NovelToon NovelToon
Rahim Untuk Balas Budi

Rahim Untuk Balas Budi

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Pengganti / Romansa
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Sea

Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31 — Kunjungan Rahasia Aruna

Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika Aruna berdiri di depan gerbang rumah. Rambutnya masih sedikit berantakan, seragam rapi, dan tas kecil tergantung di bahunya. Ia menatap sopir keluarga yang sedang memeriksa ban mobil.

“Om Rafi…” panggilnya pelan.

Sopir itu menoleh. “Iya, Non?”

Aruna menelan ludah. “Bisa… anterin aku sebentar?”

“Ke sekolah?” tebaknya.

Aruna menggeleng kecil. “Ke panti.”

Om Rafi langsung terdiam. “Non… kata Ibu—”

“Cuma sebentar,” potong Aruna cepat. “Aku cuma mau balikin ini.” Ia mengeluarkan kelereng dari kantong kecil di tasnya. “Aru kasih dua. Aku mau kasih satu balik.”

Sopir itu menatap kelereng itu lama. Lalu menatap wajah Aruna yang begitu serius dan sedih dalam waktu bersamaan.

Ia menghembuskan napas berat.

“Baiklah, tapi sebentar. Nggak boleh lama.”

Aruna tersenyum kecil. “Terima kasih, Om.”

Mobil melaju pelan keluar dari gerbang rumah. Di kursi belakang, Aruna memeluk tasnya erat, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu ibunya akan marah kalau tahu, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang mendorong langkahnya lebih kuat daripada rasa takut.

Seolah ada magnet yang menariknya kembali ke tempat itu.

Dan magnet itu bernama… Aru.

Di panti, Nayara baru selesai menyapu lantai aula ketika suara mobil berhenti di halaman. Ia tak mengira apa-apa sampai melihat pintu mobil terbuka dan seorang gadis kecil turun.

Aruna.

Nayara spontan menegakkan tubuh. “Aruna?”

Aruna tersenyum ragu. “Tante Naya… pagi.”

“Sayang, kamu sama siapa? Mana Mama kamu?”

Aruna menunduk sesaat. “Sama sopir… Mama nggak tahu.”

Nayara langsung merasakan dadanya ditarik sesuatu yang dingin. Ada kecemasan, tapi juga… entah kenapa, ada rasa hangat begitu melihat gadis itu lagi.

“Kenapa kamu ke sini pagi-pagi?” tanya Nayara pelan.

Aruna membuka tasnya dan mengeluarkan satu kelereng biru.

“Mau balikin ini buat Aru.”

Nayara terdiam. Hanya satu kata yang keluar: “…Oh.”

Di belakang Nayara, suara langkah kecil terdengar. Aru keluar sambil menyeret sandal yang sedikit kebesaran.

Ia terpaku sejenak ketika melihat Aruna.

Wajahnya langsung cerah. “Aruna!”

Aruna tersenyum lebar—senyum yang kemarin sore tertahan karena larangan ibunya. “Aru, ini kelereng kamu. Aku balikin satu, ya?”

Aru menghampiri dengan langkah kecil. “Kenapa dibalikin?”

“Biar adil…” Aruna menyuguhkan kelereng itu di telapak tangannya. “Kamu punya satu, aku punya satu.”

Aru memperhatikan benda itu lama, lalu tersenyum. “Boleh. Tapi nanti kamu main lagi sama aku, ya?”

“Boleh banget!”

Jawaban polos itu membuat Nayara memalingkan wajah. Ada sesuatu di dada yang tiba-tiba menghangat—hangat yang menyakitkan.

Seperti melihat dua bagian yang terpisah terlalu lama… akhirnya bertemu.

Aru menggenggam tangan Aruna, lalu menariknya ke ayunan kecil di bawah pohon mangga.

“Mau liat tempat rahasia aku?” tanya Aru penuh semangat.

Aruna mengangguk cepat. “Mau!”

Nayara hanya bisa menatap punggung dua anak itu yang berlari kecil menuju halaman. Cara berjalan mereka… ritme kaki mereka… bahkan cara mereka saling memberi ruang saat berlari—

Terlalu mirip.

Nayara menutup mulutnya perlahan. Tenggorokannya panas.

“Bu Nayara?”

Bu Lilis tiba-tiba muncul dari belakang. “Itu… Aruna? Kemarin sama orang tuanya kan…?”

Nayara mengangguk pelan. “Dia datang sendiri. Sopirnya nunggu di luar.”

Bu Lilis menghela napas. “Orang tuanya tahu?”

“Belum.”

Dan hanya jawaban itu yang membuat jantungnya semakin berdebar.

Di taman kecil belakang panti, Aru dan Aruna duduk berdampingan di atas batu besar.

Aru menunjukkan sesuatu yang ia sembunyikan di balik pot bunga: sebuah robot kecil dari kardus bekas.

“Aku yang bikin,” kata Aru, bangga.

Aruna terkagum-kagum. “Keren… kamu pintar banget!”

Aru nyengir kecil. “Kamu mau aku ajarin bikin?”

Aruna mengangguk semangat. “Mau!”

Mereka mulai menyusun potongan kardus. Aru menjelaskan dengan bahasa sederhana. Aruna mengikuti setiap gerakan tangan Aru seolah sudah pernah melihatnya.

Setelah beberapa menit diam, Aruna tiba-tiba berucap:

“Aru…”

“Hm?”

“Kamu… kayak aku.”

Aru mengernyit. “Kayak apa?”

Aruna menempelkan telunjuk ke dadanya yang kecil. “Kayak… bagian aku.”

Aru memandang Aruna lama, lalu menunjuk dada sendiri. “Aku juga ngerasa gitu.”

Aruna tersenyum kecil. “Kayak kita udah kenal duluan.”

Aru mengangguk pelan, seolah memahami sesuatu yang bahkan ia tidak bisa jelaskan.

Dan dari kejauhan, Nayara melihat adegan itu.

Dua anak—duduk berdampingan, tertawa, menunduk di waktu yang sama, mengangkat kepala di ritme yang sama.

Air mata Nayara turun tanpa perintah.

Bukan sedih.

Bukan bahagia.

Tapi gabungan keduanya… yang membuat tubuhnya goyah.

“Maaf ya, Nak…” bisiknya. “Maaf banget…”

Sementara itu, di rumah, Karina membuka aplikasi GPS yang terhubung ke ponsel Aruna. Ia ingin memastikan putrinya sudah di sekolah.

Tapi yang muncul justru:

PANTI PELITA HARAPAN

(● sedang berada di lokasi)

Karina membeku.

Detik itu juga, seluruh tubuhnya dingin.

“Tidak mungkin…”

Jari-jarinya gemetar saat meraih tas dan kunci mobil.

“Aruna… apa yang kamu lakukan…”

Di panti, Aru dan Aruna sedang merapikan robot kecil buatan mereka ketika suara pintu gerbang ditutup keras.

Aru menoleh. Aruna ikut menoleh.

Dan di sana—berdiri di pintu halaman, wajah memerah karena emosi dan panik—

Karina.

“Aruna!”

Suara itu memecah udara seperti petir.

Aruna berdiri terpaku.

Aru meraih tangan Aruna spontan, seakan ingin melindunginya.

Raut wajah Karina berubah melihat itu. Ada sesuatu yang retak… sesuatu yang ia tidak siap hadapi.

Nayara berdiri di belakang Karina, wajah pucat.

Detik itu, waktu seolah berhenti.

Karina menatap Aruna.

Aruna menatap ibunya.

Aru menatap Aruna dan menggenggamnya makin erat.

Dan dari tatapan itu…

Karina tahu satu hal:

Ada sesuatu di antara kedua anak itu

—sesuatu yang tidak bisa ia cegah—

dan sesuatu yang mulai ia takuti sejak hari pertama mereka datang ke panti.

Halaman panti mendadak sunyi ketika suara Karina menggema. Beberapa anak yang sedang bermain menghentikan aktivitas mereka. Bahkan angin yang tadi menggerakkan dedaunan terasa seperti berhenti sesaat.

Aruna terpaku, kakinya berat seperti menancap ke tanah. Aru menggenggam tangannya lebih kuat, seolah takut Aruna akan diambil begitu saja.

Karina berjalan cepat, nadanya tajam tapi matanya penuh campuran panik dan kecewa. “Aruna! Mama sudah bilang apa?”

Aruna menunduk. “Maaf, Ma… aku cuma sebentar—”

“Sebentar atau tidak, kamu—”

“Bu Karina.”

Suara lembut tapi tegas itu datang dari Bu Lilis yang buru-buru keluar dari aula. “Sebaiknya kita bicara di dalam dulu.”

Karina menghela napas cepat, mencoba menahan nada tingginya. “Bu Lilis, saya tidak mengerti kenapa anak saya bisa masuk ke sini tanpa izin saya.”

Nayara berdiri tak jauh di belakang, wajahnya pucat. “Saya… saya tidak tahu Aruna akan datang. Sopirnya mengantar, saya pikir—”

“Kamu pikir? Kamu pikir?” Nada Karina pecah. “Bukankah seharusnya kalian memastikan anak-anak panti aman? Bagaimana dengan anak orang lain?”

Aruna meremas tangan Aru, takut ibunya makin marah. Aru menggenggam balik, seperti memberi sinyal kecil: nggak apa-apa… aku di sini.

Bu Lilis memberi isyarat halus pada Aru untuk mundur sedikit, tetapi Aru tetap berdiri di sisi Aruna. Keduanya seperti magnet, tak sanggup saling lepas.

Karina memperhatikan itu—dan entah kenapa dada Karina kembali terasa seperti digigit sesuatu dari dalam.

Ketakutan yang ia rasakan sejak hari pertama… kini jadi semakin nyata.

“Aruna,” ucap Karina pelan tapi tegas, “lepaskan tangan Aru dan ayo pulang.”

Aruna menggeleng kecil, suara hampir tak terdengar. “Ma… aku cuma mau bilang terima kasih ke Aru…”

“Aku bilang sekarang pulang,” ulang Karina, lebih keras dari yang ia inginkan.

Aru memandang Aruna, wajahnya mulai panik.

“Aruna… nanti kamu datang lagi?” suaranya bergetar.

Aruna membuka mulut, tapi Karina lebih cepat meraih lengannya.

“Tidak ada nanti lagi. Kamu tidak boleh ke sini tanpa izin. Kamu bahkan tidak boleh dekat—”

Kalimat itu terhenti ketika Nayara spontan melangkah maju.

“Bu Karina…” suaranya lemah, tapi ada ketegasan aneh di dalamnya. “Tolong jangan salahkan Aruna. Dia hanya anak-anak. Dia tidak melakukan hal buruk.”

Karina menatap Nayara lama—tatapan yang bukan sekadar marah, tapi seolah ingin mencari alasan kenapa perasaan tidak nyamannya semakin besar setiap melihat perempuan itu dekat dengan Aru.

“Anak saya tadi pagi harusnya di sekolah,” ucap Karina. “Bukannya kabur diam-diam ke sini. Apa menurut Anda itu wajar?”

Nayara terdiam, tidak punya jawaban.

Aruna perlahan menarik lengannya dari genggaman ibunya. “Ma… jangan marah. Ini salah aku, bukan salah Tante Naya.”

“Nak, kamu—”

“Ma,” ucap Aruna lagi, kali ini lebih tegas dari sebelumnya. “Aru itu baik. Aku suka main sama dia. Rasanya… kayak aku udah kenal dia lama.”

Karina menatap anaknya. Mata Aruna—mata yang sama seperti Aru.

Ada sesuatu di sana.

Sesuatu yang selama ini ingin ia tolak.

Sesuatu yang ia takutkan sejak pertama kali melihat mereka saling memandang.

Dan ketika Karina kembali melirik Aru… jantungnya seolah berhenti.

Aru sedang menatap Aruna dengan cara yang membuat ibu mana pun akan merasa ada ikatan di antara mereka yang tidak bisa dijelaskan.

Ikatan yang tidak seharusnya ada.

Atau…

yang sudah ada sejak dulu.

Karina menarik napas dalam-dalam.

“Aruna. Kita pulang.”

Aruna menunduk, lalu berbalik pada Aru.

“Aku balik dulu, ya… tapi aku janji… aku nggak lupa kamu.”

Aru menggigit bibir, matanya memerah. “Aku juga…”

Karina menutup mata sebentar mendengar itu—karena setiap kata dari dua anak itu seperti dorongan yang membuka pintu masa lalu yang selama ini ia tutup rapat.

Aruna naik ke mobil sambil sesekali menoleh.

Aru berdiri diam—tangan kecilnya masih menggenggam kelereng.

1
strawberry
Karina takut Rendra berpaling darinya karena Aru mirip Rendra, Nayara takut Aru diambil Rendra dan takut akan perasaannya. Rendra takut perasaannya jatuh hati pada Nayara dan pada Aru yg mirip dengannya.
Mommy Sea: pada takut semua mereka
total 1 replies
strawberry
Dalam rahim ibu kita...
Titiez Larasaty
ikatan batin anak kembar dan ayah
strawberry
mulai ada rasa cemburu...
Titiez Larasaty
semoga rendra gak tega ambil aru dia cm mengobati rasa penasaran selama ini kasihan nayara harus semenyakitkan seperti itukah balas budi😓😓😓
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
Muhammad Fatih
Bikin nangis dan senyum sekaligus.
blue lock
Kagum banget! 😍
SakiDino🍡😚.BTS ♡
Romantisnya bikin baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!