Hidup Anaya tidak pernah beruntung, sejak kecil ia selalu di jauhi teman-temannya, dirundung, di abaikan keluarganya. kekacauan hidup itu malah disempurnakan saat dia di jual kepada seorang CEO dingin dan dinyatakan hamil setelah melakukan malam panas bersama sang CEO.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
memohon maafmu
Hujan pun turun tanpa aba-aba. Rintik-rintik pertama jatuh pelan, kemudian berubah deras, membasahi atap-atap seng desa, menciptakan dentuman kecil yang nyaris menyayat keheningan hati yang rapuh ini. Aku berdiri membeku, terjebak antara ingin mendengar dan ketakutan akan luka lama yang mungkin kembali terbuka.
Farah menempelkan punggungnya pada pintu yang baru saja dikuncinya. Nafasnya naik turun tak karuan.
Anaya memegang sedikit hujung bajunya, sementara angkasa memegang tangan ibunya yang terasa begitu dingin. Ia berdiri sedikit didepan, seolah ingin melindungi ibunya dari apapun yang ada di luar sana.
"Ma, siapa yang ada di lual cana?" tanya angkasa pelan, matanya melirik ke arah luar jendela.
Anaya ikut mengangguk, matanya membesar seperti menahan rasa takut dan penasaran.
Farah menutup matanya sejenak, menahan gemetar. "Bukan siapa-siapa. Kalian masuk kamar dulu, ya. Tunggu mama," Ujar Farah tersenyum sambil mengusap lembut kepala keduanya.
"Tapi—"
"Masuk," suara Farah tegas, namun lembut.
kedua anak itu akhirnya patuh, meski menoleh beberapa kali sebelum akhirnya pintu kamar tertutup rapat.
Saat langkah kecil itu menghilang Farah mengangkat wajahnya. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya mengalir deras membasahi pipinya. Farah menutup mulutnya, menahan isakan yang lolos dari bibirnya.
Dari balik jendela, bayangan Jackson masih terlihat. Ia berdiri, tegak tidak bergerak seolah kesabarannya tak memiliki batas.
Setiap detik kehadirannya di sana membuat Farah nyaris tak bisa menarik napas lega.
Ia memeluk tubuh sendiri, rasa dingin menjalar ke seluruh kulit. Sesekali, Tangannya mengepal dan memukul dadanya yang sesak tanpa henti.
"Kenapa dia harus datang kembali sekarang? Setelah semua yang sudah terjadi, setelah luka ini hampir tertutup rapat?" bisiknya lirih, hatinya penuh pergulatan yang tak kunjung reda.
Tiba-tiba, suara yang sudah lama ia hindari itu membelah keheningan, memanggil namanya dengan nada bergetar namun penuh ketegasan.
"Farah..." Suaranya melekat erat di telinganya, menusuk dan mengaduk segala keraguan yang ia bangun.
"Aku hanya ingin bicara. Sedikit saja. Bertatap muka. Tolong izinkan aku memperbaiki semuanya."
Farah mundur selangkah, tangan menutup rapat mulutnya agar suaranya tak terdengar.
Namun suara itu, suara Jackson, kembali menggema dengan suara yang tampak rapuh, penuh permohonan.
"Farah, kamu masih dengar aku, kan? Tolong beri aku kesempatan menebus semua kesalahanku. Aku hanya ingin tahu kalian baik-baik saja."
Beberapa menit kemudian, Farah tak lagi mendengar suara Jackson di luar. Ia memberanikan diri mengintip dari jendela.
Farah terkejut, lelaki itu masih berdiri di sana, di bawah guyuran hujan deras.
Air hujan membasahi sekujur tubuhnya, rambutnya meneteskan air, baju Hitamnya menempel pada kulit . Namun ia tak bergerak sedikitpun dari sana—Berdiri diam, tepat di depan pagar kayu. Seolah hujan itu tidak berarti apa-apa.
Farah meremas dadanya, berusaha menahan rasa cemas yang membuncah. "Kenapa dia tidak juga pergi? Apa dia gila?" gumamnya dalam hati, tak habis pikir dengan sikap Jackson yang tak masuk akal itu.
Farah menggigit bibir, menelan sesak yang mengganjal di tenggorokan. "Biarlah... pasti dia akan pergi kalau hujan semakin deras,"
Ia mencoba meyakinkan diri meski suara petir dan hembusan angin kencang membuat hatinya makin gelisah.
Langkahnya pelan menuju kamar anak-anak, tapi pandangannya terus tertuju pada sosoknya yang masih berdiri di bawah guyuran hujan lebat itu.
Di balik tirai, ia melihat wajah Angkasa—putranya, yang tampak bingung. "Ma, kenapa om itu di lual? Kehujanan?" tanyanya polos.
Anaya meremas lengannya dengan erat, saat suara petir kembali terdengar.
Suaranya lirih penuh ketakutan, "Ma, takut..."
Farah memeluknya erat, memejamkan mata sejenak. "Ya Tuhan... mengapa dia melakukan ini?"
Ia merasa tersesat dalam keheningan yang memeluknya, tidak mengerti sedikit pun apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya.
singgah balik di halamanku 😍 baca novel pertamaku yg berjudul "AKU DAN ADIK TIRIKU"😍
terima kasih sebelumnya