NovelToon NovelToon
Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi / Raja Tentara/Dewa Perang / Pulau Terpencil / Kultivasi Modern
Popularitas:13.7k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Yang Suka Action Yuk Mari..

Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 28

Bab 28 -

Rangga menutup sambungan teleponnya perlahan, lalu menjatuhkan diri di sofa ruang tamu.

Sejak beberapa menit lalu, setelah ia berbicara dengan Prof. Q, hatinya terasa gelisah dan tidak tenang. Ada sesuatu yang berat mengendap di dadanya, semacam firasat buruk yang enggan ia abaikan.

Ia menarik napas panjang, menatap kosong ke arah langit-langit, lalu membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan selama beberapa saat, mencoba menenangkan riuh pikirannya.

Bagaimanapun, sesuatu yang pernah datang… pada akhirnya akan kembali juga.

Perlahan, Rangga mengeluarkan ponselnya, menatap layar yang memantulkan wajahnya yang letih, kemudian menekan nomor Osie Mao.

Ia meninggalkan Kota NewJersey bersama Osie. Dalam benaknya, ia sebenarnya tahu bahwa kemungkinan besar tidak akan ada bahaya besar di kota itu. Namun, selama Osie masih bersamanya—dan mengingat betapa berbahayanya konflik yang kini bergolak—ia tahu risiko yang mengintai jauh lebih besar.

Medan utama peperangan kini berada di Kota Binjai. Jika Night Watcher berhasil menguasai situasi dan mencegah terjadinya perpecahan di kota-kota lain, maka Kota NewJersey mungkin masih bisa dibilang aman. Tapi jika mereka gagal mengendalikannya... ya, selebihnya akan dibicarakan nanti.

Setelah menjelaskan maksud dan niatnya kepada Osie, Rangga menutup panggilan lalu menelepon Togu, diikuti dengan mengirim pesan WhatsApp singkat untuk Menik. Ia berusaha menata emosinya sedikit demi sedikit, menenangkan diri dari kecemasan yang samar tapi nyata.

Tak lama kemudian, Rangga dan Osie meninggalkan Kota NewJersey dan bergegas menuju Kota Lyren Haven.

 

Pada waktu yang hampir bersamaan, di Barbar City, pemandangan yang kacau sedang berlangsung. Banyak kelompok besar keluar dari kota—ada yang mengendarai mobil, ada pula yang berjalan kaki sambil membawa barang seadanya.

Tak semua orang memahami apa yang sebenarnya terjadi, namun ketika mereka melihat para anggota The Next mulai melakukan evakuasi besar-besaran, kepanikan pun menjalar cepat. Orang-orang lain ikut berbondong-bondong meninggalkan kota.

Gelombang pertama evakuasi dimulai dari wilayah Sukamiskin, distrik bagian timur kota. Dalam waktu singkat, jalan-jalan dipenuhi oleh kerumunan warga yang berlarian.

Namun, baru setengah jam kemudian, teriakan panik terdengar dari kejauhan. Dari arah jalan besar, tampak sekumpulan besar orang berpakaian hitam pekat—mereka mengenakan topeng dan membawa belati kembar di kedua tangan, bergerak cepat menuju Barbar City.

Jumlah mereka tak main-main. Ribuan orang, bergerak bagai arus hitam pekat yang menelan segala hal di depannya.

Kecemasan langsung menyelimuti udara.

Seseorang berbisik dengan suara bergetar, “Itu… Night Watcher…”

“Kenapa mereka muncul di sini? Dan kenapa jumlahnya… sebanyak itu!?”

Namun para Night Watcher itu tidak menaruh perhatian sedikit pun pada warga yang ketakutan. Mereka melewati kerumunan tanpa pandang bulu, melesat masuk ke dalam Barbar City layaknya pedang tajam yang menebas udara.

Tujuan mereka jelas — alun-alun pusat kota.

Dalam waktu singkat, mereka telah mencapai area tersebut.

Alun-alun pusat saat itu penuh sesak. Seluruh pasukan Hedges, kekuatan yang telah ia bangun selama puluhan tahun, kini terkonsentrasi di sana.

Di atas salah satu gedung tinggi yang menghadap ke alun-alun, Hedges berdiri tenang dengan setelan jas rapi dan segelas anggur merah di tangannya. Ia memandang pemandangan di bawah dengan tatapan datar, tak menunjukkan ekspresi gentar sedikit pun.

Ketika segerombolan Night Watcher mendekat, matanya hanya memantulkan ketenangan dingin.

Dari barisan depan pasukan Night Watcher, perlahan muncullah sosok Mahatir.

Kali ini, penampilannya jauh berbeda dari sebelumnya. Ia mengenakan seragam hitam Night Watcher, kedua belatinya tergenggam kuat, matanya menyala dengan tekad yang nyaris gila. Ia berjalan maju dengan langkah mantap, menatap lurus ke arah Hedges di atas gedung.

“Aku tahu… kau ingin menghentikanku, bukan begitu?” katanya datar, namun penuh tekanan.

Hedges tersenyum ringan. Ia meneguk sedikit anggur, lalu membungkuk kecil dan berkata, “Pak Mahatir, setengah dari pulau ini sudah menjadi wilayahmu. Aku hanya berharap kau bisa tetap di sana dan tidak mengusikku.”

Terdengar suara logam yang beradu.

Mahatir mengangkat salah satu belatinya, menatap Hedges dengan dingin. “Kalau begitu, biarkan aku merasakan sendiri kekuatan petarung peringkat dua dari Daftar Master.”

Hedges mengangkat alisnya, tatapannya kini sedikit lebih serius. “Kau mau menantangku? Hmm... apakah kau pikir dirimu itu Rangga?”

Mahatir tersenyum tipis. “Mungkin. Atau bahkan lebih kuat darinya.”

Ia mencabut belati keduanya, dan suaranya berubah tegas seperti lantunan mantra.

“Demi semua yang bernapas…”

“Apa yang ditunjukkan oleh pedang… itulah yang diinginkan hati.”

“Dan tidak ada jalan untuk kembali.”

Di belakangnya, ribuan Night Watcher berseru serentak, menggetarkan udara. Dalam hitungan detik, semua belati panjang mereka terhunus bersamaan.

Satu pihak ingin pergi.

Pihak lain ingin bertahan.

Dan kini, hanya satu jalan tersisa — perang!

Teror meledak bersama gemuruh teriakan perang yang membelah malam. Mahatir menerjang Hedges seperti kilat, dan benturan kekuatan pun tak terhindarkan.

Sebelum pertempuran besar di Kota Binjai dimulai, darah telah lebih dulu tertumpah di Barbar City.

 

Barbar City kini benar-benar terputus dari dunia luar. Tidak ada siaran, tidak ada komunikasi, bahkan tidak ada yang tahu siapa yang masih hidup. Dunia luar hanya bisa menebak, tanpa ada yang benar-benar tahu siapa yang menang atau kalah.

Sementara itu, kehidupan di luar kota tersebut berjalan seperti biasa.

Rangga telah kembali ke Kota Lyren Haven. Selama beberapa hari terakhir, ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, menemani kedua orang tuanya. Sedangkan Osie kini tinggal bersama Sisil Bahri dan rekan-rekannya.

Waktu berlalu cepat. Lima hari kemudian, Rangga masih seperti biasanya—mengurung diri di kamar, fokus menyerap kekuatan tulang naga yang ketiga.

Meski proses itu telah selesai, hasilnya belum menunjukkan peningkatan besar.

Malam itu pukul sembilan, dan Kota Lyren Haven masih ramai, lampu-lampu kota berkelip di kejauhan.

Rangga melangkah ke balkon, menatap pemandangan kota yang hidup. Dari sana ia bisa melihat tetangga sebelah—keluarga kaya raya yang tinggal di vila mewah—sedang berjalan santai bersama anjing peliharaan mereka.

Dengan pendengarannya yang tajam, Rangga bahkan bisa mendengar sang istri sedang menegur anaknya di dalam rumah, menyuruhnya mengerjakan PR dengan benar. Tak lama, si suami mengeluarkan ponsel, menghubungi kekasih gelapnya, dan berbicara dengan nada manja yang membuat Rangga menahan senyum miring.

Ketika pria itu menyadari ada seseorang di balkon, ia mendongak, dan sejenak bertatapan dengan Rangga. Tatapan itu mengandung rasa tidak suka—seolah ia merasa Rangga dan keluarganya tidak pantas tinggal di kompleks elit seperti Komplek Pondok Indah.

Di kejauhan, pantai yang terletak dekat kompleks masih dipenuhi orang. Pasangan-pasangan berjalan bergandengan tangan di tepi pasir, tertawa di bawah cahaya bulan. Mobil lalu-lalang di jalan raya, sementara suara ombak memecah keheningan malam.

Kota Lyren Haven tampak begitu damai—seakan dunia luar tidak sedang terbakar oleh perang.

Namun tiba-tiba, alis Rangga terangkat. Ia menatap ke langit.

Cahaya bintang yang tadinya tenang kini berubah. Beberapa bintang tampak bergerak cepat, seperti hujan meteor yang turun serentak.

Orang-orang di pantai pun bersorak kagum. Banyak pasangan menggenggam tangan, memejamkan mata, dan berdoa sambil membuat permintaan.

Pria kaya tetangganya itu juga tertegun menatap langit. “Sayang, kau lihat itu? Bintang jatuh! Apa yang kamu inginkan?”

Dari ponsel terdengar suara lembut sang kekasih, “Aku… aku ingin tas Gucci.”

Pria itu terkekeh, “Baiklah, besok aku belikan, ya!”

Tawa mereka melayang ringan, seperti tidak ada apa-apa yang salah di dunia ini.

Tepat saat itu, Riri berlari masuk ke kamar Rangga dengan antusias. “Rangga! Lihat deh! Ada bintang jatuh! Ayo, buat permintaan!”

Namun langkahnya terhenti di ambang pintu. Rangga berdiri diam di balkon, matanya menatap langit dengan ekspresi yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya—tegang, tajam, dan penuh tekanan.

“Rangga… ada apa denganmu?” bisik Riri dengan cemas.

Tapi Rangga tak menjawab. Napasnya berat, auranya bergetar halus, seperti menahan sesuatu yang sangat besar di dalam diri.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar keras.

“Ddrrt… ddrrt…”

Ia mengambilnya, dan melihat nama Sisil Bahri muncul di layar.

“Halo!” ujar Rangga cepat.

Suara Sisil di seberang terdengar tegas dan serius. “Kau melihatnya, kan?”

Rangga menghela napas dalam. “Ya. Aku melihatnya…” lalu ia menatap langit dengan sorot mata yang tajam.

“Mereka… sudah datang.”

Apakah waktu peperangan yang sebenarnya artinya tiba?

Bersambung.

1
Was pray
ya memang Rangga dan raysa yg harus menyelesaikan permasalahan yg diperbuat, jangan melibatkan siapapun
Was pray
Rangga memang amat peduli sama orang2 yg membutuhkan pertolongan dirinya tapi tidak memikirkan akibatnya
hackauth
/Pray/ mantap update terus gan
Was pray
MC miskin mantaf ..
Was pray
Rangga. dalam rangka musu bunuh diri kah?
adib
alur cerita bagus..
thumb up buat thor
adib
keren ini.. beneran bikin marathon baca
Maknov Gabut
gaskeun thor
Maknov Gabut
ceritanya seru
Maknov Gabut
mantaff
Maknov Gabut
terima kasih thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!