungan, tentang kuda-kuda yang stabil, tentang pusat gravitasi, tentang bagaimana mata harus selalu mengamati bukan hanya lawan, tetapi juga lingkungan. Shanmu menyerap semuanya dengan lahap, sesekali bertanya dengan pertanyaan polos namun tajam yang menunjukkan pemahaman praktisnya yang luar biasa. Mereka berdua, seorang kultivator muda berbakat dan seorang monster fisik terselubung, tenggelam dalam dunia mereka sendiri di tengah keramaian Kota Lama.
Tak terasa, gerbang megah Sekte Langit Biru telah terlihat di ujung jalan. Juga terlihat pintu kayu besar yang sudah setengah tertutup. Cahaya dari dalam sekte memancar keluar, menerangi area depan dengan cahaya putih kebiruan yang tenang.
Di depan gerbang, Lanxi berhenti. Ia memandang Shanmu, senyuman lembut masih ada di bibirnya. "Sampai di sini saja, Shanmu. Terima kasih sudah mengantarku."
"Tidak, Lanxi. Aku yang harus berterima kasih," balas Shanmu dengan tulus, membungkuk lagi. "Sampai bertemu besok."
"Sampai besok," jawab Lanxi dengan anggukan. Kemudian, dengan langkah anggun yang penuh wibawa, ia melangkah melewati gerbang, menyapa penjaga dengan anggukan singkat, dan menghilang ke dalam kompleks sekte yang luas.
Shanmu berdiri di tempat selama beberapa saat, menatap gerbang tertutup, perasaan campur aduk antara syukur, harapan, dan semangat membara mengisi dadanya. Lalu, ia berbalik, berniat kembali ke Penginapan Bintang Senja. Namun, baru saja ia melangkah sekitar seratus meter dari gerbang sekte, meninggalkan lingkaran cahaya lampu, sebuah perasaan deja vu yang mengerikan menyergapnya.
Dari balik bayangan sebuah gudang penyimpanan alat kebun yang terbengkalai, dua sosok melompat keluar, mendarat dengan mantap di tengah jalan, menghalangi jalannya. Cahaya bulan yang mulai terang menyinari wajah mereka. Dua murid sekte yang menjadi anak buah Leng Zuan. Wajah yang satu licik dan penuh kesombongan, yang satunya lagi dingin dengan tatapan penuh kebencian. Pria yang menusuknya tadi malam.
"Hei, sampah," sapa pria berwajah licik, suaranya menyengat seperti sabetan cambuk. "Jelaskan. Kenapa kau bisa berdiri di sini, berjalan normal, setelah lukamu semalam? Luka yang seharusnya membuatmu merangkak setidaknya selama seminggu?"
Shanmu terdiam sejenak. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, bukan karena takut, tetapi karena kelelahan. Kelelahan terhadap permusuhan yang terus-menerus ini, terhadap kekerasan yang datang tanpa alasan yang ia pahami. Namun, wajahnya tetap mempertahankan ekspresi polosnya. Ia bahkan memberikan senyuman tulus kecil dan menundukkan kepalanya sedikit, sebuah sikap hormat yang tulus dari kebiasaannya.
"Itu berkat Tabib Li," jawabnya jujur, suaranya tenang. "Beliau memiliki keterampilan penyembuhan yang luar biasa. Karena itu, luka di kedua pahaku sembuh dengan cepat."
"Tidak mungkin!" hardik pria yang bermata dingin, langkahnya maju satu langkah, menambah tekanan. Suaranya keras dan penuh ketidakpercayaan. "Mana ada tabib di kota terpencil ini yang sesakti itu? Bahkan di Ibukota, untuk menyembuhkan luka seperti yang kami buat pada seorang sampah sepertimu, butuh waktu minimal tiga hari dengan pil penyembuh terbaik sekalipun. Dan itu sudah dianggap keajaiban. Kau... kau sangat aneh."
Shanmu menghela napas, rasa frustrasi yang samar mulai merayap. Ia menggaruk-garuk kepalanya, sebuah gerakan yang menunjukkan kebingungannya yang sebenarnya.
"Aku benar-benar tidak tahu. Aku cuma bisa bilang, aku diobati oleh Tabib Li. Itu saja yang aku tahu."
Kejujurannya mutlak. Dalam benaknya, memang demikian. Ia sama sekali tidak menyadari peran tubuhnya sendiri yang regeneratif. Bahkan konsep kekuatan fisiknya sendiri baru ia sadari beberapa jam yang lalu.
Kedua murid itu saling memandang, ekspresi muram dan semakin curiga menghiasi wajah mereka. Udara di sekitar menjadi tegang, dingin.
"Kalau tidak mau jujur, tidak apa-apa," ujar pria berwajah licik, suaranya tiba-tiba menjadi rendah dan berbahaya. Tangannya mulai menggosok-gosok tinjunya, sebuah ritual sebelum kekerasan. Matanya menyipit, menatap Shanmu bagai ular melihat katak.
"Kami akan buat kau jujur."
Shanmu mundur selangkah, naluri menghindari konflik berbicara. "Tuan, maafkan aku jika ada kesalahan. Tapi aku jujur, tidak berbohong." Suaranya tetap sopan, penuh dengan upaya untuk meredakan amarah.
Namun, permintaan maaf itu dianggap sebagai kelemahan. Pria berwajah licik itu melompat mendadak, tubuhnya didorong oleh semburan Qi keputihan tipis di kaki-kakinya, tanda seorang Pejuang Biasa tingkat akhir yang serius. Tinjunya melesat lurus ke arah dada Shanmu, mengeluarkan suara desis kecil di udara.
Shanmu bereaksi. Bukan dengan kemarahan, tetapi dengan sebuah keputusan yang matang dalam sekejap. Dalam pikirannya yang bergerak cepat, dua pilihan beradu. Jika ia membiarkan dirinya dipukul lagi, lukanya mungkin akan sembuh, tetapi siksaan ini akan terus berlanjut, dan mungkin Paman Gong akan khawatir lagi. Jika ia melawan dengan kekuatan penuh, seperti yang tidak sengaja ia lakukan pada tiga pemuda desa dulu... ia bisa membunuh mereka. Dan itu akan membawa bencana yang lebih besar, memaksanya lari lagi, meninggalkan kehidupan barunya yang mulai nyaman.
Maka, muncul pilihan ketiga, sebuah tekad yang ia pegang sejak mandi tadi pagi.
Aku harus memukul balik. Tapi hanya dengan sedikit tenaga. Cukup untuk menghentikan mereka, bukan untuk membunuh.
Pikirannya mantap. Saat tinju itu hampir menghajar dadanya, tubuh Shanmu bergerak. Bukan dengan kecepatan penuh yang ia tunjukkan di hutan, tetapi dengan kecepatan yang masih cukup untuk menghindari serangan dengan mudah. Ia melompat ke belakang, membuat tinju itu hanya menerpa udara.
Pria berwajah licik itu terkejut, tetapi segera diikuti oleh amarah karena sampah itu berani menghindar.
"Bajingan!" geramnya, lalu ia melompat lagi, mengayunkan tinju berturut-turut, masing-masing dibalut Qi tipis yang bisa mematahkan tulang manusia biasa.
Shanmu menarik napas dalam. Sekarang.
Ia mengingat pelajaran sore tadi. Prinsip dasar Langkah Angin Puyuh, tentang menggunakan momentum dan kontak untuk bergerak tak terduga. Meski tanpa Qi, prinsip fisiknya sama. Saat pria itu melompat dan tinjunya akan menghunjam, Shanmu tidak mundur lurus. Kaki kanannya mendorong tanah dengan kuat, tetapi bukan untuk melompat menjauh. Tubuhnya berputar seperti gasing, menghindari tinju itu dengan selisih milimeter, dan dalam gerakan berputar itu, ia sudah berada di belakang pria yang masih dalam posisi menyerang.
Waktu seolah melambat bagi Shanmu. Ia melihat titik di bahu pria itu, tempat yang jika dipukul dengan tepat akan menyebabkan nyeri hebat dan mungkin melumpuhkan lengan untuk sementara, tetapi tidak mematikan. Tangannya yang terkepal, dengan sadar ia tahan hampir semua kekuatannya, meninggalkan hanya cukup tenaga untuk memberi pelajaran.
Pelan, bisiknya pada dirinya sendiri.
Lalu, ia memukul.
Bugh!
Suara itu bukan suara tulang patah, tetapi suara pukulan padat daging dan otot yang melesatkab pukulan terkendali. Namun, bahkan dengan hanya sebagian kecil dari kekuatan Shanmu, dampaknya masih luar biasa.
Pria berwajah licik itu tidak hanya terhuyung. Tubuhnya terlempar ke belakang bagai sebuah boneka kain yang ditendang oleh kuda. Ia melayang di udara, membentuk garis lurus yang sempurna, menembus jarak puluhan meter, dan menghantam gerbang kayu besar Sekte Langit Biru dengan suara gedebuk yang menggema. Kayu berderak, dan tubuh pria itu kemudian meluncur ke tanah, tidak bergerak, pingsan. Proses dari pukulan hingga pingsan terjadi dalam kurang dari dua detik.
Pria bermata dingin, yang dari tadi berdiri siap, menyaksikan kejadian itu dengan mulut terbuka. Otaknya tidak bisa memproses apa yang baru saja terjadi. Rekannya, seorang Pejuang Biasa tingkat akhir, terlempar seperti anak mainan? Oleh seorang tukang sapu yang tidak memiliki Qi?
Sebelum naluri bertahan atau kemarahan bisa mengambil alih, Shanmu sudah bergerak lagi. Prinsip yang sama. Langkah cepat yang memanfaatkan momentum, kali ini menuju pria kedua. Pria bermata dingin itu mencoba bereaksi, tangannya meraih pisau pendek di pinggangnya, mata Shanmu yang di tusuknya semalam. Tapi Shanmu sudah terlalu dekat, terlalu cepat.
Shanmu mengingat wajah ini, orang yang menusuknya, yang merobek dagingnya, yang menikmati penderitaannya. Amarah kecil, yang ia kunci jauh-jauh, mendidih sebentar. Tapi ia segera mengendalikannya. Tidak membunuh. Memberi pelajaran.
Sebelum pisau itu terhunus sepenuhnya, kepalan Shanmu yang lain telah melayang. Bukan ke bahu, tetapi ke dagu, titik yang bisa menyebabkan gegar otak ringan dan pingsan tanpa merusak terlalu parah, jika dikendalikan.
Pelan, bisiknya lagi, meski kali ini tenaga yang ia keluarkan sedikit lebih besar, hanya sedikit.
Kepalannya menghantam dagu pria itu dengan sudut yang tepat.
Thud!
Suara itu lebih keras dari yang sebelumnya. Pria bermata dingin itu terangkat dari tanah, tubuhnya terlempar vertikal ke udara setinggi tiga meter, seperti ikan yang tersentak pancing. Matanya memutih seketika, dan sebelum tubuhnya jatuh kembali ke tanah dengan suara berat, ia sudah tidak sadarkan diri.
Shanmu tidak menunggu. Begitu memastikan pukulannya tidak fatal, ia sudah berbalik. Kaki-kakinya yang perkasa mendorong tanah, dan ia melesat. Bukan dengan kecepatan penuh yang bisa menciptakan ilusi penghilangan, tetapi dengan kecepatan yang masih membuatnya terlihat seperti bayangan samar bagi mata biasa. Dalam beberapa detik, ia sudah meninggalkan area gerbang sekte, menyusuri jalan gelap, dan memasuki keramaian Kota Lama yang ramai, menghilang di antara kerumunan.
Sepanjang jalan larinya, hanya satu doa yang bergema di hatinya. Semoga mereka tidak mati. Jika mereka mati... aku harus pergi dari kota ini.
Sementara itu, di depan gerbang Sekte Langit Biru, hanya tersisa keheningan yang mencekam dan dua tubuh tak bergerak. Beberapa saat kemudian, dengan langkah yang tergesa-gesa dan wajah yang berkerut karena kekhawatiran dan kebingungan, Leng Zuan muncul dari dalam gerbang. Ia baru saja menyelesaikan meditasinya dan teringat akan perintah yang ia berikan pada dua anak buahnya. Saat matanya melihat dua sosok yang tergeletak, satu bersandar di gerbang yang retak, satu lagi tergeletak di tanah dengan posisi tidak wajar, jantungnya berdetak kencang.
Ia bergegas mendekat, wajah tampannya berkerut. Dengan gerakan kasar, ia memeriksa nadi mereka. Keduanya masih berdenyut, meski lemah. Yang satu pingsan biasa, yang satunya lagi menunjukkan gejala kejang ringan, tapi masih hidup. Tidak ada luka luar yang parah selain memar dan kemungkinan gegar otak.
Leng Zuan berdiri tegak, wajahnya dipenuhi oleh kegelapan dan pertanyaan yang tak terjawab. Matanya yang tajam memindai sekeliling. Tidak ada tanda-tanda pertarungan besar. Tidak ada jejak energi Qi asing yang kuat. Hanya dua anak buahnya yang tergeletak, dikalahkan dengan cepat dan bersih.
Siapa? Siapa yang berani melakukan ini di depan gerbang Sekte Langit Biru? Dan yang lebih penting, siapa yang mampu melakukannya dengan begitu mudah, seolah-olah menyapu dua sampah?
Pikirannya langsung melayang ke sosok pertama yang ia benci. Bocah tukang sapu itu. Tapi itu mustahil. Seorang manusia biasa tanpa kultivasi, bahkan jika tubuhnya kuat, tidak mungkin mengalahkan dua Pejuang Biasa tingkat akhir dengan begitu mudah, tanpa meninggalkan jejak. Kecuali... kecuali ada yang membantunya. Mungkin Nona Lan? Tapi tidak, aura dan caranya tidak seperti itu.
Leng Zuan berdiri dalam kegelapan, dikelilingi oleh keheningan dan dua tubuh tak sadar. Malam itu, ia pulang dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, dan benih kebencian serta kecurigaan yang semakin dalam tertanam di hatinya. Sedangkan sumber dari semua pertanyaan itu, Shanmu, telah tiba dengan selamat di Penginapan Bintang Senja, dengan hati berdebar dan sebuah tekad baru untuk menyembunyikan rahasianya lebih dalam, sambil berharap agar malam ini tidak menjadi awal dari akhir kehidupan barunya.